Romo Magnis Dukung NU dan Muhammadiyah Terima Nobel Perdamaian

Kiprah NU dan Muhamadiyah tidak hanya dirasakan oleh mayoritas kelompok muslim tapi juga oleh minoritas non-muslim.

diperbarui 26 Jun 2019, 15:03 WIB
Diterbitkan 26 Jun 2019, 15:03 WIB
Romo Magnis dalam sebuah seminar di Oslo, Norwegia. (Dokumentasi KBRI Norwegia)
Romo Magnis dalam sebuah seminar di Oslo, Norwegia. (Dokumentasi KBRI Norwegia)

Oslo - Budayawan yang juga pastor Katolik Franz Magnis-Suseno menyatakan dukungannya terhadap NU dan Muhammadiyah menjadi penerima penghargaan Nobel Perdamaian.

Dalam sebuah seminar di Oslo, Norwegia, pastor dari Ordo Katolik Serikat Yesus yang akrab dipanggil Romo Magnis ini mengatakan kedua organisasi tersebut memiliki andil besar dalam merekatkan bangsa Indonesia yang sangat majemuk, bahkan jauh sebelum kemerdekaan.

Kiprah NU dan Muhamadiyah tidak hanya dirasakan oleh mayoritas kelompok muslim tapi juga oleh minoritas non-muslim.

"Saya sudah sejak lama sangat mengenal kedua organisasi ini. Kita tahu, Indonesia telah lama punya sejarah gerakan radikal. Seperti gerakan DI-TII tahun 1950-1966 yang mengancam wilayah Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan," ujar Romo Magnis, Kamis 20 Juni 2019, dalam seminar yang dihadiri cendekiawan dan tokoh pemikir dari berbagai kalangan ini seperti dikutip dari DW Indonesia, Rabu (26/6/2019).

"Kemudian sekitar tahun tujuh puluhan beberapa ideologi Islam dari Timur Tengah, seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dan Wahabi, menjalar di Indonesia. Demikian pula pengaruh mujahidin dari Afghanistan. Tokoh NU dan Muhamadiyah saat itu berjuang keras agar pengaruh-pengaruh tersebut berhenti berkembang," ujar Romo Magnis. 

Ia menyimpulkan tiga prinsip fundamental dari kiprah NU dan Muhammadiyah untuk perdamaian dan memajukan toleransi di masyarakat seperti menjunjung tinggi keberagaman, kebebasan beragama, keterbukaan demokrasi dan menolak diskriminasi dan intoleransi.

Lebih lanjut ia menyatakan kalau kedua organisasi tersebut menanamkan  dan mengembangkan warisan nilai budaya Indonesia yang mengutamakan kerukunan, kebersamaan, serta menghargai hak orang lain.

"Intinya, sebagai pendeta Katolik dan bagian dari kelompok minoritas saya mengakui NU dan Muhammadiyah meskipun jadi mayoritas tidak pernah menjadi ancaman bagi kami kelompok minoritas. Sebaliknya, kehadiran kedua organisasi ini di tengah masyarakat Indonesia memberikan rasa aman dan jaminan bahwa nilai-nilai pluralisme dan toleransi akan tetap terjaga dan tumbuh di Indonesia," tutur Romo Magnis.

Seminar yang digagas bersama oleh Peace Research Institute Oslo (PRIO) dan KBRI Oslo ini bertujuan untuk mengenalkan dan memublikasikan kepada publik Oslo tentang NU dan Muhammadiyah serta perannya dalam menangkal radikalisme di Indonesia. Sebelumnya, pada Januari 2019 lalu dua organisasi Islam terbesar Indonesia ini telah dinominasikan sebagai penerima penghargaan Nobel Perdamaian.

Organisasi Pemersatu

20161229-Sejumlah Tokoh Melihat Kembali Tantangan Merawat Kebangsaan Indonesia-Jakarta
Romo Frans Magnis Suseno SJ (kiri) memberi pernyataan saat refleksi akhir tahun 2016 bertema Tantangan Merawat Kebangsaan Indonesia di Jakarta, Kamis (29/12). Sejumlah tokoh nasional hadir dalam refleksi tersebut. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Dalam seminar tersebut hadir juga Prof. Dr. Azyumardi Azra dan Direktur Wahid Institut Yenny Wahid. Prof Azra mencontohkan pengaruh besar NU dan Muhammadiyah terlihat pada saat Indonesia dilanda krisis pasca runtuhnya Orde Baru tahun 1998. Saat itu Gus Dur yang merupakan tokoh NU terpilih sebagai Presiden Indonesia.

"Meski banyak yang mengkhawatirkan Indonesia akan pecah tapi saya tetap optimis selama kita bisa menjaga Pancasila dan nilai-nilai kebangsaan yang telah diwariskan pendiri bangsa, Indonesia akan tetap utuh. Dan kita yakin NU dan Muhammadiyah adalah guardian nilai-nilai tersebut untuk tetap tumbuh di masyarakat," jelas Prof Azra.

Sementara Yenny Wahid dalam paparannya menyampaikan bahwa untuk bisa melawan radikalisme maka perlu diteliti kelompok mana saja yang rentan dan menjadi target dari kelompok radikalis. 

"Kalau kita amati setidaknya ada beberapa sebab. Di antaranya ketakutan yang berlebih dan selalu merasa kekurangan materi, memahami literatur agama secara tekstual saja, gampang terpengaruh oleh informasi keliru dari kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama yang cenderung menyebar kebencian. Sebab lainnya adalah mereka yang memiliki kecenderungan terhadap intoleransi dan menafikan hak kelompok yang berbeda paham," ujar Yenny. 

Yenny juga menekankan perlunya NU dan Muhammadiyah untuk menjadi aktor utama dalam melakukan konter narasi dan konter identitas terkait maraknya hoaks dan fake news di media sosial.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya