Liputan6.com, Tel Aviv - Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump menentang rencana pemungutan suara yang akan dilakukan pemerintah Israel atas sebuah rancangan undang-undang kontroversial. Kabar itu datang dari seorang pejabat AS yang anonim.
Rancangan undang-undang itu, menurut seorang pejabat AS, akan memberikan Israel wewenang untuk melakukan aneksasi secara de facto atas sejumlah permukiman Yahudi di sekitar Yerusalem. Demikian seperti dikutip dari Strait Times, Senin (30/10/2017).
Baca Juga
RUU tersebut akan menyerap sebagian besar permukiman di Tepi Barat, Yerusalem untuk masuk ke dalam teritori Israel. Penyerapan permukiman itu dilakukan dengan cara memperbesar batas kota.
Advertisement
"Saya pikir wajar jika AS menentang hal itu (voting RUU), karena kami yakin hal itu akan mengganggu prinsip-prinsip dasar untuk memajukan negosiasi secara damai," kata seorang pejabat AS yang anonim.
Permukiman yang terkena dampak atas RUU itu adalah Maale Adumim, Beitar Illit, Efrat, Givat Zeev, dan blok Gush Etzion.
Menteri Intelijen dan Transportasi Yisrael Katz, yang mendorong RUU tersebut berencana menambah 150Â ribu orang Israel ke penduduk Yerusalem, memperkuat etnis Yahudi di kawasan.
Berbagai pihak yang menentang RUU itu menilai, legislasi tersebut adalah langkah Israel untuk melakukan aneksasi penuh secara sepihak terhadap seluruh permukiman di Tepi Barat Yerusalem.
Israel Pun Menunda Voting RUU
Sebelumnya, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah menunda proses pemungutan suara RUU tersebut yang akan dilakukan oleh komite kabinet.
Menurut jadwal yang semula ditetapkan, proses pemungutan suara akan dilakukan pada Minggu, 29 Oktober. Namun, menurut pejabat Israel kepada Agence France Presse, voting ditunda atas alasan, demi "persiapan diplomatik".
Seperti dikutip dari Haaretz, Netanyahu mengatakan bahwa Israel akan berdiskusi terlebih dahulu dengan Amerika Serikat sebelum melanjutkan voting RUU tersebut.
"Kami tengah berkomunikasi dengan AS. Saat ini kami tengah berkoordinasi dan berbicara dengan mereka, demi mempromosikan dan mengembangkan permukiman di sana (Tepi Barat Yerusalem)," kata Netanyahu seperti dikutip dari Haaretz.
RUU tersebut telah dibahas oleh pemerintah Israel sejak tahun lalu. Netanyahu awalnya setuju untuk mendorong pengesahan RUU itu pada bulan Juli menyusul sebuah serangan di Temple Mount Yerusalem yang menewaskan dua petugas polisi.
Namun sejauh ini, RUU itu belum mencapai tahap pemungutan suara yang paling awal sekalipun.
Penundaan voting RUU tersebut dapat dianggap sebagai sebuah sinyal bahwa PM Netanyahu mungkin berada di bawah tekanan dari AS. Washington sendiri, selama ini, tengah mencari cara untuk memulai kembali perundingan damai Israel - Palestina yang sempat terhenti beberapa waktu silam.
"RUU itu memicu tekanan internasional dan berbagai isu hukum. Netanyahu belum akan melanjutkan RUU tersebut saat ini," kata seorang pejabat Israel yang tak disebutkan namanya.
Selain itu, jika RUU tersebut tetap diloloskan oleh Israel dan AS tetap membiarkan hal itu terjadi, berbagai pihak memprediksi akan terjadi kecaman besar dari komunitas internasional.
Bagi sebagian besar masyarakat internasional, status permukiman Israel, yang dibangun di Tepi Barat Yerusalem, harus diputuskan lewat perundingan damai yang melibatkan pihak Palestina.
Advertisement