Liputan6.com, Queensland - Media sosial mengubah hampir setiap bagian dari kehidupan manusia. Meski diklaim demikian, para ilmuwan masih meneliti bagaimana hal itu mempengaruhi kita.
Dengan lebih dari dua miliar pengguna aktif bulanan, Facebook adalah jaringan media sosial paling populer di dunia.
Namun skandal Cambridge Analytica baru-baru ini telah menyebabkan banyak orang mempertanyakan peran yang dimainkan Facebook dalam kehidupan mereka. Mengenai privasi mereka.
Advertisement
Beberapa orang bahkan telah menghapus akun mereka, menyebabkan harga saham perusahaan Mark Zuckerberg jatuh.
Tetapi, benarkah menjauhi media sosial baik untuk kesehatan mental dan kesejahteraan?
Para ilmuwan dari Universitas Queensland dan Universitas Katolik Australia telah mengeksplorasi efek samping mental ketika pengguna menjauhi Facebook dalam penelitian yang baru-baru ini diterbitkan dalam Journal of Social Psychology, yang berjudul 'The Burden of Online Friends'.
Dikutip dari Indy100 pada Selasa (3/4/2018), percobaan itu menganalisis 138 pengguna Facebook aktif. Peserta dipisahkan menjadi dua kelompok, salah satunya diberitahu untuk menjauhi Facebook selama seminggu, sementara yang lain diinstruksikan untuk melanjutkan aktivitas seperti biasa.
Baca Juga
Setelah seminggu, para ilmuwan mengukur konsentrasi hormon stres kortisol, serta stres dan kesejahteraan yang dirasakan. Mereka juga meminta setiap peserta menjawab serangkaian pertanyaan mengenai suasana hati, kesepian dan kepuasan hidup.
Para peneliti menyimpulkan hal berikut.
"Sehubungan dengan mereka yang berada dalam kondisi 'Normal Facebook' dan mereka yang berada dalam kondisi 'No Facebook'. Kelompok pertama mengalami tingkat kortisol dan kelompok kedua mengalami kepuasan hidup yang lebih rendah," tulis studi itu.
"Hasil kami menunjukkan bahwa pengguna Facebook terkadang dapat menemukan sejumlah besar informasi sosial yang tersedia, dan itu membuat mereka merasa lebih baik. Namun, mereka yang "libur" dari Facebook dapat memperbaiki stres -- setidaknya dalam jangka pendek," lanjut studi itu.
Meski demikian, setelah mengambil cuti lima hari dari Facebook, banyak peserta yang senang untuk kembali ke sana, meskipun menggunakan jaringan sosial menyebabkan stres. Dengan kata lain, beberapa individu merasa seperti mereka "kehilangan".
"Kami tidak tahu lama waktu yang diperlukan untuk mengurangi kortisol ini atau kapan akan mulai meningkat lagi sebelum seseorang memutuskan untuk kembali menggunakan Facebook," kata penulis studi Eric Vanman.
"Sebagai contoh, bisa jadi bahwa berada di luar Facebook selama beberapa hari pertama mengurangi stres, tetapi, semakin lama seseorang merasa seperti hilang, dan kortisol mulai meningkat lagi," ujarnya.
Vanman dan rekan-rekannya menduga efek ini tidak unik untuk Facebook, tetapi juga menegaskan bahwa studi yang jauh lebih besar diperlukan.
Dengan demikian, para ilmuan menyarankan, jeda singkat dari Facebook sangat baik bagi kesehatan jiwa. Dan ketika 'rindu' untuk kembali, jangan terlalu lama tenggelam dalam aktivitas ber-Facebook.
Â
Â
Saksikan juga video berikut ini:
Berkat Foto Viral di Facebook
Bagaimanapun juga Facebook setidaknya membuat orang terhubung satu sama lain. Seperti tagline-nya yang mengatakan 'we connect people'. Tak hanya itu, terkadang Facebook membuat hidup seseorang berubah jadi lebih baik.
Salah satunya yang dialami oleh wanita Afghanistan ini yang memiliki  tiga orang anak di bawah usia lima tahun dan seorang suami yang tidak bisa baca-tulis. Wanita itu, Yahapati Ahmadi (25), bermimpi mengubah nasibnya dengan menempuh pendidikan tinggi.
Seperti dikutip dari ABC News 2 April 2018 lalu, sebenarnya, ijazah sekolah menengah pertama yang dimilikinya, cukup untuk menjadi seorang guru sekolah dasar di desanya, di bagian tengah Afganistan. Namun, ia menginginkan lebih dari itu.
Pada 15 Maret lalu, Jahantap -- dengan dukungan besar dari suaminya -- berangkat ke ibu kota Provinsi Daikundi, Nili, untuk mengikuti ujian masuk universitas. Butuh waktu hingga dua jam berjalan kaki menuju terminal bus terdekat, melewati jalanan tandus yang berbatu.
Begitu tiba di Nili, dia mengikuti seluruh tahapan ujian, dan berhasil meraih peringkat 152 dari 200 orang yang diterima.
Namun, karena skema biaya kuliah yang tinggi, dan ketidaktahuannya tentang syarat pengajuan beasiswa, Jahanap pun memutuskan untuk berlapang dada, mengubur kembali cita-cita untuk belajar di perguruan tinggi.
Meski begitu sebuah foto yang diunggah ke Facebook, mengubah kisah sedih tersebut. Foto itu memperlihatkan Jahantap duduk bersila mengerjakan tes, seraya memangku bayinya yang tengah tidur terlelap.
Pemandangan tersebut dipotret oleh seorang guru di Nili, yang tersentuh dengan perjuangan Jahantap. Ia mengunggah foto tersebut ke Facebook, dan menjadi viral di kalangan warganet Afganistan dalam waktu cepat.
Salah satu pihak yang bersimpati terhadap foto tersebut adalah Zahra Yagana, seorang wanita yang menjalankan organisasi non-pemerintah di bidang hukum dan sosial.
Ia mengupayakan Jahantap diterima berkuliah secara gratis di sebuah universitas di ibukota Afghanistan, Kabul. "Ketika saya melihat gambar Jahantap di Facebook, saya sangat terkesan," kata Yagana.
"Segera, keesokan harinya saya menulis cerita tentang dia (Jahantap), dan saya pikir harus ada satu hal penting dilakukan untuknya, yakni membantu mewujudkan impian pendidikannya. Dia menginspirasi saya," lanjutnya.
Yagana pun mengajukan isu tersebut ke pemerintah, dan berhasil meluluhkan hati Wakil Presiden Afghanistan, Sarwar Danish, dan penasihat senior kepresidenan, Farkhunda Zahra Naderi.
Keduanya berjanji mendukung penuh terwujudnya mimpi Jahantap untuk duduk di bangku salah satu perguruan tinggi terbaik di Afganistan. Naderi akan membayar biaya pendidikan hingga empat tahun kuliah. Sementara Danish, berjanji membiayai sewa rumah Jahantap berserta keluarganya di Kabul.
"Mereka mengatakan bahwa Jahantap adalah simbol untuk wanita dan pendidikan," kata Yagana
Advertisement