Bukan Planet Nibiru, Ini 3 Teori 'Kiamat' yang Berpotensi Terjadi

Dari berbagai contoh, berikut 3 skenario yang dianggap sebagai kejadian yang paling berpotensi memicu kiamat atau setidaknya bencana besar

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 20 Nov 2017, 12:01 WIB
Diterbitkan 20 Nov 2017, 12:01 WIB
Ditabrak Planet Nibiru, Bumi Kiamat Desember 2015?
situs bernama Before Its News memprediksi bahwa bumi akan ditabrak oleh planet yang menyebabkan kiamat, yakni pada Desember 2015

Liputan6.com, Washington, DC - Baru-baru ini, sebuah prediksi tentang akhir zaman kembali muncul. Para pencetus teori konspirasi dan pegelut ilmu semu (pseudoscience) mengklaim bahwa pada 19 November lalu, benda angkasa luar sebesar planet bernama Nibiru akan menghantam dan menghancurkan Bumi.

Pada kenyataannya, Bumi masih berputar hingga hari ini. Dan berbagai lembaga, seperti Badan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA), terus konsisten membantah eksistensi planet Nibiru tersebut beserta teori kiamat yang menyertainya.

Meski begitu, narasi dan diskursus tentang kiamat atau bencana besar selalu tak lekang dari proses komunikasi maupun interaksi sekelompok manusia.

Beberapa bahkan memiliki pandangan yang lebih "realistis" tentang bencana tersebut, mengasosiasikannya dengan tensi geopolitik dan militer dunia yang tengah hangat pada masa kini atau berbagai gejala alam jauh yang lebih potensial, ketimbang Planet Nibiru.

Dari berbagai contoh, berikut tiga skenario yang dianggap sebagai kejadian yang paling berpotensi memicu kiamat atau setidaknya bencana besar, seperti yang Liputan6.com rangkum dari Newsweek, Senin (20/11/2017).

1. Yellowstone Supervolcano

Intip beragam pemandangan menakjubkan dari 6 taman nasional yang ada di dunia berikut ini. (Taman Nasional Yellowstone -iStockphoto)

Gunung berapi di taman nasional Yellowstone, Amerika Serikat, secara periodik kerap menjadi subjek narasi kiamat dalam berbagai berita atau kisah.

Ketika ditanya mengenai kepopuleran Yellowstone dalam narasi kiamat, ahli geologi Christy Till mengatakan kepada Newsweek bahwa, "Kecenderungan itu berasal dari frekuensi gempa yang sering terjadi di Yellowstone. Meski begitu, klaim tentang gunung berapi di sana justru sulit untuk dipahami."

Meski begitu, beberapa ilmuwan lain tak senada dengan Till. Ada yang menyebut bahwa teori Yellowstone Supervolcano mungkin masih relevan. Apa lagi mengingat, sempat terjadi erupsi dahsyat di kawasan tersebut pada masa prasejarah.

Dan, ketakutan akan konsekuensi dari erupsi dahsyat--yang meliputi selimut abu yang bisa membahayakan kehidupan di Bumi--jika peristiwa seperti itu benar terjadi, membuat teori tersebut sangat menakutkan.

Kendati demikian, jika dan ketika teori itu semakin mendekati kenyataan, kemungkinan besar United States Geological Society (USGS), lembaga yang memonitori Yellowstone, akan membuat early warning system bagi seluruh masyarakat yang mungkin akan terdampak atas bencana tersebut.

 

2. Perang Nuklir

Ilustrasi bom nuklir (iStock)

Keyakinan akan potensi perang nuklir besar telah diwariskan oleh peradaban manusia modern secara turun-temurun selama beberapa lintas generasi yang dimulai sejak Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945.

Potensi itu kian di ambang pintu ketika Krisis Rudal Kuba 1962 terjadi pada masa Perang Dingin AS-Uni Soviet. Kala itu kedua negara blok kekuatan dunia itu secara harafiah saling berhadap-hadapan menghantarkan misil nuklir mereka sangat dekat dengan satu sama lain.

Namun, beberapa dekade berlalu, paranoid perang nuklir masih terus bertahan hingga kini. Apalagi sejak kemunculan negara seperti Korea Utara yang secara agresif nan provokatif mengklaim akan meluncurkan hulu ledak nuklir, yang mereka klaim punya.

Meski begitu, seorang analis menyebut bahwa potensi perang nuklir--meski realistis-- mungkin sulit untuk dapat benar-benar terjadi.

"Negara pemilik senjata nuklir sangat jarang terlibat dalam konflik militer langsung, mengesampingkan banyak pertempuran kebijakan AS-Uni Soviet selama Perang Dingin. Hanya ada beberapa negara pemilik senjata nuklir yang sempat terlibat dalam bentrokan singkat. Namun bentrokan itu tak begitu serius dan bersifat nonnuklir, seperti China dengan Rusia pada 1969 serta India dengan Pakistan pada 1999," kata Peter Beinart, seorang kolumnis dan pemerhati politik.

"Dan sejarah membantu kita memahami kondisi pada masa kini, khususnya dalam konflik antara AS dengan Korea Utara. Tetap saja, pertukaran retorika agresif yang dilakukan oleh Presiden Trump dan Kim Jong-un membuat orang bingung," tambahnya.

 

3. Asteroid Raksasa

Ilustrasi asteroid mendekati Bumi. (Via: telegraph.co.uk)

Setiap kali kata asteroid raksasa disebut, maka gagasan yang terlintas pada sejumlah orang adalah potensi benda angkasa luar itu menabrak Bumi dan menimbulkan bencana dahsyat.

Meski begitu, sejumlah pakar menyebut bahwa potensi itu memang ada, tapi sangat kecil kemungkinannya.

Selain itu, jikalau asteroid raksasa benar-benar mampu menyentuh Bumi, kecil kemungkinan benda angkasa luar itu mampu menghancurkan semua kehidupan di Planet Biru. Penelitian terbaru menyebut bahwa asteroid hanya memiliki probabilita 13 persen untuk dapat membasmi kehidupan di muka Bumi.

Pada masa prasejarah, probabilita 13 persen itulah yang justru menyebabkan kepunahan massal yang mengakibatkan kepunahan dinosaurus. Akan tetapi, bencana itu tidak membinasakan makhluk hidup lain seperti hewan dan mamalia.

Kendati demikian, potensi kehancuran dahsyat yang dapat disebabkan oleh asteroid membuat Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) dan Lembaga Mitigasi Bencana dan Situasi Darurat AS (FEMA) menggelar latihan bersama untuk mempersiapkan kemungkinan hipotetis sebuah asteroid yang menyerang Bumi.

"Latihan itu bukan masalah 'jika peristiwa itu terjadi', namun 'kapan manusia akan menghadapi situasi seperti itu', alias tinggal menunggu waktu," kata Thomas Zurbuchen, Associate Administrator untuk Direktorat Misi Sains NASA, mengatakan dalam siaran pers NASA di Washington.

"Tidak seperti waktu lain dalam sejarah, sekarang kami memiliki kemampuan untuk menanggapi dampak ancaman melalui pengamatan, prediksi, perencanaan respons, dan mitigasi lanjutan," tambah Zurbuchen.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya