Cegah Penularan Ebola, Arab Saudi Larang Warga RD Kongo Naik Haji

Krisis Ebola di RD Kongo membuat sekitar 410 calon jemaah haji diperkirakan gagal ke Tanah Suci akibat larangan dari Arab Saudi.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 29 Jul 2019, 05:01 WIB
Diterbitkan 29 Jul 2019, 05:01 WIB
Masjidil Haram dipadati jutaan jemaah
Umat Muslim melaksanakan salat dengan menghadap Kakbah di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi, Kamis (16/8). Jutaan umat Islam dari berbagai negara semakin memadati Masjidil Haram menjelang puncak pelaksanaan ibadah haji. (AHMAD AL-RUBAYE / AFP)

Liputan6.com, Riyadh - Krisis Ebola di Republik Demokratik Kongo, DRC, telah memicu reaksi internasional. Melihat situasi tersebut, Arab Saudi akhirnya memutuskan untuk melarang warga negara tersebut yang ingin memasuki negara itu.

Kementerian Luar Negeri Arab Saudi mengumumkan telah menangguhkan penerbitan visa ke Kongo dengan tujuan untuk melakukan ibadah tahunan, haji.

"Pemberian visa kedatangan untuk orang-orang yang masuk dari DR Kongo telah dihentikan, demi kesejahteraan para jemaah," demikian petikan sebagian bunyi pernyataan kementerian itu seperti dikutip dari Africanews, Senin (29/7/2019).

Kasus Ebola pada pertengahan Juli dinyatakan masuk dalam kategori darurat kesehatan masyarakat, yang menjadi perhatian internasional oleh Organisasi Kesehatan Dunia, WHO. Wabah terbatas terjadi di bagian timur negara yang kini sedang dalam upaya pengendaliannya.

410 Jemaah Terdampak

Masjidil Haram dipadati jutaan jemaah
Pandangan udara saat Umat Muslim melaksanakan salat menghadap Kakbah di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi, Kamis (16/8). Jutaan umat Islam dari berbagai negara semakin memadati Masjidil Haram menjelang puncak pelaksanaan ibadah haji. (AP Photo/Dar Yasin)

Berbicara kepada BBC, Imam Djuma Twaha, seorang pemimpin Muslim Kongo mengungkapkan bahwa sekitar 410 calon jemaah haji tengah bersiap untuk menjalankan ibadah itu.

"Ada yang telah mempersiapkan diri bertahun-tahun sebelumnya, kadang-kadang butuh 10 tahun mengumpulkan uang $ 4.250 untuk melakukan perjalanan keagamaan ke Makkah," katanya. Haji adalah rukun Islam kelima.

Semua ritusnya berada di kota suci Makkah dan kota-kota sekitarnya. Sebagian besar ritus ada di sekitar Kakbah. Tempat itu biasanya dipadati orang-orang dari seluruh dunia yang melakukan ibadah.

Pelarangan tersebut dimaksudkan agar tak terjadi penularan ebola kepada jemaah dari negara lain.

Ebola di Kongo jadi Darurat Kesehatan Internasional

Salah satu wabah Ebola terburuk di dunia meneror Republik Demokratik Kongo selama 2018 (AP/Al-hadji Kudro Maliro)
Salah satu wabah Ebola terburuk di dunia meneror Republik Demokratik Kongo selama 2018 (AP/Al-hadji Kudro Maliro)

Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menyatakan bahwa wabah penyakit Ebola di Republik Demokratik Kongo sebagai kondisi darurat kesehatan internasional.

Hal ini disampaikan Direktur Jenderal WHO Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus pada Rabu, 17 Juli lalu.

"Sudah waktunya bagi dunia untuk memperhatikan dan melipatgandakan upaya kita. Kita perlu bekerja sama dalam solidaritas dengan Republik Demokratik Kongo untuk mengakhiri wabah ini dan membangun sistem kesehatan yang lebih baik," kata Tedros seperti dilansir dari laman resmi WHO pada Jumat (19/7/2019).

Deklarasi ini disampaikan menyusul pertemuan International Health Regulations Emergency Committee for EVD di Kongo. Mereka memperlihatkan bagaimana perkembangan wabah penyakit Ebola, hingga rekomendasi yang ditawarkan.

Komite ini mencatat bahwa kasus pertama yang dikonfirmasi terjadi di Goma. Kota berpenduduk hampir dua juga orang di perbatasan Rwanda, sekaligus pembatas Kongo dengan negara lain.

Deklarasi ini sendiri menyatakan bahwa kejadian ebola di Kongo termasuk dalam Public Health Emergency of International Concern (PHEIC). Meski begitu WHO meminta agar tidak ada larangan tertentu yang ditujukan pada negara tersebut dan hanya mengeluarkan rekomendasi.

"Penting juga bahwa negara-negara tidak menggunakan PHEIC sebagai alasan untuk memberlakukan pembatasan perdagangan atau perjalanan, yang akan berdampak negatif pada respon dan kehidupan dan mata pencaharian orang-orang di wilayah tersebut," kata Profesor Robert Steffen, kepala komite tersebut.

"PHEIC tidak boleh digunakan untuk menstigmatisasi atau menghukum orang yang sangat membutuhkan bantuan kita." 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya