Liputan6.com, Parma - Sistine Chapel, Taj Mahal, dan Kuil Angkor Wat dikenal sebagai bangunan bersejarah penuh makna. Kemegahan menjadi daya tarik bangunan-bangunan ini, dan membuatnya dipenuhi oleh pengunjung yang berbondong-bondong dari seluruh dunia.
Meskipun berbeda zaman, desain, dan latar belakang kebudayaan, bangunan-bangunan nan indah ini memiliki satu persamaan. Yakni arsitekturnya akan membuat membuat orang yang melihatnya berdecak kagum.
Tak hanya itu, suasana yang membuat kita merasa dekat dengan Sang Pencipta -- secara sadar atau tidak -- juga timbul. Para arsitek memiliki siasat pembangunan yang memiliki kaitan erat dengan aspek psikologi.
Advertisement
"Cara bangunan bersejarah dibangun -- khususnya rumah ibadah -- punya kaitan erat dengan sensasi dekat dengan Pencipta," ungkap Vittorio Gallesse, dosen Psikologi Universitas Parma, Italia, dikutip dari CNN. Gallese kemudian mengeksplorasi kaitan cara kerja otak manusia dan lingkungan sekitar.
Ini tidak berlaku hanya pada bangunan bersejarah yang telah disebutkan, namun juga bangunan-bangunan suci tempat ibadah. Baik masjid, gereja, kuil, wihara, dan tempat-tempat beribadah lainnya.
Menurut Gallesse, 'benang merah' dari bangunan suci terletak pada pengkondisian lingkungan yang memberi kesan dekat dekat dengan 'langit'. Mengapa, dan bagaimana itu terjadi?
1-2
1. Memandang Langit
Menciptakan nuansa tinggi dimulai dengan satu kunci: memandang ke atas.
Katedral gotik, monumen kuno, dan kuil historis membuat kita melihat ke ‘arah surga’, baik dengan langit-langit tinggi, menara, atau patung-patung yang disusun di tempat tinggi. Ini memicu rasa penuh ilham saat memasuki bangunan.
Tindakan melihat ke atas mendorong pikiran kita memproses makna di balik tindakan tersebut. Seperti ide bahwa surga ada di atas dan neraka ada di bawah.
"Ruang terbuka mengangkat pandangan Anda,” ungkap Michael Arbib, wakil ketua Akademi Ilmu Syaraf dan Arsitektur. Isyarat visual ini diterapkan di banyak daerah pada otak kita, dan menjadi ketentuan secara global.
Mengangkat sudut pandang kita memberi nuansa ruang luas, kenyamanan, dan kontemplasi.
“Dalam gua, atau ruang sempit, Anda merasa ditekan oleh batas-batas yang mengelilingi tubuh anda,” ungkap Gallese. Sebaliknya, ruang terbuka memberi nuansa kebebasan dan pergerakan dimana Anda bisa bebas mengeksplorasi dan berkontemplasi.
2. Menelusuri masa lalu
Manusia secara umum menikmati suasana alami seperti lanskap yang tentram atau wajah tersenyum orang lain. Namun, apa yang dinikmati oleh kita, merupakan apa yang didefinisikan oleh masa lalu, atau dunia yang pernah kita alami.
“Kita selalu terkoneksi dengan apa yang sudah kita ketahui,” ungkap Gallese. “Perasaan dan emosi datang saat kita sudah terkoneksi dengan lingkungan.”
Sejarah personal dikombinasikan dengan karakter --baik pada orang yang tidak pedulian ataupun mudah terkesan, membentuk persepsi kita pada dunia. “Memori, simulasi, proyeksi, emosi... Semua datang saat Anda berkontemplasi,” ungkap Gallese.
Menurut Arbib, ada dua respon umum manusia yang perlu diingat dalam membangun sebuah lokasi. Esensi dari kesan pertama, dan kesan pada detail. Esensi, merupakan apa yang membuat seseorang terkesan. Ini secara kuat ditentukan oleh masa lalu mereka.
Pengalaman individual manusia memang beragam. Namun, ada evolusi manusia yang mendasari semuanya.
Advertisement
3-5
3. Arsitektur dan evolusi manusia
“Kita perlu banyak ruang, karena otak kita didesain demikian,” ungkap Satchin Panda, ahli ilmu syaraf Ilmu Biologi Institut Salk. “Manusia tidak dimaksudkan jadi orang gua selamanya.”
Menurut Panda, cahaya dan ruang luas memicu rasa bebas dan nostalgia yang dialami manusia dalam sebuah lingkungan atau bangunan. Ini membuat mereka merasa aman, nyaman, bahkan bahagia.
“Langit-langit tinggi membuat kita senang untuk alasan yang kita belum pahami,” ungkap Panda. Menurutnya, cahaya diketahui menurunkan kadar melatonin, sehingga mengurangi rasa mengantuk dan jenuh, dan meningkatkan tingkat kortisol, sehingga membuat kita lebih awas.
4. Membuka Indera
Ide yang terus dikembangkan di antara ahli ilmu syaraf, adalah eksperimen visual bukanlah hanya sekedar apa yang dipandang. Melainkan, sensor semua indra manusia yang dipicu melalui berbagai sensasi. Seperti material, distraksi dari berbagai objek, dan aroma tertentu.
“Kualitas sebuah ruang ditentukan dari modul sensor-sensor tertentu,” ungkap Gallese, yang percaya bahwa respon otak mengenai pengalaman terintegrasi secara mendalam.
5. Kebutuhan akan sesuatu yang baru
Keinginan manusia akan kesenangan baru merupakan apa yang diterapkan pada akhirnya, dalam membangun sebuah arsitektur.
“Kita memiliki rasa ingin tahu dan insting untuk objek baru,” ungkap Panda. Rasa ingin tahu ini merupakan perekat dari rasa kagum dan penasaran saat kesan pertama sudah berlalu.
Arbib mencontohkan melalui pengalaman pribadinya di museum Guggenheim, New York. Di sana, tangga spiral dan desainnya yang unik kerap menarik perhatian Anda selagi berkeliling. “Saat Anda berjalan, perspektif terus berubah,” ungkap Arbib.
Keinginan akan sesuatu yang baru, dan seringkali lebih baik, adalah apa yang mendasari evolusi gubuk manusia kuno menjadi ragam bangunan yang kita saksikan sekarang. (Ikr/Ein)