Liputan6.com, Tokyo - Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, mengatakan saat ini penyelidikan tengah berlangsung di Negara Bagian Rakhine atas dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan militer. Pernyataan tersebut disampaikan Suu Kyi dalam kunjungannya ke Tokyo, Jepang.
Suu Kyi yang merupakan putri dari pahlawan nasional Myanmar, Aung San, itu lebih lanjut menyampaikan bahwa pemerintah saat ini tengah berusaha mencari akar masalah dan tidak akan menuding siapa pun sampai semua bukti tersedia.
"Kami telah sangat berhati-hati untuk tidak menyalahkan siapa pun sampai kami memiliki bukti yang lengkap mengenai siapa bertanggung jawab untuk apa," ujar Suu Kyi seperti dikutip dari Reuters, Sabtu (5/11/2016).
Advertisement
Ia mengatakan bahwa pemerintah tidak berusaha untuk menyembunyikan apa pun, termasuk fakta bahwa kekerasan di Rakhine tak hanya menyebabkan jatuhnya korban di kalangan umat muslim, tetapi juga petugas polisi.
"Kami berusaha mencari akar masalahnya. Kami memiliki proses hukum dan semua insiden yang terjadi akan diselidiki dan diperlakukan sesuai dengan aturan hukum yang ada," ujarnya.
Peraih Nobel Perdamaian tersebut tengah berada dalam kunjungan lima hari di Jepang di mana ia dikabarkan akan membahas bantuan ekonomi dan proses pembangunan perdamaian di Myanmar di tengah meningkatnya sejumlah aksi kekerasan yang terjadi di Rakhine, termasuk kekerasan terhadap warga minoritas, Rohingya.
Belakangan, kritik dari luar negeri mengalir deras ke Suu Kyi terkait penanganan pemerintahannya atas krisis Rakhine di mana tentara dituduh memperkosa dan membunuh warga sipil. Sementara akses relawan kemanusiaan ke wilayah tersebut selalu ditolak sebelum akhirnya diterima pada Kamis lalu.
Pada 9 Oktober lalu terjadi penyerangan terhadap tiga pos polisi di Rakhine yang menewaskan sembilan orang. Ini diduga terinspirasi oleh kelompok militan Islam. Serangan ini disebut-sebut sebagai yang terburuk sepanjang Suu Kyi berkuasa.
Ketegangan antara etnis minoritas dengan pemerintah Myanmar telah mendorong sekelompok orang melakukan perlawanan bersenjata untuk memperjuangkan otonomi yang lebih luas pascakemerdekaan negara itu pada 1948.
Dalam pertemuannya dengan para pebisnis Jepang, Suu Kyi sempat menegaskan bahwa dibutuhkan perdamaian untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan di Myanmar.
Sementara operasi militer yang diterapkan di Rakhine telah mempertajam ketegangan antara pemerintahan sipil dengan tentara yang telah berkuasa di negara itu selama puluhan tahun. Militer saat ini masih memegang "kekuatan kunci", termasuk memegang kendali atas kementerian yang bertanggung jawab untuk keamanan.
Rancangan konstitusi militer Myanmar memang memberikan militer kontrol terkait persoalan keamanan. Namun banyak pihak kecewa atas minimnya keterlibatan Suu Kyi dalam penanganan krisis di Rakhine.