Memprediksi Bahaya Gempa Bumi dari Injeksi Air Limbah, Seberapa Efektif?

Mampukah kita memprediksi bahaya gempa bumi dari injeksi air limbah?

oleh Afra Augesti diperbarui 30 Jul 2019, 21:00 WIB
Diterbitkan 30 Jul 2019, 21:00 WIB
Penampakan Kerusakan Akibat Gempa Kembar di Filipina
Seorang penduduk melihat kerusakan setelah gempa kembar berkekuatan magnitudo 5,4 dan 5,9 di Itbayat on Pulau Batanes, Filipina (27/7/2019). Banyak orang sedang tidur pulas ketika gempa pertama terjadi pada Sabtu (27/7./2019) pagi. (Agnes Salengua Nico via AP)

Liputan6.com, Jakarta - Produk sampingan dari produksi minyak dan gas adalah sejumlah besar air limbah beracun yang disebut brine. Pengebor sumur umumnya membuang brine dengan menyuntikkannya ke dalam formasi batuan yang dalam, di mana injeksi tersebut dapat memicu terjadinya gempa bumi.

Sebagian besar gempa relatif kecil, tetapi beberapa di antaranya besar dan sifatnya merusak.

Namun memprediksi jumlah aktivitas seismik dari injeksi air limbah adalah sulit, karena melibatkan banyak variabel. Salah satunya ialah jumlah brine yang disuntikkan, seberapa mudah brine dapat bergerak melewati bebatuan, keberadaan sesar geologis, dan tekanan pada patahan tersebut.

Sumur yang dibor ke formasi Oklahoma Arbuckle menyuntikkan air limbah yang kemudian menyebar melalui batu. Ketika menyebar, air limbah dapat memicu gempa bumi di zona sesar, tetapi ukurannya tergantung pada jumlah yang disuntikkan dan sifat batuan. (ASU)

Sekarang, tim geolog yang dipimpin oleh ilmuwan-ilmuwan dari Arizona State University (ASU) --bekerja di bawah Departemen Energi Amerika Serikat-- telah mengembangkan metode untuk memprediksi aktivitas seismik dari pembuangan air limbah.

Area studi para peneliti ada di Oklahoma, negara bagian di mana banyak kegiatan fracking (mengorek lubang bekas penimbunan energi) telah dilakukan dengan banyak injeksi air limbah, dan di mana telah terjadi beberapa gempa bumi yang menyebabkan kerusakan.

Laporan studi tersebut atau makalah ahli geologi itu diterbitkan di jurnal ilmiah Prosiding National Academy of Sciences pada 29 Juli 2019.

"Secara keseluruhan, bahaya gempa bumi meningkat dengan latar belakang aktivitas seismik, dan ini merupakan hasil dari perubahan tekanan di kerak," kata Guang Zhai, seorang ilmuwan penelitian postdoctoral di School of Earth and Space Exploration ASU dan asisten peneliti di University of California, Berkeley.

"Fokus kami adalah memodelkan fisika dari perubahan yang dihasilkan dari injeksi air limbah," imbuhnya, sebagaimana dikutip dari phys.org, Selasa (30/7/2019).

Zhai adalah penulis utama untuk studi ini. Sedangkan ilmuwan lain yang juga terlibat adalah Manoochehr Shirzaei, associate professor di School of Earth and Space Exploration ASU, Michael Manga dari UC Berkeley, dan Xiaowei Chen dari University of Oklahoma.

"Aktivitas seismik di satu daerah menjadi melonjak selama beberapa tahun, setelah injeksi air limbah dikurangi," Shirzaei menjelaskan. "Itu memberitahu kita bahwa metode prediksi yang ada tidak memadai."

Kembali ke Dasar

Ilustrasi gempa bumi
Ilustrasi gempa bumi (Photo: AFP/Frederick Florin)

Untuk mengatasi masalah ini, tim kembali ke metode paling dasar, melihat bagaimana berbagai jumlah brine yang disuntikkan mengganggu tekanan kerak Bumi dan bagaimana itu menyebabkan gempa pada sebuah sesar.

"Cairan seperti brine (dan air tanah alami) dapat disimpan dan bergerak melalui batuan yang keropos," papar Zhai.

Kuncinya adalah membangun model berbasis fisika yang menggabungkan kemampuan batu untuk mengangkut brine yang disuntikkan, dan mencari tahu elastisitas batu terhadap tekanan cairan.

Shirzaei melanjutkan, "Kami menggunakan model yang dikumpulkan selama 23 tahun terakhir dari brine yang disuntikkan di lebih dari 700 sumur Oklahoma ke dalam formasi Arbuckle."

Katanya lagi, untuk membuat skenario realistis, model tersebut juga meneliti sifat mekanik batuan di Oklahoma. Hasilnya adalah model itu berhasil memprediksi perubahan dalam tekanan kerak, yang berasal dari injeksi brine.

Untuk langkah terakhir, Shirzaei mengungkapkan, "Kami menggunakan model fisik yang mapan, tentang bagaimana gempa bumi dimulai, sehingga kami dapat menghubungkan gangguan tekanan dengan jumlah dan ukuran gempa."

Tim menemukan, kerangka kerja berbasis fisika mampu memberikan hasil yang baik untuk mereproduksi distribusi gempa aktual, berdasarkan frekuensi, besar gempa, dan waktu terjadinya.

"Temuan menariknya adalah bahwa perubahan kecil pada elastisitas batuan terhadap perubahan tekanan cairan dapat memperbesar jumlah gempa beberapa kali. Ini adalah faktor yang sangat sensitif," kata Zhai lagi.

Membuat Produksi Lebih Aman

Ilustrasi Tambang Minyak 5 (Liputan6.com/M.Iqbal)
Ilustrasi Tambang Minyak 5 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Sementara injeksi air limbah dapat menyebabkan gempa bumi, semua produksi minyak dan gas utama menciptakan sejumlah besar air limbah yang perlu dibuang, dan injeksi adalah metode yang digunakan oleh sebagian besar industri.

"Jadi ini bisa membuat produksi lebih aman di masa depan," kata Shirzaei, "Pendekatan kami adalah menawarkan cara untuk meramalkan gempa bumi yang disebabkan oleh suntikan brine. Kami ingin mengenalkan kepada pelaku industri, ada alat untuk mengelola injeksi brine setelah fracking."

Dengan mengetahui volume brine yang akan disuntikkan dan lokasi pembuangan, pihak berwenang dapat memperkirakan probabilitas bahwa gempa bumi dengan besaran tertentu akan terjadi. Probabilitas semacam itu dapat digunakan untuk menilai bahaya gempa jangka pendek.

Sebagai alternatif, operator minyak dan gas dapat mengelola volume brine yang diinjeksi untuk menjaga kemungkinan munculnya gempa besar.

Hasil akhirnya, proses ini akan memungkinkan praktik produksi yang lebih aman, menguntungkan masyarakat umum dan industri energi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya