Liputan6.com, Washington DC - Amerika Serikat telah menyetujui penjualan alutsista dan kontrak kerja sama pertahanan dengan Bahrain, sebuah transaksi yang berpotensi mencapai nilai sebesar US$ 911,4 juta.
Menurut sebuah pernyataan di laman daring Kementerian Pertahanan AS, transaksi itu meliputi penjualan 12 helikopter serbu Bell AH-1Z Viper, 26 mesin heli, lusinan misil dan roket, peralatan navigasi dan jelajah rudal, alat komunikasi, serta sistem peralatan tempur elektronik. Demikian seperti dikutip dari Al Arabiya (30/4/2018).
Advertisement
Baca Juga
Transaksi itu juga mencakup penjualan alat-alat latihan dan paket pelatihan personel militer, kemitraan dengan Angkatan Bersenjata dan firma pertahanan swasta Amerika Serikat, layanan keahlian teknik serta logistik pendukung lainnya kepada Bahrain.
"Transaksi ini akan berkontribusi pada kebijakan luar negeri dan keamanan nasional Amerika Serikat dengan membantu meningkatkan keamanan sekutu utama AS non-NATO (Bahrain) yang merupakan mitra keamanan penting di kawasan itu (Timur Tengah)," kata pernyataan dari US Defense Security Cooperation Agency, agensi di bawah naungan Kemhan AS.
Transaksi itu menjadi yang teranyar dilakukan oleh Bahrain, setelah pada September 2017 lalu memesan 19 jet tempur F-16V Lockheed Martin beserta onderdil dan berbagai alutsista lain dari AS dengan total nilai lebih dari US$ 3,8 miliar.
Â
Saksikan juga video pilihan berikut ini:
Perlombaan Transaksi Senjata Negara Teluk
Jual-beli senjata dan alutsista berat dilaporkan tengah meroket pada periode 2005 - 2017, menurut laporan yang baru-baru ini dirilis oleh think-tank keamanan, Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI).
Amerika Serikat, Rusia, Jerman, Prancis, dan China berturut-turut menjadi negara eksportir senjata terbesar di seluruh dunia -- di mana mereka menguasai 74 persen dari total angka penjualan global.
Dari laporan yang sama, SIPRI menggarisbawahi temuan penting, yakni, terjadinya peningkatan transaksi penjualan ke negara-negara Timur Tengah dan Teluk sebanyak 86 persen pada periode 2012 - 2016.
Nominal itu mencakup hampir sekitar 30 persen dari angka transaksi penjualan senjata di seluruh dunia dalam periode yang sama. Itu juga menunjukkan peningkatan dua kali lipat dari geliat penjualan dalam periode lima tahun sebelumnya.
Temuan itu dianggap signifikan dan memberikan sudut pandang tersendiri terhadap kontestasi perlombaan transaksi senjata yang dilakukan oleh negara-negara di Teluk Arab. Khususnya, yang tergabung dalam Dewan Kerjasama Teluk (GCC); Qatar, Bahrain, UEA, Oman, Arab Saudi, dan Kuwait -- di mana mereka telah menggelontorkan miliaran dolar AS untuk pembelian senjata dan alutsista.
Terlebih lagi, transaksi dilakukan bersamaan dalam periode konflik geopolitik yang tengah terjadi di Asia Barat -- seperti Perang Saudara Yaman dan Suriah, perang melawan ISIS dan terorisme, konflik proksi dengan Iran, dan lain-lain.
"Meski harga minyak turun, negara di kawasan, terus melakukan pembelian senjata dan alutsista ... di mana mereka menganggap bahwa benda-benda itu merupakan peralatan krusial dalam menghadapi konflik dan tensi di kawasan," kata Pieter Weseman, peneliti senior SIPRI Arms and Military Expenditure Programme, seperti dikutip dari Al Jazeera.
Bahkan, transaksi pembelian senjata yang dilakukan oleh negara-negara itu diprediksi akan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Seperti dikutip dari Al Jazeera, pada awal 2018 saja, negara GCC telah menggelontorkan dana lebih dari US$ 4 miliar untuk pembelian senjata dan beragam kontrak pertahanan.
Advertisement