Kisah 'Kota Hantu' yang Kini Hidup Kembali

15 tahun yang lalu penduduk di desa itu menghilang satu per satu. Akibat perekonomian yang susah mereka memilih untuk keluar dari desa.

oleh Nurul Basmalah diperbarui 27 Sep 2016, 07:30 WIB
Diterbitkan 27 Sep 2016, 07:30 WIB
Kisah "Kota Hantu' yang Kini Hidup Kembali
15 Tahun yang lalu penduduk di desa itu menghilang satu per satu. Akibat perekonomian yang susah mereka memilih untuk mengadu nasib di negeri orang (Francesco Pistilli/ BBC)

Liputan6.com, Roma - Area yang terletak di puncak bukit itu dulunya merupakan sebuah 'kota hantu'. Rumah, sekolah, serta bangunan lainnya terlantar. Tak ada yang menghuninya.

Sekitar 15 tahun yang lalu, satu per satu penduduknya 'menghilang'. Mereka bermigrasi ke bagian utara Italia dan juga luar negeri.

Hal tersebut terjadi akibat adanya permasalahan ekonomi yang melanda Desa Riace, Italia, membuat warga mencari pekerjaan ke luar daerah.

Namun sejak beberapa waktu yang lalu, kota hantu itu kini telah dihuni. Secara teratur, pengungsi berdatangan ke wilayah tersebut.

Mereka menjadikan tempat itu sebagai rumah 'baru', hidup dalam sebuah komunitas dan bekerja di sana.

Seperti dikutip dari BBC, Senin (26/9/2016), transformasi tersebut digagaskan oleh Wali Kota Domenico Lucano, yang membuat skema didanai pemerintah Italia, sebagai tempat penampungan pengungsi.

Selain membantu para korban, hal tersebut juga dapa membantu memulihkan kembali perekonomian dan populasi tempat yang 15 tahun lalu itu disebut 'kota hantu'.

"Aku tidak melakukan apa pun. Aku hanya berpikir apa yang seharusnya dilakukan untuk komunitas kecil kita ini," kata Lucano yang memulai merintis program tersebut pada 1998.

Pasangan pengungsi yang merasa beruntung tinggal di 'desa hantu' (Francesco Pistilli/BBC)

"Keanekaragaman budaya yang dibawa oleh orang-orang yang masuk ke dalam wilayah yang dulunya disebut kota hantu itu membawa Riace mengalami revolusi. Sederhana saja. Ada yang tidak punya rumah, dan di sini ada rumah-rumah tak punya penghuni," tambah wali kota itu.

Anak-anak bermain bersama (Francesco Pistilli/BBC)

Sekitar 450 pengungsi dari 20 wilayah di seluruh Eropa datang untuk tinggal di Riace. Jumlah itu sudah mendekati satu per empat jumlah total warga lokal.

Beberapa anak-anak yang berasal dari Etiopia pun kini telah mengusai setidaknya dua bahasa, Italia dan bahasa ibu atau Inggris.

Memang pada awalnya terjadi beberapa ketegangan antara warga dengan pendatang. Namun Lucano yang telah 3 kali menjabat menjadi wali kota itu berhasil mendapatkan kepercayaan mereka.

Akibat programnya yang sangat membantu tersebut, menurut survei yang dimuat di dalam sebuah majalah, Lucano dinobatkan menjadi salah seorang dari 50 pemimpin paling hebat di dunia.

Kegiatan Warga bersama Pengungsi

Kegiatan Warga 'Kota Hantu'

Berbagai kegiatan dilakukan oleh penduduk lokal bersama para pengungsi yang datang ke wilayah mereka. Seperti salah satunya yang dilakukan Tahira, seorang imigran dari Afganistan.

Tahira, migran Afganistan yang belajar membordir (Francesco Pistilli/BBC)

Sejak kedatangannya ke Riace, perempuan itu belajar membordir dari seorang warga. Dia bekerja sambil meningkatkan kemampuan bahasanya.

Tahira bertugas sebagai bagian dari program integrasi Eropa untuk pencari suaka.

"Apa yang aku harapkan dari cerita ini adalah menyebarkan pesan kemanusiaan, harapan, dan anti-rasisme kepada dunia. Yang lain harus melihat bagaimana warga menyambul para pengungsi," kata Lucano.

Lucano juga menyebutkan bahwa kebijakan baru tersebut memberi desa kehidupan baru. Kehadiran orang baru dalam sistem mereka tidak memicu peperangan ataupun masalah lainnya.

"Hal ini memberikan nilai-nilai baru kepada kita sebagai orang yang terlibat langsung di dalamnya," kata sang wali kota.

Selain menjahit, pendanaan lokal juga telah membantu pembukaan lokakarya pertukangan. Di tempat itu para migran seperti Rawda bisa mendapatkan upah dan belajar berdagang.

Seperti salah satunya membuat kerajinan tangan yang bisa dijual kepada wisatawan.

Pengrajin lokal bersama dengan pengungsi (Francesco Pistilli/BBC)

"Aku tidak merasa seperti orang asing di sini. Ini adalah sebuah kehidupan baru buat aku dan keluargaku. Di Somalia anakku tidak bisa bersekolah, kini dia bisa menjadi warga dunia," ujar Rawda yang datang bersama anak dan suaminya ke desa tersebut 5 tahun yang lalu.

"Aku senang mereka datang ke sini, setidaknya aku bisa mengajarkan apa yang kuketahui tentang kerajinan tangan," kata seorang pengrajin tangan lokal.

Sementara itu, walaupun banyak yang merasa senang dengan kedatangan para pengungsi, kekhawatiran tetap tidak bisa ditepis dari benak mereka.

Dengan kurangnya lapangan kerja di desa tersebut, membuat beberapa warga atau pun pengungsi merasa mereka kekurangan penghasilan dan lapangan pekerjaan di tempat itu.

"Aku bangga dengan apa yang dilakukan oleh wali kota. Namun di satu sisi aku juga merasa khawatir tentang masa depan tempat ini. Ada banyak pengungsi yang datang setiap harinya, tentunya kebutuhan juga bertambah," ucap seorang warga, Luca.

Selain itu, ternyata tidak semua pengungsi merasa dapat menyatu dengan penduduk setempat sepenuhnya. Seperti salah satunya, Sheriffo dari Gambia.

"Tak ada pekerjaan di sini dan subsidi dari pemerintah tidak cukup untukku dan istriku. Pekerjaanku hanya menjual barang di pinggir pantai kepada  para wisatawan. Tapi siapa yang mau berkunjung ke tempat ini?" kata Sheriffo.

Sementara itu pengungsi lainnya merasa pekerjaan bukanlah masalah yang besar.

Bagi mereka dengan adanya sambutan yang hangat dari penduduk lokal dan wali kota, sudah merupakan suatu keberuntungan bagi mereka.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya