Menlu Rusia: AS Terus Memprovokasi Korut untuk Memulai Perang

Pernyataan itu merupakan cara Rusia yang mempertanyakan kebijakan 'agresif' teranyar AS terhadap Korea Utara selama beberapa pekan terakhir.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 27 Nov 2017, 17:00 WIB
Diterbitkan 27 Nov 2017, 17:00 WIB
Bendera Korea Utara
Bendera Korea Utara (AFP)

Liputan6.com, Moskow - Beberapa hari usai Amerika Serikat menetapkan Korea Utara sebagai "negara pendukung terorisme", Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov menyatakan, AS tengah mencoba untuk menyulut perang dengan Korut.

Lavrov mengutarakan hal tersebut saat bertemu dengan Menteri Luar Negeri Jepang Taro Kano di Moskow pada Jumat pekan lalu.

Pernyataan itu merupakan cara Lavrov yang mempertanyakan sejumlah kebijakan terbaru AS kepada Korut dalam beberapa hari terakhir, yakni menetapkan Korut sebagai negara pendukung terorisme, menjatuhkan sanksi ekonomi teranyar, dan terus mempertahankan presensi militer di kawasan Semenanjung Korea.

Padahal, dalam kurun waktu yang sama, Korea Utara sedang tidak melakukan tindakan yang provokatif, kata Menlu Lavrov berargumen.

"Kami sadar bahwa selama dua bulan terakhir, Korea Utara tidak melakukan tes peluncuran rudal. Dan tampaknya Washington justru tidak senang akan hal itu. Mereka (AS) justru kembali melakukan hal yang memprovokasi dan menyinggung Pyongyang," kata Lavrov, seperti seperti dikutip dari Newsweek, Senin (27/11/2017).

"AS melakukan langkah itu seakan Korea Utara akan bertindak agresif kembali. Dan mungkin pada akhirnya, (AS) akan melakukan opsi militer," tambah Menlu Rusia.

Selain itu, Lavrov juga menyatakan bahwa Jepang cenderung diam, pada saat AS melakukan aksi provokatif tersebut selama beberapa hari terakhir.

"Seperti yang kalian pahami, pemimpin AS mengatakan berkali-kali bahwa semua opsi tengah dipertimbangkan, termasuk militer. Dan kami memahami bahwa Perdana Menteri Jepang, saat bertemu dengan Presiden AS Donald Trump awal November lalu, mendukung 100 persen posisi AS," papar Lavrov di hadapan Menlu Jepang.

"Kami tak punya masalah dengan Jepang. Namun, kami melihat risiko adanya pertahanan misil AS di Jepang," tambah sang Menlu Rusia.

Jepang: Kami Harus Mempertimbangkan Segala Opsi

Menteri Luar Negeri Jepang Taro Kano merespons bahwa negaranya harus mempertimbangkan segala opsi demi mempertahankan diri dari Korea Utara, mengingat Pyongyang pernah menembakkan rudal yang melintas di langit Hokkaido pada September 2017 lalu.

"Kami yakin bahwa sangat perlu untuk mempertimbangkan segala opsi dan cara guna meningkatkan tekanan terhadap Korea Utara agar mereka menghentikan program nuklir dan rudalnya," kata Menlu Taro.

Dalam kesempatan itu, Menlu Taro juga kembali menegaskan bahwa Jepang berkomitmen untuk terus mendukung kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam menangani isu Korea Utara.

"Jepang menyambut sikap AS yang ingin melindungi Jepang dan Korea Selatan, dengan menggunakan segala cara penjeraan," lanjut Taro.

Pekan lalu, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mendukung langkah AS yang menetapkan Korea Utara sebagai negara pendukung terorisme. Abe mengatakan bahwa langkah itu akan "meningkatkan tekanan terhadap Korea Utara".

AS Kembali Menjatuhkan Sanksi untuk Korea Utara

Pemerintah Amerika Serikat kembali menjatuhkan sejumlah sanksi baru terhadap Korea Utara pada 21 November 2017. Hal itu dilakukan sebagai upaya agar Korut segera melucuti proyek pengembangan persenjataan rudal dan hulu ledak nuklirnya

Sanksi baru itu menyasar sejumlah firma transportasi perkapalan, distribusi barang, dan perdagangan yang dioperasikan oleh entitas bisnis Korea Utara dan China. Demikian seperti dikutip dari CNN Money, Rabu, 22 November 2017.

Sanksi terbaru itu menyasar satu individu, 13 perusahaan, dan 20 kapal yang terlibat dalam transaksi perdagangan yang menguntungkan Korea Utara senilai jutaan dolar AS.

Kementerian Keuangan AS menyatakan, sebagian besar firma yang menjadi sasaran sanksi adalah mereka yang beroperasi di bidang industri transportasi untuk distribusi barang serta komoditas ekspor-impor Korea Utara.

Korut juga diketahui menerapkan praktik pelayaran yang ilegal, termasuk transfer kapal ke kapal, menurut pihak Kemenkeu AS.

Keterlibatan Firma Bisnis China

Beberapa nama perusahaan China turut menjadi sasaran penjatuhan sanksi itu. Tiga perusahaan perdagangan China diketahui mengekspor barang senilai sekitar US$ 650 juta ke Korut dan mengimpor lebih dari US$ 100 juta.

Produk ekspor-impor itu meliputi komputer notebook, batu bara, dan besi.

Perusahaan China lainnya, Dandong Dongyuan Industrial, mengekspor barang senilai lebih dari US$ 28 juta ke Korea Utara selama beberapa tahun.

Barang-barang itu berupa kendaraan bermotor, mesin listrik, dan produk lain yang terkait dengan proyek pengembangan reaktor nuklir untuk Korut.

Dandong Dongyuan juga telah dikaitkan dengan perusahaan depan (front-company) untuk organisasi Korea Utara yang mengembangkan senjata pemusnah massal.

Penjatuhan sanksi terbaru itu hanya berselang satu hari usai pemerintah Presiden AS Donald Trump memasukkan nama Korea Utara ke dalam daftar negara pendukung terorisme pada Senin, 21 November 2017.

Sebelumnya, Korut telah dihapus dari daftar yang sama oleh Presiden George W Bush pada 2008.

Dalam pernyataannya, Trump mengatakan bahwa Korut telah "berulang kali" mendukung tindakan terorisme, termasuk "pembunuhan di luar negeri".

"Pengumuman ini akan disusul dengan sanksi dan hukuman lebih lanjut bagi Korut ... dan mendukung tekanan maksimum kami untuk mengisolasi rezim pembunuh tersebut," ungkap Presiden AS ke-45 itu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya