Liputan6.com, Marawi - Sejumlah anggota kelompok militan pro ISIS yang menyerbu kota Marawi di wilayah selatan Filipina merupakan warga asing. Hal tersebut dikonfirmasi oleh otoritas setempat.
Enam anggota kelompok militan termasuk warga Malaysia dan Indonesia dikabarkan tewas saat tentara Filipina menggelar operasi untuk mengusir mereka keluar dari Marawi. Demikian seperti dilansir BBC, Jumat (26/5/2017).
Sementara itu The Star dalam laporannya menyebutkan dua anggota kelompok militan asal Malaysia tewas dalam bentrokan teranyar dengan pihak militer Filipina. Mengutip data intelijen, media itu memuat identitas mereka yang tewas adalah Abdurahman Asmawi asal Kelantan dan Kamsa Yahya asal Kedah.
Advertisement
Straits Times melansir, warga Singapura juga tergabung dalam kelompok militan yang bentrok dengan militer Filipina di Marawi. Meski demikian jumlah dan identitas warga asing yang ditemukan tewas masih simpang siur.
Adapun abs-cbn mengutip pernyataan juru bicara angkatan bersenjata Filipina Restituto Padilla menyebutkan, teroris asing termasuk di antara mereka yang tewas dalam pertempuran di Marawi.
Menurut Padilla, setidaknya 31 anggota kelompok militan telah terbunuh sejauh ini. "Beberapa dari mereka adalah warga Malaysia, Singapura, dan Indonesia."
Jaksa Agung Muda Filipina Jose Calida mengatakan bahwa anggota kelompok militan domestik kini telah menyerap ideologi ISIS. "Mereka ingin menjadikan Mindanao bagian dari kekhalifahan."
Pengakuan otoritas Filipina tersebut mengonfirmasi pandangan ahli yang melihat, ISIS menargetkan muslim di Filipina selatan untuk mendirikan sebuah basis di Asia Tenggara.
Marawi yang merupakan ibu kota dari provinsi Lanao del Sur yang terletak di pulau Mindanao adalah sebuah kota yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Kawasan ini merupakan basis bagi kelompok militan Maute yang telah bersumpah setia kepada ISIS.
Krisis Marawi dimulai pada 23 Mei 2017, saat militer melancarkan serangan ke kota itu untuk menangkap Isnilon Hapilon, pimpinan kelompok Abu Sayyaf. Pertempuran tak terelakkan saat pasukan Hapilon melepas tembakan ke arah pasukan gabungan.
Hapilon lantas meminta bala bantuan ke militan Maute, sebuah kelompok yang telah bersumpah setia kepada ISIS. Maute diyakini bertanggung jawab atas pengeboman di Davao pada tahun 2016.
Kelompok Maute dengan cepat datang dan berhasil menduduki sejumlah bangunan di kota tersebut termasuk di antaranya Marawi City Hall, Mindanao State University, sebuah rumah sakit dan penjara. Mereka juga menguasai sejumlah jalan utama dan membakar gereja, sekolah, dan kampus yang dikelola United Church of Christ in the Philippines (UCCP).
Sejak dua hari lalu, Presiden Rodrigo Duterte telah memberlakukan status darurat militer di Mindanao pascabentrok tersebut.
Belakangan, Duterte mengancam akan memberlakukan darurat militer nasional di Filipina dengan "keras", serupa masa kediktatoran Ferdinand Marcos.