Liputan6.com, London - Senjata yang dipasok Amerika Serikat dan Arab Saudi ke pasukan oposisi kerap jatuh ke tangan ISIS dan secara signifikan ini dianggap telah meningkatkan "kuantitas dan kualitas" persenjataan kelompok teroris mematikan tersebut. Hal itu diungkap melalui sebuah laporan terbaru.
Menurut penelitian kelompok pemantau senjata Conflict Armament Research (CAR) yang dipublikasikan pada Kamis, 15 Desember, jumlah senjata yang jatuh ke tangan ISIS "jauh melampaui yang bisa didapat melalui pertempuran biasa".
Laporan terkait persenjataan ISIS didasarkan pada investigasi lapangan selama tiga tahun di Irak dan Suriah. Penelitian ini menganalisis lebih dari 40 ribu barang yang ditemukan di medan perang termasuk senjata, amunisi, dan bahan yang digunakan untuk membuat alat peledak improvisasi (IED).
Advertisement
Seperti dikutip dari Al Jazeera pada Sabtu (16/12/2017), sejumlah senjata diakuisisi oleh ISIS melalui pergeseran aliansi di oposisi Suriah. Selain itu, penelitian CAR juga menyebutkan bahwa sebagian besar senjata ISIS merupakan hasil jarahan dari tentara Irak dan Suriah, tapi sebagian besar dipasok oleh negara-negara lain ke oposisi yang berperang melawan rezim Presiden Bashar Al Assad.
Seluruh barang yang dilibatkan dalam penelitian ini dibuat di negara-negara Uni Eropa dan dengan memasoknya ke kelompok bersenjata di Suriah, AS dan Arab Saudi dinilai melanggar klausul kontrak yang melarang retransfer.
"Bukti yang dikumpulkan CAR mengindikasikan bahwa AS berulang kali mengalihkan senjata dan amunisi buatan Uni Eropa ke pasukan oposisi dalam konflik Suriah. Pasukan ISIS dengan cepat mengambil alihnya dalam jumlah yang signifikan," sebut laporan itu.
Sekitar 90 persen senjata dan amunisi yang digunakan oleh ISIS disebutkan berasal dari China, Rusia, dan Eropa Timur. Sementara, senjata buatan Rusia melebihi jumlah senjata buatan negara-negara tersebut.
"Temuan ini mendukung anggapan luas bahwa kelompok itu pada awalnya merebut banyak materi militer dari pasukan pemerintah Irak dan Suriah," tulis CAR.
Baca Juga
Kelompok pemantau itu mengatakan bahwa senjata dan amunisi yang diproduksi Barat mewakili 10 persen sisanya.
CAR menyatakan laporannya itu menjadi peringatan nyata akan kontradiksi yang melekat dalam proses memasok senjata ke dalam konflik di mana kelompok bersenjata nonnegara bersaing dan beroperasi tumpang tindih.
Tahun lalu, CAR melaporkan bahwa ISIS telah memproduksi senjata kelas militer di Irak dan memiliki standar produksi sendiri.
Irak Umumkan Perang Lawan ISIS Berakhir
Pada Sabtu, 9 Desember 2017, Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi mengumumkan berakhirnya perang melawan ISIS. Pernyataan itu dikeluarkan setelah tentara Irak menguasai wilayah yang berbatasan dengan Suriah.
"Pasukan kita berhasil mangambil alih secara penuh perbatasan Irak-Suriah, dan oleh karena itu, saya mengumumkan berakhirnya perang melawan ISIS," kata Abadi dalam sebuah konferensi di Baghdad, seperti dilaporkan AFP.
"Musuh ingin membunuh bangsa kita, tapi kita telah menang melalui persatuan dan tekad kuat. Kita menang dalam waktu singkat," imbuhnya.
Pernyataan tersebut muncul dua pekan setelah pasukan Irak meluncurkan operasi untuk membersihkan Kegubernuran Al Anbar, Saladin dan Nineveh di perbatasan Suriah dari ISIS.
ISIS menggempur Irak pada 2014, merebut Mosul, kota kedua terbesar di negara itu. Mereka menjadikannya markas besar.
Hal tersebut mendorong pasukan Irak -- didukung oleh koalisi pimpinan Amerika Serikat -- memulai sebuah operasi pembebasan setahun kemudian.
Pada musim panas 2017, Mosul kembali direbut pasukan Irak. Sementara pada November 2017, di Kota Rawa, kubu ISIS sukses ditaklukkan.
Advertisement