Kisah Warga Gaza Salat dan Sambut Idul Fitri Dalam Gereja

Warga Gaza tak bisa menjalankan ibadah Ramadan dengan tenang. Bahkan tak ada yang bisa menjamin, mereka masih hidup saat Idul Fitri tiba.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 28 Jul 2014, 08:58 WIB
Diterbitkan 28 Jul 2014, 08:58 WIB
Serangan Israel hancurkan masjid di Gaza
Serangan Israel hancurkan masjid di Gaza (Reuters)

Liputan6.com, Gaza - Untuk Mahmoud Khalaf, ini adalah pengalaman baru yang aneh. Warga Gaza, Palestina itu salat lima waktu di dalam gereja. Awalnya canggung, namun ia tak punya pilihan lain. Menghadap ke arah Kabah dan melantunkan ayat suci Alquran, pria 27 tahun itu membayangkan ia sedang berada di dalam masjid.

Di dalam rumah ibadah umat Kristen itu lah, Mahmoud dan keluarganya mengungsi, setelah serangan udara Israel meluluhlantakkan lingkungan rumahnya di Shaaf.

Sejak perang melanda Gaza, seiring dimulainya Operasi 'Protective Edge' Israel pada 8 Juli 2014, penduduk wilayah tepi Laut Tengah itu dicekam teror roket dan invasi darat militer negeri zionis. Mereka tak bisa menjalankan ibadah Ramadan dengan tenang. Bahkan tak ada yang bisa menjamin, nyawa mereka masih menyatu dengan raga hingga Idul Fitri tiba.

"Mereka (umat Kristiani) mengizinkan kami beribadah. Itu mengubah pandanganku tentang mereka, yang sebelumnya tak begitu aku kenal. Kini mereka menjadi saudara kami," kata Mahmoud, seperti Liputan6.com kutip dari The Daily Star, Senin (28/7/2014)/

Mahmoud tak sendirian, ia bersama lebih dari 500 muslim lain yang juga mengungsi dalam gereja. "Kami sesama muslim beribadah, salat berjamaah tadi malam. "Di sini kasih antara umat Islam dan Kristen berkembang."

Bahkan, seiring banyaknya pengungsi di Gereja Saint Porphyrius, ucapan salam 'marhaba' digantikan dengan 'Assalamualaikum'.

Sementara, pastor dan jemaat gereja berusaha menghormati tamu mereka yang beragama Islam selama Ramadan. "Umat Kristen tentu saja tidak berpuasa, namun mereka tidak makan, merokok, atau minum di depan kami," kata Mahmoud, yang mengaku tak menjalankan ibadah puasa. Teror serangan Israel membuatnya ketakutan dan sangat tegang. Namun, pria itu tetap menjalankan salat 5 waktu.

Ramadan akan berakhir Senin dengan perayaan Idul Fitri. Namun, di tengah pemboman yang sedang berlangsung, di mana 1.000 lebih orang tewas, hari yang biasanya diliputi kegembiraan itu tak lagi ada.

"Umat Islam dan Kristen mungkin akan merayakan Idul Fitri di sini," kata Sabreen al-Ziyara, muslimah yang bekerja sebagai petugas bersih-bersih di gereja.

"Namun, tak ada suka cita Lebaran tahun ini, yang ada peringatan untuk para syuhada," kata dia, dengan penuh rasa hormat pada mereka yang gugur.

Seperti halnya masjid-masjid yang hancur oleh Israel. Gereja  Saint Porphyrius juga tak lantas aman dari Bom. Pemakaman Kristen yang letaknya berdekatan terkena mortir Selasa lalu.

Umat Kristen di Gaza berjumlah sekitar 1.500 orang, yang hidup di antara 1,7 juta warga muslim.

Serangan Israel yang membabi buta, perasaan senasib merasakan teror negeri zionis justru rasa persaudaraan.

"Yesus berkata, kasihilah sesamamu, bukan hanya keluarga Anda, tetapi kolega Anda, teman sekelas Anda - Muslim, Syiah, Hindu, Yahudi," kata relawan Kristen, Tawfiq Khader. "Kami membuka pintu untuk semua orang."


Baca juga: Zionis, Obama, dan Tanah 3 Agama

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya