Pertemuan Donald Trump dan Vladimir Putin, Ini 6 Isu yang Akan Dibahas

Berikut isu yang akan dibahas oleh Presiden AS Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin dalam pertemuannya di Helsinki, Finlandia.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 15 Jul 2018, 22:01 WIB
Diterbitkan 15 Jul 2018, 22:01 WIB
Vladimir Putin dan Donald Trump
Vladimir Putin dan Donald Trump berbincang disela-sela KTT APEC yang diadakan di Da Nang, Vietnam (11/11/2017). (AP Photo/Evan Vucci)(Jorge Silva/Pool Photo via AP)

Liputan6.com, Helsinki - Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin akan melaksanakan pertemuan tingkat tinggi di Helsiniki, Finlandia pada Senin 16 Juli 2018.

Itu menjadi pertemuan tingkat tinggi pertama antara masing-masing presiden. Sebelumnya, Trump-Putin sempat bertemu dan berdialog singkat di sela-sela KTT G20 di Hamburg, Jerman pada Juli 2017, dan KTT APEC di Vietnam, November 2017.

Pertemuan nanti, yang terjadi di tengah tensi tinggi antara kedua negara, disebut-sebut akan memproyeksikan hubungan AS-Rusia ke depan.

Meski kedua negara masih bungkam mengenai topik yang akan dibahas, sejumlah pengamat dan media politik AS telah memprediksi beberapa isu yang mungkin hendak didiskusikan oleh Trump-Putin, berikut di antaranya, seperti dikutip dari CNBC, Minggu (15/7/2018):

1. Perlombaan Senjata AS-Rusia

Trump dapat mendesak Putin untuk menyepakati perjanjian baru seputar pembatasan dan non-proliferasi persenjataan nuklir, mengingat Rusia belakangan terakhir bertekad untuk mempercepat pengembangan senjata hipersonik dan pemusnah massal mereka.

"Jika kita dapat melakukan sesuatu untuk secara substansial mengurangi senjata nuklir, atau idealnya menyingkirkan mereka, mungkin itu adalah mimpi, tetapi tentu saja itu adalah subjek yang akan saya bicarakan dengannya," kata Trump pada Jumat 13 Juli 2018 usai KTT NATO di Brussels, Belgia.

Trump mungkin akan menawarkan pembaruan atas Perjanjian New START (Strategic Arms Reduction Treaty) --kesepakatan nuklir yang diteken Rusia-AS pada 2010 dan akan berakhir pada 2021.

"Menghidupkan kembali Perjanjian New START akan menjadi hal yang bijaksana dalam agenda untuk administrasi Trump," kata Michael Desch, analis dari International Security Center di University of Notre Dame.

Sementara itu, pejabat tinggi militer AS telah memperingatkan soal ambisi Rusia untuk mengembangkan senjata hipersonik yang menjadi ancaman bagi Negeri Paman Sam.

Kendaraan hipersonik Avangard saat peluncuran di lokasi yang tidak diungkapkan di Rusia. Presiden Vladimir Putin mengumumkan bahwa Rusia telah mengembangkan serangkaian senjata nuklir baru. (RU-RTR Russian Television via AP)

"Kami tidak memiliki pertahanan yang dapat mencegah serangan senjata semacam itu," kata Jenderal Angkatan Udara John Hyten, komandan Komando Strategis AS, mengatakan kepada Komite Senat Angkatan Bersenjata pada bulan Maret.

Komentar Hyten muncul beberapa pekan setelah Putin menyebut senjata hipersonik negaranya sebagai "tak terkalahkan" selama pidato kenegaraan. Putin berbicara di depan sebuah presentasi yang menunjukkan klip video dari senjata serta simulasi serangan ke AS.

"Saya ingin memberitahu semua orang yang telah memacu perlombaan senjata selama 15 tahun terakhir, berusaha untuk mendapatkan keuntungan sepihak atas Rusia, memperkenalkan sanksi yang melanggar hukum yang bertujuan untuk menahan pembangunan negara kita: Anda telah gagal menahan Rusia," kata Putin dalam pidatonya yang tampak jelas mengkritik AS.

Sampai saat ini, Rusia telah meluncurkan enam senjata hipersonik sejak Maret 2018. Dua di antaranya siap untuk dioperasikan pada tahun 2020, menurut sumber-sumber intelijen AS.

 

Simak pula video pilihan berikut:

2. Dugaan Campur Tangan Rusia dalam Pilpres AS

Robert Mueller
Robert Mueller ditunjuk sebagai special counsel untuk mengawasi penyelidikan federal terhadap dugaan keterlibatan Rusia dalam pilpres AS 2016. (AP Photo/J. Scott Applewhite, File)

Hubungan Trump dan Putin telah menjadi subyek kontroversi dan spekulasi yang tak ada habisnya sejak sang miliarder nyentrik duduk di Gedung Putih pada Januari 2017.

Sebagian besar kontroversi dan spekulasi itu disebabkan oleh dugaan campur tangan Rusia dalam Pilpres AS 2016 (populer dengan sebuta Russian Meddling), serta, penyelidikan federal AS atas isu tersebut.

Trump dengan keras membantah semua tuduhan kolusi dengan Rusia.

Meskipun ada konsensus di komunitas intelijen AS bahwa Rusia benar-benar ikut campur dalam pemilu 2016, Trump terus-menerus meragukan penilaian itu.

Pada KTT APEC 2017, Trump mengatakan dia akan mengangkat isu Russian Meddling dalam perbincangannya dengan Putin di masa mendatang.

Ditanya oleh wartawan pada konferensi pers di Inggris pada hari Jumat 13 Juli 2018 tentang isu yang sama, Trump mengatakan, "Kami akan benar-benar membahasnya."

"Anda tidak pernah tahu apa yang akan terjadi, tetapi saya akan benar-benar, dengan tegas, mengajukan pertanyaan (tentang isu Russian Meddling)."

Sementara itu, Kementerian Kehakiman AS pada hari Jumat 13 Juli menyebut, 12 petugas intelijen Rusia akan didakwa karena meretas ke server Komite Nasional Partai Demokrat pada 2016 --menguatkan dugaan campur tangan Rusia dalam Pilpres AS 2016. Itu kemungkinan akan berfungsi sebagai titik lain pertikaian bagi kedua pemimpin pada hari Senin 16 Juli 2018 nanti.

3. Ukraina-Krimea

Rusia menggelar latihan terbesar di semenanjung Krimea
Rusia mengerahkan kekuatan angkatan darat, laut, dan udaranya dalam menggelar latihan terbesar di semenanjung Krimea (Sergel Savostyanov/TASS)

Ukraina dan Krimea telah lama menjadi pemicu tensi tinggi dalam hubungan AS-Rusia. Pemerintah AS menolak mengakui langkah Rusia menganeksasi Krimea pada 2014 -- menganggapnya sebagai tindakan ilegal berdasarkan hukum internasional.

Namun dalam beberapa pekan terakhir, Trump tampak mengisyaratkan melonggarkan sikap atas isu tersebut. Ketika ditanya soal Ukraina-Krimea, Trump hanya mengatakan, "Kami akan melihat apa yang terjadi."

Kendati demikian, cara Trump menyikapi tindakan Rusia di Krimea juga akan berpengaruh pada hubungan aliansi antara AS-Ukraina.

Trump sebelumnya mengejutkan para pejabat pada pertemuan G-7 pada bulan Juni 2018 ketika dia berpendapat bahwa semenanjung Krimea harus menjadi milik Rusia, karena "orang di sana berbicara bahasa Rusia."

Pernyataan itu secara tajam bertentangan dengan kebijakan AS yang tidak mengakui aneksasi wilayah --semacam yang terjadi di Krimea.

Sejak 2014, Washington telah menjatuhkan sanksi terhadap Rusia atas invasinya ke Krimea. Konflik bersenjata pun masig berlangsung di timur Ukraina, yang telah menewaskan lebih dari 10.000 orang.

"Perhatian utama Kiev adalah Presiden Trump akan secara sepihak mengakui aneksasi Rusia atas Krimea --secara efektif menjual wilayah itu ke Kremlin," kata Daragh McDowell, analis isu Rusia di Verisk Maplecroft.

Legalitas tindakan semacam itu --dan apakah itu berarti pengakuan resmi kedaulatan Rusia atas semenanjung itu-- tidak jelas, kata McDowell. Namun, itu tentu akan menurunkan moralitas sekutu AS dan memicu ketidakstabilan domestik di Ukraina.

4. Sanksi AS terhadap Rusia

Vladimir Putin Dilantik Jadi Presiden Rusia untuk Periode Keempat
Presiden Rusia Vladimir Putin saat kebaktian di Annunciation Cathedral usai upacara pelantikan dirinya di Kremlin, Moskow, Rusia, Senin (7/5). Vladimir Putin telah berkuasa selama 18 tahun di Rusia. (Alexei Nikolsky, Sputnik, Kremlin Pool Photo via AP)

Moskow telah berada di bawah sanksi ekonomi dari AS dan Eropa sejak langkah Rusia menganeksasi Krimea Ukraina. Sanksi itu memainkan peran dalam resesi ekonomi Rusia.

Pemerintah AS kemudian menambah sanksi ekonomi baru, pada 2017 dan 2018.

Pada bulan Agustus 2017, Trump menandatangani undang-undang Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA), yang telah disahkan oleh Kongres. Undang-undang itu berisi seperangkat sanksi ekonomi yang ditujukan kepada Rusia, Iran, dan Korea Utara.

Presiden Trump menyebutnya undang-undang itu "cacat", namun ia tetap menandatanganinya.

Di sisi lain, Trump telah tampak mengisyaratkan akan mengurangi sanksi AS terhadap Rusia, demi memperbaiki hubungan kedua negara.

Kendati demikian, mengingat CAATSA telah bersifat hukum yang mengikat dan disahkan oleh Kongres AS, maka, Trump tak memiliki wewenang untuk mencabut undang-undang tersebut.

"Namun, Trump tetap memiliki kekuatan untuk tidak memaksakan sanksi ekonomi yang baru," kata Christopher Granville analis Rusia di TS Lombard.

"Trump telah lama dicurigai ingin mencabut sanksi, dengan alasan untuk meningkatkan hubungan dengan Moskow, dan telah dengan sengaja melewatkan tenggat waktu Kongres untuk pengimplementasian sanksi."

"Itu tentu sangat berharga bagi ekonomi Rusia ... kurangnya kejelasan atau eskalasi sanksi baru dalam perjalanan mereka," kata Granville.

Suriah dan Korea Utara

Lambaian Tangan Donald Trump dan Kim Jong-un dari Balkon Hotel Capella
Ekspresi Presiden AS Donald Trump (kanan) dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un saat tampil di balkon Hotel Capella, Pulau Sentosa, Singapura, Selasa (12/6). Trump dan Kim optimis bahwa KTT akan sukses. (SAUL LOEB/AFP)

5. Suriah

Trump mungkin mendorong semacam tawar-menawar di mana Rusia dapat menarik pasukannya dari Suriah atau menghentikan dukungannya untuk Iran --mungkin dengan imbalan penghapusan sanksi atau pengakuan aneksasi Krimea oleh Moskow.

Namun, Washington tidak memiliki hak di bawah hukum internasional untuk membuat penawaran semacam itu.

6. Korea Utara

Sedangkan untuk Korea Utara, Trump mungkin akan meminta bantuan Putin agar Rusia mendukung upaya negosiasi yang tengah dilakukan oleh AS terhadap Korea Utara, menyusul KTT Trump-Kim Jong-un di Singapura pada 12 Juni 2018 lalu.

Putin memberlakukan sanksi pada Korea Utara untuk mematuhi resolusi Dewan Keamanan PBB Oktober 2017 lalu, tetapi Moskow secara umum menolak sebagian besar upaya yang dipimpin AS untuk mengisolasi Pyongyang secara penuh.

Pengaruh ekonomi Rusia atas Korea Utara memang tidak sebesar China, tetapi, Moskow masih memegang kendali besar berkat hubungan perdagangan, budaya dan komersial yang mengakar.

Rusia adalah tujuan utama bagi para pekerja migran Korea Utara dan pada tahun 2014, mereka menghapus 90 persen utang Korut kepada Soviet senilai 11 miliar dolar. Pada bulan Mei 2018, Kim mengatakan dia "sangat" menghargai Putin karena menentang AS, menurut media Rusia.

Terlepas apakah Putin akan bekerja sama dengan Trump soal Korea Utara, bagi Rusia, denuklirisasi di Semenanjung Korea tetap memberikan keuntungan di kawasan Eurasia.

"Rusia berharap bahwa potensi de-eskalasi tensi di daerah itu akan memberikan keuntungan ekonomi dan geopolitik," kata Benjamin Katzeff Silberstein, Foreign Policy Research Institute di Philadelphia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya