HEADLINE: Peringatan 70 Tahun Israel, Momentum Klimaks Perlawanan Rakyat Palestina?

Demonstrasi warga Palestina digelar setiap Jumat dan diperkirakan akan memuncak pada 15 Mei 2018, pada hari jadi Israel.

oleh Khairisa FeridaRizki Akbar Hasan diperbarui 21 Apr 2018, 00:00 WIB
Diterbitkan 21 Apr 2018, 00:00 WIB
Aksi Terus Berlanjut, Kepulan Asap Hitam Membubung di Perbatasan Israel
Warga Palestina membakar ban hingga menimbulkan asap tebal di perbatasan Palestina-Israel di kota Gaza tengah (13/4). Mereka melakukan aksi tersebut menyusul tewasnya 33 orang Palestina akibat serangan tentara Israel. (AFP/Mohammed Abed)

Liputan6.com, Bucharest - Israel sedang memperingati hari jadinya ke-70. Perayaan digelar sejak 19 April 2018, hari proklamasi sesuai perhitungan kalender Ibrani.

Negeri zionis larut dalam kemeriahan. Bendera berkibar di sana sini, parade pesawat tempur digelar, musik patriotik diperdengarkan keras-keras, sorak-sorai anak-anak, dan di tengah udara dingin, tercium aroma daging panggang yang menerbitkan selera.

Di Haifa, seorang pemuda memegang bendera empat warna -- merah, hitam, putih, hijau -- yang berkibar oleh tiupan angin. Tulisan "Yerusalem, ibu kota abadi Palestina" terpampang di kaus yang ia kenakan. 

Ia tidak sedang larut dalam pesta. Bersama warga minoritas Arab lainnya di Israel, mereka memperingati kekalahan dalam perang 70 tahun lalu. Peringatan digelar di dekat Atlit, di sebuah desa pinggir laut di mana 170 warganya terusir pada 1948 dan menjadi pengungsi hingga saat ini.

Ketika rakyat Israel sedang merayakan apa yang mereka sebut sebagai hari kemerdekaan, orang-orang Palestina meratapi nakba, atau "malapetaka", saat mereka terpaksa kehilangan tanah air dalam konflik yang menyertai kelahiran negeri zionis. Sekitar 760 ribu orang atau sekitar 80 persen warga Palestina terusir kala itu.

Eksodus warga Palestina dari tanah yang kini menjadi negara Israel (Wikipedia/Public Domain)

"Dua negara (Palestina dan Israel) saling bertolak belakang. Apa yang bagi kami menjadi tragedi, kesengsaraan, adalah hari kemenangan untuk mereka," kata Khaled Ali Hassan, pengungsi yang tinggal di kamp Shatila di Beirut, Lebanon, seperti dikutip dari Pakistan Today, Jumat 20 April 2018.

Pria 53 tahun itu adalah generasi kedua. Ayahnya berasal dari Ijzim, dekat Atlit. Pria sepuh itu tak pernah bisa pulang sejak melarikan diri dari konflik pada 1948. "Saat ia bicara tentang Palestina, air matanya pasti bercucuran," kata Hassan.

Sementara itu, para demonstran di Atlit terus memperjuangkan hak para pengungsi Palestina untuk kembali ke kampung halamannya.

"Israel mengusir Palestina ini dari tanah mereka dan menghancurkan lebih dari 500 desa," kata Massoud Ghanaim, anggota parlemen dari Arab Joint List, seperti dikutip dari situs i24NEWS.

Shimon Rott, anggota Neturei Karta, grup Yahudi ortodoks yang menentang zionisme ala Israel, ikut berdemo bersama para warga Palestina.

Sebagai penganut Yahudi, ia mengkritik Israel yang menggunakan Yudaisme sebagai dalih kepentingan politiknya.

"Bahkan sebelum 1948, kami kaum Yahudi di Yerusalem menentang pendirian negara Israel," kata Rott. "Kami berbagi kesedihan dengan saudara-saudara warga Palestina yang diusir dari tanah mereka. Pengusiran juga masih terjadi hari ini di Jalur Gaza dan wilayah pendudukan lainnya."

Sejumlah pemuda Palestina membawa ban untuk dibakar saat menggelar aksi di perbatasan Palestina-Israel di kota Gaza tengah (13/4). Mereka melakukan aksi tersebut menyusul tewasnya 33 orang Palestina akibat serangan tentara Israel. (AFP/Mohammed Abed)

Selama beberapa generasi, para pengungsi Palestina di Tepi Barat, Jalur Gaza, Yordania, Suriah, dan Lebanon mewariskan kunci-kunci bekas rumah mereka sebagai simbol "hak untuk kembali".

Keturunan dari 760.000 orang Palestina yang melarikan diri atau terusir dari tanah mereka pada 1948 saat ini diperkirakan berjumlah sekitar 5,5 juta. Dan kini, mereka sedang menuntut haknya. 

Infografis langkah Kedubes AS ke Yerusalem
Infografis langkah Kedubes AS ke Yerusalem

Demonstrasi yang digelar mendapat respon balasan dari militer Israel. Lemparan batu dan molotov dibalas tembakan peluru tajam. 

Pada Jumat 20 April 2018, tentara Israel menembak mati dua warga Palestina dan melukai 12 orang lainnya di dekat perbatasan dengan Jalur Gaza. Insiden tersebut terjadi di tengah protes yang digelar untuk menuntut "hak untuk kembali".

Insiden terbaru menambah daftar panjang korban jiwa. Setidaknya 33 orang tewas dalam beberapa minggu terakhir. Sementara, ratusan lainnya terkena peluru tajam yang ditembakkan para sniper Israel.

Aksi demonstrasi digelar setiap Jumat dan diperkirakan akan mencapai pada titik klimaksnya pada 15 Mei 2018 -- peringatan hari jadi Israel menurut kalender Gregorian.

"Katakan pada Israel untuk menunggu hingga 15 Mei tiba. Saat itulah semua orang Palestina memberontak dan tidak ada lagi yang sanggup menghentikan mereka. Gerakan demi gerakan, hingga kita bertemu di Yerusalem," kata salah satu anggota Hamas, Khalil al-Hayya, seperti dikutip dari Asharq Al-Awsat, Senin 16 April 2018.

Para pengunjuk rasa Palestina berkumpul di depan ban yang terbakar saat aksi protes di perbatasan Gaza dengan Israel, Jumat (6/4). Tentara terus menembakkan gas air mata dan peluru tajam selama aksi berlangsung. (AP Photo/Adel Hana)

Di tempat terpisah, jauh dari perbatasan, artis Hollywood Natalie Portman mengumumkan bahwa ia tak akan datang ke Israel untuk menerima penghargaan 2018 Genesis yang disertai hadiah uang senilai US$ 1 juta.

"Peristiwa yang terjadi belakangan di Israel dirasa sungguh menyedihkan baginya. Dan, ia (Natalie Portman) merasa tak nyaman berpartisipasi dalam setiap acara publik di Israel," demikian pernyataan yang dikeluarkan pihak sang artis, seperti dikutip dari The Guardian.

Natalie Portman (Joel Ryan/Invision/AP)

Pihak artis keturunan Yahudi itu tak menyebut secara spesifik, peristiwa apa gerangan yang membuat Portman tak mau melawat ke Israel. Namun, perlakuan militer negeri zionis pada demonstran Palestina di perbatasan dengan Gaza memicu kecaman dari banyak negara.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, ada alasan kuat di balik aksi demonstrasi yang digelar warga Palestina. Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, kian menyulut emosi. 

Saksikan wawancara khusus Liputan6.com dengan Duta Besar Palestina untuk Indonesia: 

Donald Trump Menyulut Api dalam Sekam

Dubes Palestina untuk Indonesia, Zuhair Al Shun
Dubes Palestina untuk Indonesia, Zuhair Al Shun (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Pada peringatan hari jadi ke-70, Israel mendapat hadiah istimewa dari sekutu dekatnya, Amerika Serikat. Pada Desember 2017, Donald Trump secara sepihak mengakui Yerusalem sebagai ibu kota negeri zionis.

Meski ditentang dunia, miliarder nyentik itu bersikukuh memindahkan kedutaan besarnya itu dari Tel Aviv ke Yerusalem pada 14 Mei 2018.

Seperti dikutip dari Israel National News, Jumat (20/4/2018) persiapan telah dilakukan untuk mewujudkannya. Misalnya, rambu-rambu serta jalan akses ke kompleks kedutaan.

Kedubes AS baru yang dibangun di area Arnona, Yerusalem memanfaatkan gedung konsulat yang telah ada sebelumnya. Duta Besar David Friedman dan sejumlah staf akan segera berkantor di sana.

Kelak, kompleks kedutaan tersebut akan diperluas, dengan penambahan sejumlah bangunan baru. Targetnya, renovasi rampung dilakukan pada akhir 2019.

Putri Donald Trump, Ivanka dan suaminya, Jared Kushner dikabarkan akan hadir dalam peresmian, sebagai perwakilan pemerintah AS.

Menurut Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Zuhair Al Shun, keputusan Donald Trump justru menyulut bara dalam sekam. 

Presiden AS Donald Trump didampingi wakilnya Mike Pence, menunjukkan dokumen pengumuman Yerusalem yang akan ditandatangani di Ruang Penerimaan Diplomatik Gedung Putih, Washington, Rabu (6/12). (AP Photo / Evan Vucci)

"Kami menganggap keputusan Presiden AS Donald Trump terkait isu Yerusalem merupakan pelanggaran terhadap garis merah dan hukum internasional," tambah Al Shun dalam wawancara khusus dengan Liputan6.com.

"Yerusalem juga merupakan pusat masalah sentral dalam konflik antara Palestina dengan Israel," lanjutnya.

Langkah Trump justru menaikkan ketegangan Palestina-Israel serta menggoyah status quo terhadap masa depan Yerusalem.

Belum pernah ada negara di penjuru dunia yang melakukan langkah tersebut -- mengakui Yerusalem sebagai ibu kota negeri zionis dan memindahkan kedutaan ke sana -- sampai Trump mengumumkannya pada 6 Desember 2017.

Dalam Sidang Darurat Majelis Umum PBB yang digelar di New York pada 21 Desember 2017 waktu setempat, sebanyak 128 negara (dari total 193 anggota) mendukung resolusi yang menolak keputusan Amerika Serikat yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan kedutaan ke Al Quds Al Sharif. Sementara itu, 9 negara memilih setuju dan 35 lainnya memilih abstain.

Sidang darurat Majelis Umum PBB di New York (21/12/2017). (AP Photo/Mark Lennihan)

Bahkan sebelumnya, resolusi penolakan untuk hal serupa turut didukung oleh hampir seluruh Dewan Keamanan PBB dalam sidang darurat pada 18 Desember 2017. Hasil pemungutan suara menunjukkan skor akhir 1 melawan 14 (dari total 15 anggota) -- di mana AS adalah satu-satunya anggota yang memveto resolusi penolakan itu.

Duta Besar Palestina untuk Indonesia Zuhair Al Shun menambahkan, tidak ada perdamaian tanpa penyelesaian masalah soal Yerusalem. Dan, tidak ada negara Palestina tanpa Yerusalem sebagai ibu kota abadinya.

Al Shun mengatakan bahwa Pemerintah Palestina telah dan akan terus menggencarkan upaya diplomasi dan lobi politik kepada negara sahabat untuk merespons tindakan yang dilakukan AS dan para pendukungnya.

"Pemerintah Palestina terus bergerak di bidang diplomasi adalah untuk melobi dukungan dari negara dan organisasi internasional sahabat ... seperti PBB, Uni Eropa, OKI, dan Liga Arab. Semua itu demi membatalkan langkah pemindahan Kedutaan AS ke Yerusalem serta membatalkan deklarasi-deklarasi (unilateral dan melanggar Resolusi PBB) semacam itu," kata Dubes Al Shun.

Pasukan keamanan Israel berusahan membubarkan demonstran Palestina saat terjadi aksi di kota Ramallah Palestina (16/3). Mereka menolak pengakuan Presiden AS Donald Trump atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel. (AFP Photo/Abbas Momani)

"Kebijakan kami adalah untuk menyelesaikan konflik ini lewat solusi damai, dengan satu tujuan yang tidak akan berubah: mendirikan negara Palestina yang merdeka dengan ibu kota Yerusalem, di mana kepemimpinan Palestina diwakili oleh Presiden Mahmoud Abbas," tambahnya.

Sementara itu, Al Shun menambahkan bahwa Palestina dan Israel harus turut menyelesaikan konflik lewat proses-proses perdamaian serta menerima solusi dua negara (Two-State Solution) untuk mengakhiri semua tragedi yang terjadi di Palestina, juga kawasan.

"Karena penyelesaian melalui perang atau konflik bersenjata akan membawa dampak fatal untuk semua," ujar Dubes Palestina untuk Indonesia itu.

6 Negara Terang-terangan Dukung Israel

Donald Trump dan Netanyahu Bahas Ulang Yerusalem Sebagai Ibu Kota Israel
Presiden AS Donald Trump berjabat tangan dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu saat bertemu di sela Forum Ekonomi Dunia, Davos (25/1). (AP Photo / Evan Vucci)

Setidaknya ada enam negara yang berniat memindahkan kedutaan besarnya untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem, demikian klaim dari PM Benjamin Netanyahu.

Baru enam negara yang menjalin diskusi serius dengan Israel untuk memindahkan kedutaan besar mereka. Dan sejauh ini, hanya Amerika Serikat dan Guatemala yang sudah mengumumkannya secara resmi.

Netanyahu mengimbau negara-negara lain untuk mengikuti langkah Amerika Serikat dan Guatemala, yang sudah mendeklarasikan diri, dengan dalih hal tersebut akan meningkatkan upaya perdamaian.

Ia juga menjanjikan "perlakuan istimewa" ke 10 negara pertama yang memindahkan kedutaan besarnya ke Yerusalem.

"Ada prinsip sederhana, Anda tahu itu -- 'first come first serve'," kaya Netanyahu di depan para diplomat pada acara Hari Kemerdekaan di kediaman resmi Presiden Reuven Rivlin, seperti dikutip dari Times of Israel.

"Saya memutuskan bahwa sepuluh kedutaan pertama yang tiba di sini (Yerusalem) akan mendapatkan perlakuan istimewa. Kami akan membantu Anda," kata dia.

Ia kemudian memuji langkah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump yang bersumpah akan memindahkan kedutaan besarnya ke Yerusalem pada Desember 2017 lalu.

"Kami gembira atas keputusan Presiden Donald Trump untuk memindahkan kedutaan besarnya ke sini (Yerusalem). Hal itu menegaskan hal yang sederhana: perdamaian harus didasarkan pada kebenaran," tambah dia.

"Fakta bahwa Israel memiliki ibu kota, bahwa orang-orang Yahudi telah memiliki ibu kota selama 3.000 tahun yang bernama Yerusalem, tidak dapat disangkal. Saatnya untuk mengakui fakta itu," kata Netanyahu.

Presiden AS, Donald Trump mengunjungi Tembok Ratapan, tempat suci milik kaum Yahudi, di Yerusalem, Senin (22/5). Trump menatap sesaat tembok itu sebelum akhirnya memasukkan sebuah catatan di antara batu-batu monumental tersebut. (AP Photo/Evan Vucci)

Di sisi lain, pihak Palestina berpendapat, langkah memindahkan kedutaan besar, dari Tel Aviv ke Yerusalem adalah bentuk provokasi. Apalagi, Yerusalem adalah kota suci bagi tiga agama: Yahudi, Kristen, dan Islam. 

Belakangan, Pemerintah Rumania dikabarkan akan mengikuti jejak Amerika Serikat dengan memindahkan kedutaan besarnya Tel Aviv ke Yerusalem. Pernyataan tersebut disampaikan oleh pemimpin partai Social Democrat (PSD) yang berkuasa pada Kamis, 19 April 2018.

"Keputusan telah diambil... Prosedurnya sudah dimulai," jelas Liviu Dragnea kepada stasiun Antena 3, sebelum pengumuman tersebut disampaikan secara resmi oleh pemerintah, seperti dikutip dari Channelnewsasia.com, Jumat (20/4/2018).

Menurut Dragnea, pemerintahan Perdana Menteri Viorica Dancila, pada hari Rabu setuju "dimulainya prosedur yang bertujuan memindahkan kedutaan ke Yerusalem".

Juru bicara pemerintah menolak mengomentari pernyataan tersebut, meskipun desas-desus ini telah berembus sejak Desember lalu.

 

Jika Rumania benar-benar melakukannya, maka Bucharest akan menjadi anggota Uni Eropa pertama yang memindahkan kedutaan besar ke Yerusalem.

Pemimpin partai Social Democrat (PSD) Rumania, Liviu Dragnea mencatat "nilai simbolis besar" dalam pemindahan kedutaan besar Amerika Serikat ke Yerusalem. Menurutnya, Israel "memiliki pengaruh internasional yang kuat" dan "itu akan sangat berharga bagi pemerintah Amerika Serikat."

"Saya rasa, keputusan ini akan menghasilkan manfaat besar bagi Rumania," ungkap Dragnea.

Ia menambahkan, "Ini juga merupakan keputusan pragmatis. Seperti kita semua, Israel memiliki hak untuk mendirikan ibu kotanya di tempat yang mereka inginkan."

Dragnea sudah menyerukan kebijakan pemindahaan kedutaan besar ke Yerusalem sejak akhir tahun lalu. Namun, Presiden Klaus Iohannis menentangnya dengan mengatakan bahwa status Yerusalem harus diselesaikan oleh Israel dan Palestina.

Adapun Wakil Menteri Luar Negeri Israel, Tzipi Hotovely, yang bertemu dengan PM Dancila dan pejabat Rumania lainnya di Bucharest pekan lalu, optimis dengan rumor pemindahan kedutaan besar Rumania ini.

"Saya mengucapkan selamat kepada ketua parlemen Rumania atas pengumuman hari ini, di mana Rumania akan memulai proses pemindahan kedutaan ke Yerusalem," tulisnya di akun Twitter-nya Kamis lalu. "Ini adalah semangat pertemuan kami minggu lalu di Bucharest, dan saya berharap dapat melihat Kedutaan Rumania di Yerusalem segera."

Selain Rumania, Republik Ceko, juga dilaporkan tengah mempertimbangkan langkah serupa.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya