Israel Usulkan Pembangunan Pulau Buatan dan Pelabuhan Dekat Gaza

Pemerintah Israel mempertimbangkan sebuah proposal untuk membangun pulau buatan di dekat Jalur Gaza.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 22 Jun 2016, 06:05 WIB
Diterbitkan 22 Jun 2016, 06:05 WIB
Pemerintah Israel mempertimbangkan sebuah proposal untuk membangun pulau buatan di dekat Jalur Gaza.
Pemerintah Israel mempertimbangkan sebuah proposal untuk membangun pulau buatan di dekat Jalur Gaza (Ministry of Transportation and Israel Ports)

Liputan6.com, Tel Aviv - Pemerintah Israel mempertimbangkan sebuah proposal untuk membangun pulau buatan di dekat Jalur Gaza.

Pihak negeri zionis berdalih, itu akan memberikan akses pada rakyat Palestina -- yang terkepung -- untuk memiliki sebuah pelabuhan, bahkan mungkin hotel dan bandara internasional.

Menteri Intelijen Israel yang mengampanyekan gagasan tersebut, Israel Katz mengatakan, negaranya sedang mencari patner untuk mewujudkan proyek yang diperkirakan menelan biaya sebesar US$ 5 miliar atau Rp 66 triliun. Dana itu tak mungkin keluar dari kas negeri zionis.

Katz menyebut, pihak Saudi atau China kemungkinan menjadi pihak pembangun pelabuhan tersebut. Atau mungkin, tambah dia, seorang pengusaha Israel misterius -- yang tak mau disebut namanya -- juga akan terlibat.

Pertanyaannya, apakah pihak Saudi bersedia membangun pelabuhan bernilai mahal di dekat perairan Israel -- padahal dua negara tak pernah meresmikan hubungan mereka? Itu yang masih jadi teka-teki.

Namun, Katz menegaskan, proyeknya bukan fantasi belaka.

Ia mengatakan, rencana tersebut telah diperdebatkan di internal kabinet Israel, khususnya sejumlah kementerian yang mengurusi soal keamanan.

"Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengeksplorasi opsi tersebut namun belum memberi keputusan," kata seorang pejabat Israel yang terlibat dalam pembicaraan tersebut, seperti dikutip dari Washington Post, Rabu (22/6/2016).

Proposal tersebut, dia menambahkan, juga telah disampaikan pada Pemerintahan Obama.

Pihak Israel mengandaikan pelabuhan tersebut dibangun di atas pulau buatan -- yang disusun dari pasir yang dikeruk dari dasar laut. Luas daratan tersebut direncanakan sekitar 4 mil persegi, jaraknya tiga mil lepas pantai, dan terhubung ke daratan oleh sebuah jembatan dua jalur.

Dalam perencanaan Israel, jembatan adalah komponen penting yang memastikan akses ke pelabuhan tersebut dikontrol secara ketat.

Jembatan itu bisa ditutup jika terjadi ketegangan. Dan meski pihak Tel Aviv tak mengakui terang-terangan, mereka bisa meledakkan sarana penghubung tersebut melalui serangan udara di tengah perang -- memutus akses ke pelabuhan.

Namun, tak semua pihak terkesan dengan usulan tersebut. Sejumlah pihak menuding, itu adalah akal-akalan Israel untuk meredakan kritik tajam atas upaya perdamaian yang tak kunjung menemui titik akhir dengan pihak Palestina.

Skema tersebut bisa jadi juga sebagai 'pencucian dosa' Israel yang memblokade akses ke Gaza sejak 2007, yang membuat warga di sana menderita.

PBB bahkan menyebut, pada tahun 2020, Gaza tak lagi layak dihuni manusia. Warga di sana bak tinggal di penjara terbuka.

Hamas dan Israel terlibat tiga kali perang dalam tujuh tahun terakhir. Hamas -- yang menguasai Gaza -- dianggap sebagai organisasi teroris oleh Israel dan Amerika Serikat.

Katz mengatakan, pembangunan pelabuhan di atas pulau buatan adalah cara untuk menjamin keamanan Israel sekaligus menghubungkan warga Gaza ke dunia.

Jembatan itu, menurut dia, mirip yang membentang di atas Hudson River di New York -- George Washington Bridge.

Akan ada sebuah pos pemeriksaan di tengah-tengah jembatan yang dikelola oleh otoritas internasional. Kepemilikan pulau itu, tambah Katz,  tak dikuasai salah satu negara melainkan masuk dalam status hukum internasional.

Pengamanan di sana juga dikelola pasukan keamanan internasional. Untuk itu, Katz menyarankan tentara NATO.

"Itu baru awal. Kita bisa membuat instalasi listrik, pabrik desalinasi," kata dia.

Namun, sejauh ini belum ada upaya untuk mendiskusikan proyek tersebut dengan pihak Hamas maupun Pemerintah Otoritas Palestina.

Tania Hary, Direktur Eksekutif Gisha, sebuah kelompok hak asasi manusia Israel yang fokus pada Gaza mengatakan, jika pemerintahan Netanyahu memang ingin membantu Gaza, masih ada cara lain yang lebih murah dan cepat. "Apa maksud di balik proposal itu?," tanya Hary, curiga.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya