Liputan6.com, Jakarta - Pada 5 November lalu, muncul pernyataan dari Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto Myanmar. Ia bicara tentang kekerasan yang terjadi terhadap warga muslim Rohingya di Rakhine.
Saat itu Suu Kyi mengatakan, penyelidikan atas dugaan penyalahgunaan wewenang oleh pihak militer berupa pemerkosaan, pembunuhan, dan pembakaran rumah warga Rohingya tengah berlangsung. Ia menekankan, tidak akan menuding pihak mana pun sampai mendapat semua bukti yang dibutuhkan.
"Kami sangat berhati-hati untuk tidak menyalahkan siapa pun sampai kami memiliki bukti lengkap mengenai siapa yang bertanggung jawab," ujar Suu Kyi seperti dilansir Reuters.
Advertisement
Ironisnya, belakangan pernyataan Suu Kyi itu dianggap menunjukkan bahwa ia tidak mau atau tidak mampu berkonfrontasi dengan pihak militer secara langsung. Tak hanya itu, perempuan yang lekat dengan julukan pejuang demokrasi serta partai yang dipimpinnya, Liga Nasional Demokrasi (NLD) disebut-sebut "mengadopsi" pemikiran militer bahwa Rohingya merupakan imigran ilegal dari Bangladesh.
Menurut peneliti LIPI, Tri Nuke Pudjiastuti, Suu Kyi seharusnya adalah tokoh kunci dalam upaya mengakhiri penindasan hak asasi manusia (HAM) yang dialami warga Rohingya mengingat kapasitasnya sebagai pemimpin de facto Myanmar. Namun hingga kini ia tidak menjalankan perannya.
Tatmadaw, angkatan bersenjata Myanmar diketahui masih otonom dan hubungannya dengan Suu Kyi sejauh ini "tidak jelas". Di bawah Konstitusi 2008 yang tidak bisa diubah tanpa persetujuan militer, tentara memegang kekuasaan terhadap kementerian pertahanan, urusan dalam negeri, dan urusan perbatasan.
Meski muncul pertanyaan sejauh mana pemerintahan sipil mampu menghadapi pemerintahan militer, Suu Kyi tetap saja dinilai memiliki keharusan moral dan strategis untuk menyelesaikan krisis Rohingya. Di lain sisi, Nuke melihat sikap diam Suu Kyi ini menunjukkan bahwa ia sangat berkepentingan menjaga kekuasaannya.
"Saya melihat Suu Kyi sebagai seorang oportunis. Sejak awal dia terkesan lebih mementingkan kelompoknya dibanding Myanmar secara keseluruhan. Ini terbukti ketika dia sudah terpilih. Bahkan ketika dunia luas mengkritiknya, ia tidak terlalu suka karena dianggapnya ikut campur," ujar Nuke yang juga menjabat sebagai Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) LIPI ini kepada Liputan6.com, Kamis (24/11/2016).
Dalam pidato pertamanya di hadapan Sidang Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat, September lalu, Suu Kyi sama sekali tidak menyebut Rohingya. Ia membela upaya pemerintah Myanmar terkait perlakuan mereka terhadap etnik minoritas tersebut.
Kala itu, Suu Kyi mengatakan bahwa pemerintah Myanmar tidak gentar terhadap kritikan dunia internasional. Ia pun meminta pemahaman serta kontribusi yang membangun dari komunitas global.
"Pemerintah Myanmar mengambil pendekatan holistik yang akan membawa kemajuan, baik pada program jangka pendek maupun jangka panjang yang ditujukan untuk membangun pemahaman dan kepercayaan," tegas Suu Kyi di mimbar PBB.
Nuke lebih lanjut menambahkan bahwa pembiaran yang dilakukan Suu Kyi ini membuatnya pantas "dihukum".
"Terus terang, Nobel Perdamaian yang diterimanya layak untuk dicabut. Ia membiarkan tentara menindas Rohingya. Suu Kyi adalah seorang safety player. Belakangan, kekuasaan adalah hal yang penting bagi dia," tegas Nuke.
Konflik Ekonomi dan Sosial yang Dibungkus Agama
Nuke setuju bahwa konflik di Rakhine merupakan kasus yang kompleks. Namun ia menekankan bahwa yang terjadi bukanlah konflik agama, melainkan ekonomi dan sosial.
"Yang terlihat memang antara umat Buddha dan Islam. Namun perlu dipahami bahwa etnik Rakhine sendiri merupakan minoritas. Secara sumber daya alam, wilayah Rakhine memang kaya namun warganya miskin. Mereka juga mendapat diskriminasi dari etnik Burma yang berada di pemerintahan pusat. Warga yang sudah miskin ditambah dengan kehadiran Rohingya yang jauh lebih miskin, maka yang terjadi sebenarnya adalah perebutan sumber daya alam, hak untuk hidup," tegas Nuke.
Ada pula kekecewaan yang dirasakan oleh warga Rakhine terhadap Rohingya. Pasalnya, Rohingya tidak memberikan dukungan politik kepada etnik Rakhine untuk duduk dalam parlemen.
"Dan yang paling mudah untuk dicari perbedaanya bukan soal etnik. Karena mereka sama-sama minoritas. Tapi adalah agama. Sehingga inilah yang mencuat ke permukaan, terlebih Rohingya tidak termasuk dalam etnik yang mendapat kewarganegaraan sesuai dengan UU Kewarganegaraan yang disusun militer pada 1982," jelas perempuan berkacamata tersebut.
Sentimen anti-etnik di Myanmar disebut Nuke sangat kuat ketika salah satu etnik tidak menunjukkan keberpihakannya melalui pemberian dukungan kepada kelompok lain. Inilah yang membuat krisis Rohingya lebih dominan muncul di permukaan. Padahal, diskriminasi terhadap etnik lain juga terjadi di Myanmar.
Meski mengalami diskriminasi, kelompok minoritas lain tetap saling menjaga hubungan baik dengan sesama mau pun dengan etnik mayoritas.
"Kalau Anda melakukan penelitian di sana dan bertanya pada etnik-etnik minoritas lain, mereka akan mengatakan tidak suka dengan Rohingya. Sehingga inilah yang menyebabkan Rohingya semakin tidak terlindungi. Jadi, ada soal politik dan ekonomi di sini bukan agama yang menjadi sumbernya. Namun yang kemudian terjadi adalah konflik ini dibungkus dengan isu agama," kata dia.
Peneliti LIPI ini berpendapat bahwa solusi krisis Rohingnya adalah membawa isu ini ke dalam forum regional, ASEAN. Karena menurutnya ini sudah berkaitan dengan pelanggaran HAM dan stabilitas kawasan.
"Sebenarnya, kata kuncinya adalah mengubah pola pikir pemerintah Myanmar. Tapi itu akan sangat lama. Jalan lainnya adalah memainkan peran ASEAN dalam kerangka penegakan HAM. Meski di ASEAN tidak boleh mencampuri urusan dalam negeri sebuah negara, namun ketika terjadi penindasan HAM itu bisa dinegosiasikan. Kenapa ini penting untuk diangkat dalam forum kawasan? Karena menyangkut dengan stabilitas regional. Ini bukan lagi sekadar persoalan internal, melainkan sudah menyangkut isu HAM, genosida dan sebagainya," ungkap Nuke.