Liputan6.com, Beijing - Belasan perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama akan melaksanakan kunjungan ke Wilayah Otonomi Xinjiang-Uighur (XUAR), rumah bagi etnis minoritas Uighur dan lainnya, dengan populasi muslim yang signifikan. Silaturahmi mulai dilaksanakan pada pertengahan pekan ini.
Kunjungan itu merupakan prakarsa dari pihak Tiongkok yang didanai oleh China International Publishing Group (CIPG), menyusul maraknya pemberitaan mengenai dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap Muslim Uighur dan bagaimana masyarakat di Indonesia bereaksi atas kabar tersebut.
"Kami dari MUI telah meminta agar China memberikan akses untuk bersilaturahmi dengan pemerintah di Xinjiang," kata KH Muhyiddin Junaidi, Ketua Bidang Pendidikan dan Kaderisasi MUI selaku pemimpin delegasi di Wisma KBRI Beijing kepada beberapa jurnalis Indonesia, Selasa (18/2/2019).
Advertisement
"Kita ingin tahu dan meyakinkan kabar yang tersebar, apakah benar ada persekusi ulama, penghancuran rumah ibadah dan pembatasan beribadah di sana, yang mana kabar itu menimbulkan kekecewaan besar terhadap muslim di Indonesia," lanjut Muhyiddin.
Baca Juga
Ke-15 perwakilan organisasi itu akan terbang dari Beijing ke Urumqi, ibu kota Xinjiang, pada Rabu, 19 Februari 2019.
Sebelumnya, sorotan terhadap kelompok etnis Uighur mengemuka tajam pada Agustus 2018 ketika panel Hak Asasi Manusia PBB (Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial) mengatakan telah menerima laporan bahwa kira-kira 1 juta orang Uighur dan kelompok etnis minoritas lainnya ditahan sejak 2017 di "kamp atau pusat re-edukasi" di Xinjiang.
Panel juga menambahkan, fasilitas itu mirip dengan "kamp interniran besar-besaran yang diselimuti kerahasiaan"--sesuatu yang telah dibantah keras oleh pihak Beijing.
Laporan itu kemudian ramai diberitakan oleh berbagai media, mendapat perhatian dari beberapa pemerintah negara Barat, dan sempat membuat masyarakat Indonesia--negara berpopulasi muslim terbesar di dunia--bereaksi dengan mengkritik China.
Menyikapi hal tersebut, Muhyiddin meminta masyarakat untuk menahan diri, tidak memukul rata dan tidak terburu-buru melontarkan opini, guna menghindari kesalahpahaman serta menimbulkan efek riak.
"Kita perlu klarifikasi sebelum ada penilaian final ... Oleh karenanya mulai pertengahan pekan ini kita akan bertemu dengan pemimpin dan ulama di Xinjiang, bertemu dengan para Uighur guna mendapat informasi dari sumber langsung ... Ini dilakukan untuk meyakinkan warga Indonesia sekembalinya kita ke Tanah Air nanti," kata Muhyiddin.
Ulama MUI itu mengatakan, pada kunjungan nanti, para delegasi berencana untuk memberikan gambaran tentang kehidupan Islam di Indonesia yang menganut 'jalan tengah' -- cinta damai, toleran, cinta hak asasi manusia. Bukan Islam yang radikal dan ekstremis."
Kunjungan juga akan membahas potensi kerja sama dan bantuan yang bisa ditawarkan oleh RI kepada masyarakat di Xinjiang.
"Sebagai negara sahabat, hubungan antar negara tidak lebih kuat antara hubungan antar bangsa. Maka saya yakin, kunjungan ini akan mempererat hal tersebut dan berdampak semakin eratnya hubungan antara kedua negara,"
Kata Dubes RI untuk China
Sebelum bertolak ke Urumqi, Xinjiang pada 19 Februari 2019, para delegasi organisasi Islam terbesar di Indonesia itu dijamu oleh Duta Besar RI untuk China, Djauhari Oratmangun pada 18 Februari.
Ia berpesan mengenai pentingnya masyarakat RI untuk ikut memelihara dan mempererat "hubungan antara kedua bangsa" Indonesia - China, serta bagaimana hal tersebut mampu ikut mempengaruhi hubungan antara kedua negara.
"Hubungan antara dua negara mungkin ada naik dan turun, tapi, hubungan antara bangsa kedua negara harus kita jaga," tambah Dubes RI untuk China itu.
Djauhari telah sebelumnya berkunjung ke Xinjiang pada akhir tahun lalu, ketika kabar seputar isu Uighur 'beriak' di Indonesia. Ia menilai bahwa Xinjiang merupakan wilayah yang bertumbuh, yang tengah memulihkan diri dari sejumlah instabilitas.
Shohrat Zakir, Chairman Wilayah Otonomi Xinjiang-Uighur pada wawancara dengan Xinhua pada 16 Oktober 2018, pernah menyatakan bahwa sejak tahun 90-an, "three evil forces" yaitu terorisme, ekstremisme, dan separatisme di China dan luar negeri telah melakukan ribuan serangan yang menimbulkan korban rakyat, polisi, dan kerusakan properti.
Beberapa tahun terakhir Partai Komunis China menerapkan serangkaian kebijakan untuk memastikan stabilitas sosial dan keamanan jangka panjang di Xinjiang.
Sebagai hasil, China menyatakan bahwa selama 21 bulan terakhir tidak terdapat serangan teror. Tindak kriminal, termasuk yang mengancam keamanan publik, menurun signifikan, lanjut Xinhua.
Memaparkan lebih lanjut tentang nuansa hasil pengamatan dari kunjungannya ke Xinjiang, Dubes Djauhari Oratmangun mengatakan kepada para delegasi untuk "datang dan saksikan sendiri" apa yang terjadi di sana.
Tentang kunjungannya lalu, Dubes Djauhari mengatakan telah membuat laporan dan memberikannya kepada pemerintah Indonesia mengenai informasi yang ia terima maupun yang ia sampaikan, serta apa yang bisa dilakukan oleh RI.
"Salah satu yang saya sampaikan, hubungan people-to-people itu penting. Maka saya usulkan kepada Gubernur Xinjiang untuk mengundang orang-orang dari ormas dan media untuk datang," jelasnya.
Simak video pilihan berikut:
Undang Dubes RI dan Belasan Negara ke Xinjiang
Duta besar dan pejabat diplomatik dari 12 negara di China diundang oleh pemerintah Negeri Tirai Bambu untuk melawat ke Provinsi Xinjiang, rumah bagi etnis minoritas Uighur yang beberapa waktu terakhir menjadi sorotan atas dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Beijing terhadap mereka.
Lawatan itu dilakukan pada 28 - 30 Desember 2018, menurut kantor berita negara China, Xinhua, dikutip pada Senin (14/1/2019).
Pemerintah daerah mengundang utusan diplomatik serta perwakilan utusan diplomatik dari Rusia, Kazakhstan, Kirgistan, Uzbekistan, Tajikistan, India, Pakistan, Indonesia, Malaysia, Afghanistan, Thailand, dan Kuwait.
"Sepanjang perjalanan, mereka berinteraksi dengan pedagang lokal, siswa, dan pekerja di Xinjiang dan belajar tentang kemajuan kawasan dalam menjaga stabilitas sosial, meningkatkan mata pencaharian masyarakat dan mengembangkan ekonomi lokal. Mereka mengatakan mereka berharap untuk bekerja sama dengan Xinjiang di bidang budaya, pariwisata, ekonomi dan perdagangan," lanjut kantor berita itu.
"Duta Besar Indonesia untuk China, Djauhari Oratmangun mengatakan sekolah telah meninggalkan kesan besar padanya dan bahwa siswa belajar tidak hanya tentang hukum dan keterampilan, tetapi juga budaya mereka sendiri," tambah Xinhua.
Sementara itu, Sayed Habiburahman Husinpur, Kuasa Usaha Kedutaan Besar Afghanistan di China yang telah mengunjungi Xinjiang berkali-kali mengatakan, "Orang-orang sibuk belajar dan bekerja di sini, sangat berbeda dari masa lalu ketika orang sering terlihat bermalas-malasan tanpa banyak yang harus dilakukan."
"Program pendidikan dan pelatihan kejuruan adalah pengaturan yang sesuai yang telah meningkatkan kehidupan banyak orang serta keluarga mereka, kata Husinpur. Banyak negara menghadapi masalah seperti 'menyelesaikan pengangguran dan de-ekstremisme,' tetapi program-program di Xinjiang menuai hasil yang baik dan dapat memberikan referensi untuk negara lain," lanjut Xinhua.
Utusan diplomatik juga mengunjungi Masjid Id Kah di Kashgar, masjid terbesar di Xinjiang, dan diberi pengarahan tentang masjid dan peningkatan fasilitasnya.
Mohammed Hosnie Shahiran Ismail, Penasihat Kedutaan Besar Malaysia di China, mengatakan, "Melalui tur tersebut, ia melihat bahwa pemerintah Tiongkok sangat mementingkan kebebasan beragama, dan kegiatan keagamaan dilindungi oleh negara."
Perjalanan itu menyegarkan kembali pemahamannya tentang Xinjiang dan etnis Uighur, katanya, seraya menambahkan wilayah itu berbeda dari apa yang digambarkan oleh media Barat.
Advertisement