Protes soal Yerusalem, Muslim AS Salat di Depan Gedung Putih

Muslim AS menggelar salat Jumat di depan Gedung Putih sebagai protes atas pengakuan Trump yang menyebut Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

oleh Citra Dewi diperbarui 09 Des 2017, 11:06 WIB
Diterbitkan 09 Des 2017, 11:06 WIB
Warga Muslim AS Salat di Depan Gedung Putih
Warga Muslim melaksanakan Salat Jumat berjamaah di depan Gedung Putih, Washington DC, Amerika Serikat (AS), Jumat (8/12). Para warga muslim ini memprotes keputusan Presiden AS Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. (mari matsuri / AFP)

Liputan6.com, Washington, DC - Ratusan warga muslim Amerika Serikat menggelar salat Jumat di depan Gedung Putih. Hal itu dilakukan sebagai bentuk protes atas keputusan Presiden AS Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Menanggapi seruan organisasi muslim Amerika, jemaah menggelar sajadah mereka di sebuah taman yang berada di depan kediaman Trump di kompleks Gedung Putih.

Dengan menggunakan syal berwarna bendera Palestina, para pengunjuk rasa juga memegang spanduk yang bertuliskan kecaman pendudukan Israel di Yerusalem Timur dan Tepi Barat.

Trump mengumumkan hal yang menuai kecaman dari dunia internasional itu pada 6 Desember 2017 waktu Washington. Ayah lima anak itu mengumumkan akan memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.

"Trump tak memiliki secuil tanah Yerusalem dan Palestina. Ia punya Trump Tower. Ia dapat memberikannya kepada Israel," ujar Direktur Eksekutif Council on American-Islamic Relations (CAIR), Nihad Awad, seperti dikutip dari South China Morning Post, Sabtu (9/12/2017).

Berbicara bersama tokoh-tokoh terkemuka lainnya dari komunitas muslim Amerika selama unjuk rasa tersebut, Awad meminta Trump untuk mengutamakan kepentingan AS, bukan urusan asing.

Warga Muslim mendengarkan ceramah saat menggelar Salat Jumat berjamaah di depan Gedung Putih, Jumat (8/12). Para warga muslim ini menggelar sajadah mereka di sebuah taman yang ada di depan kediaman resmi Presiden AS Donald Trump. (mari matsuri / AFP)

Seorang pengunjuk rasa lainnya, Zaid al-Harasheh, mengatakan, keputusan Trump soal Yerusalem itu tak akan menciptakan perdamaian dan justru menimbulkan lebih banyak kekacauan.

Pada 8 Desember, bentrokan pecah antara ribuan warga Palestina dengan aparat keamanan Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Dalam peristiwa itu, dua orang dilaporkan tewas dan puluhan lainnya luka-luka.

 

Donald Trump Resmi Akui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel

Pada 6 Desember 2017, Trump secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Pengumuman Trump sekaligus menandai langkah awal pemindahan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Selama tujuh dekade, AS bersama dengan hampir seluruh negara lainnya di dunia, menolak mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel sejak negara itu mendeklarasikan pendiriannya pada 1948.

Sementara, menurut Trump, kebijakan penolakan tersebut membawa seluruh pihak "tidak mendekati kesepakatan damai antara Israel-Palestina".

"Akan menjadi kebodohan untuk mengasumsikan bahwa mengulang formula yang sama persis sekarang akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda atau lebih baik," ungkap Presiden ke-45 AS tersebut.

Trump sebelumnya telah bersumpah akan menjadi perantara "kesepakatan akhir" antara Israel dan Palestina. Terkait hal ini, ia menegaskan bahwa dirinya tetap berkomitmen untuk melakukan hal tersebut.

Pengakuan Trump atas Yerusalem dinilai mengisolasi AS dalam salah satu isu diplomatik paling sensitif di dunia. Sebelumnya, wacana Trump tersebut telah menimbulkan badai kritik dari para pemimpin negara-negara Arab dan Eropa.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya