Liputan6.com, Beijing - Dalam beberapa dekade mendatang, China mungkin akan menghadapi permasalahan pelik yang bisa memicu kematian dalam jumlah besar. Hal tersebut bukanlah ramalan ahli nujum, melainkan prediksi para ilmuwan.Â
Sebuah laporan ilmiah terbaru yang dimuat oleh jurnal sains Nature Communications merinci pengaruh perubahan iklim di wilayah utara Tiongkok, yang berisi kota-kota besar seperti Beijing dan Tianjin.
Disebutkan bahwa ladang terbuka yang subur di daerah itu telah menjadi salah satu tempat yang paling padat penduduknya di Bumi, dan akan mengalami fenomena gelombang panas yang ekstrem.Â
Advertisement
"Wilayah ini akan menjadi tempat paling terdampak gelombang panas yang mematikan di masa depan, terutama akibat perubahan iklim," kata Elfatih Eltahir, seorang profesor MIT (Massachusetts Institute of Technology) yang memimpin penelitian terkait.
Dikutip dari News.com.au pada Kamis (2/8/2018), gelombang panas tersebut diprediksi akan menjadi yang terburuk di Bumi. Bahkan, menurut peneliti, di tempat yang teduh sekalipun, panas dan kelembapan lingkungan bisa membunuh manusia dalam waktu enam jam.
Diperkirakan, gelombang panas itu akan menyapu hampir seluruh wilayah China hanya dalam waktu 50 tahun ke depan, atau sekitar 2070.
Jika tidak mengungsi atau berpindah ke lokasi lain, peneliti menduga bahwa sebanyak 400 juta warga Negeri Tirai Bambu hanya mampu beraktivitas di luar ruang hanya dalam beberapa jam saja.
Peneliti juga menyebut satu fenomena yang disebut "bola basah" (wet ball), yakni jumlah kelembapan di udara menentukan apakah seseorang mendapat kesempatan untuk mendinginkan diri atau tidak.
Kemampuan tubuh manusia untuk menahan gelombang panas tergantung pada kemampuannya untuk berkeringat, dan keringat itu berfungsi mendinginkan kulit melalui penguapan.
Baca Juga
Kelembaban yang ekstrem berarti tidak ada ruang di udara untuk keringat menguap. Akibatnya, bulir-bulir tersebut mengendap dan membuat tubuh memanas.
Bahkan orang dewasa yang sehat tidak akan dapat bertahan hidup di luar ruangan, jika kelembapan berada pada kondisi 'bola basah', atau suhu di atas 35 derajat Celsius selama lebih dari enam jam.
"Jika suhu bola basah melebihi suhu kulit tubuh manusia (rata-rata 35 derajat Celsius), keringat tidak lagi berfungsi sebagai mekanisme pendinginan," kata Profesor Jeremy Pal dari Seaver College of Science and Tech.
"Tubuh akan cepat panas, dan jika hal itu terus terjadi, maka berisiko kematian," lanjutnya memperingatkan.
Kondisi "bola basah" mulai terasa sangat menggangu ketika suhu udara mencapai 44,4 derajat Celsius, atau sedikit kurang di bawahnya, dan dalam kelembapan 55 persen.
Sebaliknya jika pada 85 persen tingkat kelembapan, kondisi "bola basah" bisa terjadi ketika geombang panas membuat suhu menyentuh angka 37,8 derajat Celsius.
"Ketika sangat terik dan lembab di luar, panas di dalam tubuh tidak dapat dikeluarkan," kata Camilo Mora, peneliti pada University of Hawaii.
Camiro dan timnya mengembangkan sebuah model untuk menghitung hari-hari panas yang mematikan di bawah skenario perubahan iklim yang berbeda.
"Ini menciptakan kondisi yang disebut 'hot cytotoxicity' yang bisa merusak banyak organ," katanya kepada kantor berita AFP.
"Ini seperti terbakar sinar matahari, tetapi di dalam tubuh."
Â
Simak video pilihan berikut:
Â
Â
Gelombang Panas Lebih Intens
Catatan peneliti menunjukkan bahwa, sejak tahun 1970, gelombang panas di sana telah menjadi lebih intens dan lebih sering.
Sejak 1990, frekuensinya terus meledak, di mana suhu rata-rata di wilayah utara China Daratan sudah konsisten di kisaran 1,35 derajat Celsius, lebih tinggi dari yang tercatat selama 1950-an.
Tercatat pula, gelombang panas yang ekstrem semakin panjang jangka waktu terjadinya, hingga menjadi 50 hari. Sebagai salah satu contoh, Shanghai, kota terbesar di timur China, memecahkan rekor suhu dalam 141 tahun terakhir pada 2013, di mana puluhan orang dilaporkan tewas.
Pada dasarnya, masih menurut peneliti, kawasan pesisir timur China mengalami perubahan iklim dua kali lipat lebih tinggi dari berbagai wilayah lain di seluruh dunia.
Hal itu kian diperparah isu lain yang tidak kalah mengkhawatirkan, yakni kelaparan.
Untuk mengakalinya, sebagian besar wilayah utara China telah dibuatkan sistem irigasi modern, guna memaksimalkan hasil pertaniannya.
Kawasan ini merupakan 'keranjang roti' China, di mana puluhan juta petani berjuang keras menghasilkan produk pangan, untuk memberi makan warga di kota-kota besar seperti Beijing dan Shanghai.
Namun, tanpa diduga, jaringan irigasi yang mendukung penguatan industri pertanian dan pangan, justru memicu kenaikan suhu sebanyak 0,5 derajat Celsius dari biasanya, sehingga berdampak pada kelembapan yang meningkat.
"Wilayah utara China kemungkinan akan mengalami gelombang panas yang mematikan, dengan suhu bola basah melebihi ambang batas, sehingga sulit ditolerir oleh petani setempat," kata Profesor Eltahir.
Ditambahkan oleh Profesor Eltahir, jika hitung-hitungan tepat, maka 2070 kemungkinan akan menjadi waktu di mana para petani mengalami risiko kematian yang tinggi karena harus beraktivitas di luar ruang, padahal cuaca dalam kondisi sangat esktrem.
Akibatnya, persediaan makanan akan mencapai titik krisis, sehingga ketahanan hidup sulit untuk dibayangkan. Sekitar 400 juta orang kemungkinan terpaksa mengungsi ke arah selatan, atau wilayah yang lebih dingin.
Â
Advertisement