Liputan6.com, Singapura - Jalan hidup manusia adalah misteri. Kita sering mendengar kisah pengusaha sukses yang bangkrut dan jatuh miskin, atau orang yang hidup kekurangan di masa kecil kemudian menjadi berkecukupan di masa depannya.
Ada juga, orang yang mendalami profesi tertentu selama bertahun-tahun, lalu suatu hari memutuskan beralih pada karir yang jauh berbeda. Seperti yang dialami Keith Poh, seorang bankir yang memutuskan resign dan memilih usaha sepatu.
Menurutnya, seiring dengan produk manufaktur masal, sepatu buatan tangan kurang diminati. Inilah yang membuatnya memutuskan keliling dunia untuk belajar keterampilan pembuatan sepatu dengan tangan.
Advertisement
Walau dengan pendapatan pas-pasan, Poh memutuskan resign dari pekerjaannya di bank korporat 5 tahun lalu. Saat ia berusia di akhir 20-an. Ia kemudian belajar membuat sepatu secara profesional.
Praktek pembuatan sepatu kulit tercatat kembali ke abad 17, dan sepatu tetap menjadi produk buatan tangan sampai abad 19, ketika mesin sedikit demi sedikit menggantikan keseluruhan proses konstruksi.
Sepatu buatan tangan juga mahal saat ini, menurut Poh. Tidak mengejutkan, mengingat karena prosesnya, seorang pembuat hanya mampu menghasilkan 1 atau 2 setiap bulannya.
"Sepasangnya seharusnya memang berharga ribuan dolar. Itu juga pendapatan yang pas-pasan," ungkap Poh dikutip dari Mashable.
Memulai Bisnis
Poh yang berasal dari Singapura memulai bisnisnya dari Manila, tepatnya di distrik pembuatan sepatu di mana ada industri besar pembuatan sepatu sneakers.
Menganggap dirinya lebih suka membuat sepatu formal pria, Pon pergi ke Bandung, tempatnya kerajinan sepatu buatan tangan dihargai. Tetap saja, Poh kecewa dengan kurangnya akses ke material mentah. Juga bagaimana pembuat sepatu di sana masih bergantung pada komponen produksi masal untuk pembuatan sepatu.
"Mereka menggunakan banyak bahan sintetis di Asia, lebih banyak polymer. Di Eropa, sepatu kulit berasal dari bahan mentah. Anda belajar menanganinya, belajar membuat masing-masing bagian sepatu. Prosesya lebih berseni."
"Di industri pembuatan sepatu Asia, setiap kali mereka bisa menghemat waktu dan biaya dengan mesin, mereka akan melakukannya."
Menyadari hal tersebut, ia mantap pergi ke Eropa, pertama-tama ke Paris. Namun penawaran magang bersama seorang pembuat sepatu handal tidaklah berjalan mulus. Pada awalnya, sang master mencibir Poh secara diskriminasi rasial.
"Ia tidak mau mengajarkan saya, karena ia mengira saya dari Tiongkok. Katanya, 'kamu hanya akan mengambil keterampilan saya dan tidak mau membagi ilmu', begitu."
Poh berdiri di depan pintu si master selama seminggu, sebelum akhirnya ia mengalah. Ia bekerja satu tahun di bawahnya. Membuat sepatu di siang hari dan menjaga meja di malamnya.
Perhentian Poh selanjutnya adalah Florence, Italia. Di mana ia magang lagi selama satu tahun, sebelum kembali ke tanah kelahirannya, Singapura, dan mulai menggagas brand sepatu.
"Bagian paling berat di sini adalah apresiasi terhadap seni pembuatan sepatu sangat minim. Kebanyakan orang tidak mau menghabiskan ribuan (dolar) untuk sepatu, dibandingkan harga Rp 100 ribuan dari rak," ujarnya.
Inilah mengapa ia memilih pasaran Hongkong untuk peluncuran brand-nya tahun depan. Menurutnya, di sana ada target pasar yang meminati produk mewah semacam sepatu buatan tangan.
Saat inilah, ia juga harus memulai merekrut anak magang. Ia pun mewanti-wanti bahwa perjalanannya tidak mudah.
"Pembuatan sepatu sungguh intens," ungkapnya. Seorang anak magang akan memulai 6 sampai 8 bulan pertama bekerja hanya membuat sol sepatu. Ketelitian diperlukan, sebab jika ada kesalahan sekecil apapun di setiap lapis sepatu, ukuran sepatu yang sudah jadi akan jauh berbeda.
Poh juga perlu mencari tahu model bisnis yang bisa terus giat. Untuk sekarang, ia bekerja di workspace gratis yang disediakan oleh pembuat minuman whisky Balvanie -- yang memiliki program penawaran workspace untuk perajin.
Antara menjadi Jimmy Choo berikutnya atau membangun karir seperti salah satu mentor Eropa-nya, ia mengaku ingin memilih sesuatu di antaranya. Ia akan melakukan proses pembuatan sepatu dan membuat workshop miliknya se-autentik mungkin. Namun harus stabil secara finansial anjutkan.
"Mungkin saya perlu menemukan titik tengah. Seperti mengotomatisasi bagian dari proses dengan anak magang, namun menjaga yang lainnya untuk tetap berkualitas tinggi. Entahlah, yang pasti saya tidak ingin melakukan produksi masal," ungkapnya. (Ikr/Tnt)
Advertisement