Liputan6.com, New York - Sebuah vaksin baru untuk kanker, yang disuntikkan langsung ke dalam sebuah tumor tunggal, dapat memicu sistem imun untuk menyerang sel-sel penyakit ini. Demikian menurut sebuah studi.
Para peneliti mengatakan, terapi eksperimental tersebut pada dasarnya mengubah tumor menjadi 'pabrik vaksin kanker' di mana sel-sel kekebalan tubuh belajar untuk mengenali kanker sebelum mencari dan menghancurkannya di bagian lain tubuh.
Baca Juga
"Kami melihat tumor di seluruh tubuh mencair, usai menyuntikkan satu tumor," kata penulis utama studi ini, Dr. Joshua Brody, yang merupakan direktur dari Lymphoma Immunotherapy Program di Icahn School of Medicine at Mount Sinai, New York.
Advertisement
Namun, penelitian yang dipublikasikan pada 8 April 2019 dalam jurnal Nature Medicine, masih sangat awal. Terapi ini hanya diuji pada 11 pasien penderita limfoma non-Hodgkin (kanker di mana tumor berkembang dari limfosit atau sel darah putih) dan tidak semua pasien menanggapi pengobatan tersebut.
Meski demikian, hasil pengujian diklaim cukup menjanjikan, sehingga terapi ini dites pada pasien pengidap kanker payudara dan kepala dan leher.
Terlebih, vaksin ini secara substansial mampu meningkatkan efektivitas jenis imunoterapi lain yang disebut checkpoint blockade --terapi yang dijalankan terhadap mantan presiden Jimmy Carter untuk mengobati melanoma metastasis (kanker kulit paling fatal) yang mendera badannya pada tahun 2015.
Imunoterapi tersebut mengacu pada perawatan yang memanfaatkan sistem kekebalan tubuh untuk melawan kanker.
Dua terapi di atas dikatakan 'sangat sinergis', menurut Brody kepada Live Science. Sejauh ini, para ilmuwan hanya menguji terapi kombinasi itu pada tikus, tetapi mereka optimis bahwa terapi kombinasi dapat bermanfaat bagi pasien kanker mana pun, terutama yang tidak mendapatkan banyak manfaat dari perawatan imunoterapi saat ini.
Vaksin Kanker
Agar lebih jelas, pengobatan baru ini secara teknis bukan vaksin seperti pada umumnya. Istilah 'vaksin kanker' merujuk pada terapi yang melatih sistem kekebalan tubuh untuk melawan kanker, menurut American Cancer Society.
Sebagai gantinya, perawatan baru ini adalah jenis imunoterapi yang memberi pasien serangkaian suntikan dengan dua jenis stimulan kekebalan tubuh.
Terapi ini memiliki tiga langkah. Pertama, pasien diberikan injeksi yang mengandung molekul kecil yang merekrut sel imun, disebut sel dendritik, ke dalam tumor. Sel dendritik bertindak seperti 'jendral' dalam 'pasukan' , memberi tahu seluruh sistem kekebalan --yang dikenal sebagai sel T-- apa yang harus dilakukan.
Kedua, pasien diberikan radioterapi dosis rendah, yang membunuh beberapa sel tumor sehingga mereka mengeluarkan 'antigen' atau protein, yang dapat dipelajari oleh sistem kekebalan untuk mengenali tumor. Sel dendritik kemudian mengambil antigen ini dan menunjukkannya ke sel T.
Ketiga, pasien diberikan suntikan kedua yang mengandung molekul yang mengaktifkan sel dendritik.
"Sel-sel dendritik mempelajari alur ini ... dan menceritakannya kepada sel-sel T, yang kemudian mencari sel-sel kanker lain di dalam tubuh," Brody menjelaskan.
Advertisement
Terapi Sinergis?
Dalam studi baru, sebagian besar pasien limfoma mengaku melihat penyusutan tumor di tubuh mereka, meski berlangsung selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Sedangkan lainnya, tidak mendapat manfaat dari terapi ini.
Ketika para peneliti memberikan obat checkpoint blockade kepada tikus dengan limfoma non-Hodgkin, tidak ada efek apapun. Tetapi ketika periset memberi tikus dengan kombinasi vaksin ala mereka, sekitar 75% hewan pengerat ini mengalami penyembuhan jangka panjang.
Jenis terapi yang diuji dalam studi baru tersebut dikenal sebagai "in situ vaccination" karena melibatkan suntikan langsung ke sel tumor.
Ini bukan percobaan pertama dari vaksin kanker "in situ". Pada tahun 2018, para ilmuwan melaporkan hasil yang menjanjikan dari vaksin in-situ lain pada tikus. Tetapi pengobatan baru itu berbeda, lantaran berfokus pada sel dendritik ketimbang sel T.
"Para penulis berpikir cara ini bisa ... efektif untuk melawan banyak jenis kanker, yang sejauh ini tidak mendapatkan efek dari imunoterapi," ungkap Brody.
Sementara itu, Pallawi Torka, asisten profesor onkologi di Roswell Park Comprehensive Cancer Center di Buffalo, New York, setuju bahwa hasil awal penelitian ini menjanjikan, meski masih terlalu dini.
Pendekatan imunoterapi baru untuk mengobati limfoma non-Hodgkin, amat dibutuhkan. Tetapi Torka mencatat bahwa pendekatan pengobatan yang digunakan dalam penelitian ini cukup rumit.
Pasien menerima sembilan suntikan stimulan imun pertama setiap hari, diikuti oleh dua dosis radioterapi, dan kemudian delapan suntikan stimulan imun kedua.
"Rangkaian percobaan berikutnya perlu fokus pada penyederhanaan, penggabungan dan pengurangan jumlah langkah yang diperlukan, sehingga pendekatan tersebut dapat diuji di sejumlah lokasi medis, daripada beberapa pusat kanker khusus," tandas Torka.