Liputan6.com, Tel Aviv - Lolosnya resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB yang mengecam pembangunan pemukiman Yahudi merupakan "pukulan telak" bagi Israel." Hubungan Israel dengan negara-negara yang menggagas lahirnya resolusi itu pun terancam, termasuk Selandia Baru.
Menurut laporan media lokal di Israel, Haaretz seperti yang dikutip The Guardian, Kamis, (29/12/2016) jauh sebelum resolusi tersebut disahkan PM Netanyahu telah menelepon Menteri Luar Negeri Selandia Baru, Murray McCully.
"Ini adalah keputusan memalukan. Saya minta Anda tidak mendukungnya dan tidak mempromosikannya. Jika Anda melanjutkan promosi resolusi ini, maka dari sudut pandang kami itu adalah sebuah deklarasi perang. Ini akan memutuskan hubungan dan akan ada konsekuensi."
Advertisement
"Kami akan menarik duta besar kami," demikian pernyataan keras Netanyahu kepada McCully.
Namun peringatan tersebut kabarnya tidak ditanggapi oleh McCully. Ia mengatakan, "Resolusi ini sesuai dengan kebijakan kami dan kami akan tetap maju."
Seorang diplomat Barat menegaskan pembicaraan keduanya melalui sambungan telepon. Ia bahkan menggambarkan keduanya saling bersikeras.
Pejabat senior di Kementerian Luar Negeri Israel dilaporkan juga telah menelepon Duta Besar Selandia Baru untuk Israel, Jonathan Curr. Sang dubes diperingatkan jika resolusi lolos, Israel mungkin akan menutup kedubesnya di Wellington sebagai bentuk protes.
Baca Juga
Israel menanggapi secara sangat serius pihak-pihak yang mendukung resolusi tersebut. Sementara, hubungan diplomatik dengan Selandia Baru "terputus" menyusul ditarik Dubes Israel, Itzhak Gerberg.
Di bawah tekanan kuat internasional, pemerintahan Netanyahu yang semula dijadwalkan akan membahas persetujuan rencana pembangunan 600 rumah di Yerusalem timur akhirnya membatalkan agenda tersebut.
Sikap ketar-ketir Netanyahu--memanggil pulang dubesnya di Wellington, memberhentikan pendanaan ke sejumlah badan PBB serta Senegal dan memanggil dubes AS--telah "membingungkan" para diplomat asing.
Hasil resolusi tersebut seharusnya sudah dapat diprediksi mengingat ini merupakan sikap lama masyarakat internasional terkait rencana pembangunan pemukiman Yahudi.
Sementara itu, di Washington, pada hari Rabu waktu setempat, Menteri Luar Negeri AS, John Kerry berpidato selama 70 menit. Ia menguraikan parameter kebijakan pemerintahan Barack Obama dalam melihat penyelesaian dari proses perdamaian di Timur Tengah.
Tampilnya Kerry di muka publik ini terjadi kurang dari sebulan sebelum Presiden Obama meninggalkan Gedung Putih. Pidatonya diharapkan dapat menjadi "penegasan" terakhir tentang upaya AS selama empat tahun terakhir, tepatnya sejak Kerry menduduki pos menteri luar negeri.
Kerry menegaskan, bahwa pembangunan pemukiman yang dilakukan Israel di kedua wilayah tersebut akan membahayakan perdamaian Timur Tengah.
"Ini bukanlah resolusi yang mengisolasi Israel. Melainkan adalah kebijakan permanen terkait pembangunan pemukiman yang membuat perdamaian menjadi tidak mungkin diraih," ujar Kerry.
Sementara di Israel, pidato Kerry dilihat sebagai "tamparan" perpisahan yang ditujukan Obama kepada Netanyahu. Sejak Obama menakhodai Gedung Putih, kedua pemimpin memang sering beda pendapat.
Menteri Keamanan Publik Israel, Gilad Erdan, mengatakan kepada Israel Army Radio bahwa pidato Kerry adalah sebuah langkah menyedihkan dan anti-demokrasi.
Sejak Jumat lalu, tepatnya ketika resolusi yang mengecam pembangunan pemukiman Yahudi tersebut disahkan, AS dinilai telah merobek pendekatan diplomatik yang sudah lama terjalin dengan Israel. Negeri Paman Sam diketahui memilih sikap abstain sementara 14 negara anggota DK PBB lainnya mendukung resolusi itu.
Selain Selandia Baru, sejumlah negara juga membidani lahirnya resolusi, yaitu Venezuela, Senegal, dan Malaysia.
Sebelumnya, Mesir juga ikut bergabung dengan empat negara tersebut. Namun belakangan lobi Israel dan Donald Trump membuat Negeri Piramida itu menarik kembali usulannya.
Media lokal di Mesir yang pro-Presiden Abdel Fatah al-Sisi justru melaporkan terdapat sebuah memo bocor yang diduga menjadi bukti persekongkolan AS dengan Palestina sehingga memungkinkan Washington abstain dalam pemungutan suara.
Kementerian Luar Negeri AS membantah laporan tersebut.