Dinilai Merugikan, Pengungsi Rohingya Kecam Kesepakatan Repatriasi Myanmar dan PBB

Karena dinilai merugikan, para pengungsi Rohingya kecam kesepakatan repatriasi antara pemerintah Myanmar dan PBB.

oleh Liputan6.com diperbarui 06 Jul 2018, 10:06 WIB
Diterbitkan 06 Jul 2018, 10:06 WIB
Sejumlah orang Rohingya menggelar demonstrasi di kamp pengungsi di Bangladesh selepas salat Idul Fitri (16/6) (AFP PHOTO)
Sejumlah orang Rohingya menggelar demonstrasi di kamp pengungsi di Bangladesh selepas salat Idul Fitri (16/6) (AFP PHOTO)

Liputan6.com, Naypyidaw - Para pengungsi Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh, mengecam perjanjian repatriasi antara pemerintah Myanmar dan dua badan PBB, pasca-sebagian dokumen rahasianya bocor di internet pekan lalu.

Awal Juni kemarin, UNHCR dan Program Pembangunan PBB menandatangani Nota Kesepahaman dengan pemerintah Myanmar mengenai pemulangan pengungsi ke Bangladesh.

Setelah perjanjian itu ditandatangani, sebagaimana dikutip dari VOA Indonesia pada Jumat (6/7/2018), PBB menyebutnya sebagai "langkah pertama dan perlu" untuk menciptakan kondisi repatriasi pengungsi yang sukarela, aman, bermartabat dan berkelanjutan dari Bangladesh.

Tetapi rincian kesepakatan itu dirahasiakan, yang kemudian memicu kecaman luas dari pengungsi Rohingya dan kelompok pemerhati HAM.

Versi rancangan kesepakatan yang bocor itu bertanggal 30 Mei, sehari sebelum perjanjian final ditandatangani. Sumber-sumber yang mengetahui masalah ini mengatakan kepada VOA, bahwa berkas tersebut sangat mirip dengan nota kesepakatan yang terakhir kali ditandatangani oleh pemerintah Myanmar. 

Namun para pengungsi tidak begitu saja mempercayai proses itu.

"Orang-orang (Rohingya) merasa sedih mengenai hal ini. Mereka khawatir dan terkejut, bahwa badan-badan PBB menandatangani kesepakatan yang sama," kata seorang pria Rohingya yang tinggal di Bangladesh.

"Perhatian utama mereka adalah kurangnya jaminan keamanan, dan hak orang-orang seperti mereka yang kembali pada tahun 1978 dan 1992," imbuhnya.

Orang-orang Rohingya menginginkan jaminan kuat mendapat kewarganegaraan, kebebasan bergerak, dan keamanan jika mereka kembali ke Myanmar.

Mereka menilai bahasa yang digunakan di dalam perjanjian itu terlalu samar, sehingga mengancam keamanan para etnis Rohingya. 

 

Simak video pilihan berikut: 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Proses Repatriasi Belum Selesai

Banjir dan Tanah Longsor Ancam Ratusan Ribu Pengungsi Rohingya
Seorang pengungsi Rohingya menaiki tangga di perbukitan yang berada di Kamp Pengungsi Kutupalong, Bangladesh, 28 April 2018. Bangunan-bangunan pengungsian berdiri di atas tanah berlumpur yang sangat minim pepohonan. (AP Photo / A.M. Ahad)

Sementara itu, dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah Myanmar mengatakan bahwa puluhan orang Rohingya telah dipulangkan ke Rakhine, setelah menyeberang dari Bangladesh secara ilegal.

Dikatakan bahwa orang-orang Rohingya lain yang mencoba melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh dengan perahu tetapi tersapu kembali ke Rakhine, juga telah dikirim untuk tinggal bersama kerabatnya setelah diproses di kamp transit di Nga Khu Re.

Akan tetapi, Bangladesh tidak mengakui hal itu sebagai proses repatriasi yang sah.

"Proses repatriasi belum dimulai," kata komisaris pengungsi Bangladesh Mohammad Abul Kalam kepada AFP.

Ketika kedua negara saling menyalahkan satu sama lain soal tertundannya proses repatriasi, Myanmar mengatakan telah memulai apa yang mereka sebut sebagai "Proyek pembangunan besar-besaran di Rakhine utara untuk pemukiman Rohingya."

Kendati demikian, organisasi internasional belum memverifikasi apakah proyek itu benar-benar terlaksana atau sudah selesai sepenuhnya.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya