Liputan6.com, Jakarta - Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif meminta Indonesia mendorong negara-negara penandatangan pakta limitasi nuklir Iran untuk kembali mematuhi perjanjian tersebut. Hal itu disampaikannya dalam pertemuan dengan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi di Jakarta, Jumat 6 September.
Menimpali, Indonesia menyatakan keinginan agar pakta tersebut bisa kembali berjalan "secara penuh dan efektif."
Baca Juga
Permintaan itu datang di tengah eskalasi perihal Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) atau kesepakatan limitasi untuk mencegah Teheran mengembangkan senjata nuklir --yang ditandatangani oleh Iran bersama Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia, China, Jerman dan Uni Eropa pada 2015. Â
Advertisement
Awal ketegangan dipicu oleh langkah Amerika Serikat --selaku salah satu penandatangan-- yang menarik diri dari pakta tersebut pada pertengahan 2018.
Menjustifikasi langkah unilateralnya, AS menuduh bahwa Iran telah melanggar sejumlah klausul dalam JCPOA, seperti: menambah produksi uranium yang diperkaya (enriched uranium, bahan baku nuklir) hingga melewati persentase limitasi yang ditentukan pakta (ambang batas limitasi maksimum adalah 3,67), hingga tuduhan mensponsori terorisme dan kelompok bersenjata di sejumlah wilayah konflik di Timur Tengah.
Sebagaimana diatur dalam JCPOA, kepatuhan Iran dibalas dengan pencabutan sanksi dari para negara penandatangan --di mana masing-masing dari mereka pernah memberlakukan sanksi ekonomi sebelum adanya pakta yang diteken pada 2015.
Namun, ketika AS keluar pada 2018, Washington DC kembali menerapkan dan menambah sejumlah sanksi baru kepada Iran.
Teheran mengecam langkah AS, sekaligus membantah segala tuduhan dari DC bahwa mereka telah melanggar JCPOA. Negeri Persia juga menuding bahwa pemerintahan Presiden Donald Trump "mencari-cari alasan" agar bisa kembali menjatuhkan sanksi kepada Iran, sekaligus melemahkan perekonomiannya.
Menyikapi keluarnya AS dari JCPOA, Iran mengumumkan akan melakukan pengayaan uranium bertahap hingga melewati ambang batas 3,67. Pada Juli 2019, Iran menetapkan target peningkatan sampai 5 persen (bahkan lebih) jika AS tidak kembali ke perjanjian hingga tenggat waktu 60 hari yakni pada September 2019.
Tak ingin perjanjian itu hancur, Prancis dan Uni Eropa telah mengadakan sejumlah pembicaraan diplomatik dengan Iran untuk mengkaji ulang klausul JCPOA serta membantu Teheran meringankan dampak sanksi yang diberikan AS. Iran pun proaktif dan terbuka dalam melakukan langkah-langkah diplomasi tersebut.
Negeri Persia juga menekankan bahwa diplomasi masih menjadi pilihan, asalkan sanksi Amerika Serikat terhadap Iran dicabut dan DC kembali menjadi bagian dari JCPOA.
Sementara itu, Presiden Trump menyatakan kesediannya untuk berunding dengan Iran terkait JCPOA, namun, menyatakan ketidaksukaan atas langkah Teheran yang kembali melakukan pengayaan uranium bertahap --menganggapnya sebagai bentuk pemerasan.
Menlu RI dan Iran Bicara Soal JCPOA
Soal JCPOA, Menlu RI Retno Marsudi mengatakan bahwa "secara prinsip, Indonesia ingin melihat bahwa kesepakatan JCPOA masih dapat dijalankan secara penuh dan efektif," jelas dalam konferensi pers bersama dengan Menlu Iran Javad Zarif di Jakarta, Jumat (6/9/2019).
Sementara Menlu Zarif menjelaskan, "Saya ingin, teman kami, Indonesia, menyerukan kepada semua pihak untuk kembali mengimplementasi penuh JCPOA dan Resolusi Dewan Keamanan 2231, di mana keduanya merupakan landasan bagi limitasi nuklir Iran hanya untuk tujuan damai dan normalisasi hubungan (pencabutan sanksi) ekonomi dengan Iran."
Menambahkan, Zarif menjelaskan kepada Retno dalam pertemuan itu bahwa Iran "telah melakukan segala upaya untuk menjaga kesepakatan ini (JCPOA) melalui cara-cara diplomasi."
Soal peningkatan persentase pengayaan uranium terbaru yang dilakukan Iran pada tahun ini, Zarif menjustifikasinya dengan menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan upaya "untuk merespons penarikan diri AS dari kesepakatan dan kembali memberlakukan sanksi ekonomi kepada warga Iran."
"Sanksi dari AS tersebut merupakan bentuk terorisme, karena berdampak pada warga Iran," kecam Zarif, yang menambahkan bahwa sanksi AS telah menimbulkan denormalisasi hubungan ekonomi, "bukan hanya pada Iran, namun juga menghukum negara-negara lain."Â
Terkait potensi perundingan baru dengan AS, Zarif menjelaskan bahwa "kami bersedia kembali mematuhi JCPOA, setelah mereka (AS) lebih dulu mematuhinya."
Advertisement
Sekilas JCPOA
Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) atau 'Iran nuclear deal', merupakan pakta kesepakatan yang dibentuk pada 2015, antara Iran dan lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB (China, Prancis, Rusia, Inggris, AS) plus Jerman dan Uni Eropa.
Menurut pakta itu, Iran dituntut untuk mengurangi stok uranium hingga 98 persen dan berhenti menjalankan program pengembangan senjata nuklir. Kepatuhan Iran akan ditukar dengan pencabutan sanksi dari para negara penandatangan. Namun, AS mengundurkan diri dari JCPOA pada 8 Mei 2018, sebuah langkah yang amat disayangkan oleh seluruh penandatangan dan dikecam keras oleh Iran.
Usai keluar, Washington pun segera menetapkan sanksi terhadap Negeri Para Mullah. Kisruh seputar pakta itu selama setahun terakhir telah menjadi salah satu faktor penyulut eskalasi tensi hubungan antara Iran - AS dan Iran dengan negara Barat lainnya, serta menuai kekhawatiran akan konflik diplomatik hingga geo-politik.