Liputan6.com, Baghdad - Demonstrasi anti-pemerintah di Nasiriya, Irak selatan, pada Rabu 2 Oktober 2019 berubah menjadi bentrokan antara pengunjuk rasa dan pasukan keamanan.
Gas air mata hingga peluru tajam ditembakkan aparat untuk mengendalikan massa yang telah berdemo sejak dua hari berturut-turut.
Baca Juga
Respons keras aparat menewaskan tiga orang, menurut data perkiraan sementara dari kelompok masyarakat sipil the Iraqi Observatory for Human Rights, seperti dikutip dari Al Jazeera, Kamis (3/10/2019). Satu polisi turut tewas dalam bentrokan hari itu.
Advertisement
Sekitar 78 orang terluka pada demo 2 Oktober.
Sementara, pada Rabu 2 Oktober, dua pengunjuk rasa --satu di Nasiriya dan lainnya di Ibu Kota Baghdad-- tewas dalam demo bertajuk serupa. Ratusan orang juga terluka dalam bentrokan antara polisi dan pengunjuk rasa.
Kantor-kantor berita mengutip sumber-sumber medis dan keamanan mengatakan bahwa jumlah korban tewas selama beberapa hari terakhir adalah sembilan. Namun, angka itu belum dapat diverifikasi secara independen.
Para pengunjuk rasa juga turun ke jalan-jalan di al-Shaab di Baghdad utara dan Zafaraniya di selatan pada Rabu 2 Oktober, dengan polisi anti huru hara berusaha membubarkan mereka dengan gas air mata dan peluru tajam ditembakkan di udara.
Unjuk rasa berskala nasional adalah bentuk kemarahan publik terbesar terhadap pemerintahan Perdana Menteri Adel Abdul Mahdi yang nyaris genap setahun. Mereka mengkritisi tingkat pengangguran yang tinggi, korupsi, dan buruknya layanan publik.
"Kami menginginkan pekerjaan dan layanan publik yang lebih baik. Kami telah menuntutnya selama bertahun-tahun dan pemerintah tidak pernah menanggapi," kata seorang pengunjuk rasa perempuan berusia 27 tahun di lokasi demo di Lapangan Tahir, Baghdad.
Pemerintah Irak terkejut atas besarnya aksi unjuk rasa tersebut, yang sebagian besar direncanakan di media sosial --Al Jazeera melaporkan.
Pemerintah memantau penyebaran protes ini. Mereka kemudian membatasi siaran langsung dari tempat protes, serta platform media sosial, seperti Facebook dan Twitter.
Ribuan orang berkumpul di Basra, kota kaya minyak di selatan, di depan gedung administrasi provinsi, tetapi sejauh ini protes di sana berlangsung damai.
Protes damai juga dilaporkan di Samawa, sementara demonstrasi kecil diadakan di kota utara Kirkuk dan Tikrit, serta di provinsi timur Diyala, Reuters melaporkan.
Â
* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp 5 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com di tautan ini.
Jam Malam Diterapkan, Militer Siaga Tinggi hingga Internet Diblokir
Pada Rabu 3 Oktober, pihak berwenang mengerahkan pasukan kontraterorisme di Nasiriya setelah polisi "kehilangan kendali" ketika pertempuran senjata meletus antara pengunjuk rasa dan pasukan keamanan, sumber kepolisian mengatakan kepada kantor berita Reuters.
Jam malam kemudian diberlakukan di Nasiriya dan dua kota selatan lainnya, Amara dan Hilla, mereka menambahkan.
Sementara itu, observatorium penyumbatan internet NetBlocks mengatakan cakupan online telah terputus di sebagian besar negara, termasuk Baghdad, dengan konektivitas turun di bawah 70 persen.
Di ibu kota, Lapangan Tahrir ditutup pada hari Rabu oleh tentara bersenjata berat dan puluhan polisi anti huru hara, dengan beberapa demonstran berkumpul di perimeter. Sejumlah besar demonstran, termasuk lulusan universitas, telah berunjuk rasa di sana sejak Selasa.
Semua unit militer ditempatkan dalam siaga tinggi, kata kementerian pertahanan.
Advertisement
Respons Pemerintah Soal Tuntutan Demonstran
Dalam sebuah pernyataan pada Selasa 2 Oktober, perdana menteri telah menjanjikan pekerjaan bagi lulusan yang menganggur dan menginstruksikan kementerian perminyakan dan badan pemerintah lainnya untuk mulai memasukkan kuota 50 persen untuk pekerja lokal dalam kontrak berikutnya dengan perusahaan asing.
Namun belum jelas bagaimana rencana tersebut akan diimplementasikan. Sementara, Menurut Bank Dunia, pengangguran kaum muda di Irak lebih dari 20 persen.
Presiden Irak Barham Salih, dalam sebuah posting di Twitter Selasa malam, juga mengingatkan pasukan keamanan bahwa "protes damai adalah hak konstitusional". Dia menambahkan: "Anak-anak muda Irak kami mencari reformasi dan pekerjaan, dan tugas kami adalah untuk memenuhi tuntutan yang sah ini."
Parlemen juga telah memerintahkan penyelidikan atas kekerasan tersebut dan komite HAM-nya mengkritik pasukan keamanan atas "penindasan" mereka terhadap demonstrasi.
Ali al-Nashmi, seorang profesor hubungan internasional di Universitas Mustansiriya di Baghdad, menggambarkan protes terbaru sebagai "yang paling serius yang telah kita lihat."
"Para pengunjuk rasa meningkatkan banyak slogan - mereka menginginkan pekerjaan, mereka ingin memerangi korupsi, mereka ingin listrik. Mereka tidak memiliki satu slogan atau satu pemimpin. Mereka mencari segalanya. Dan mereka bukan pengikut agama tertentu atau partai politik. Karena itu akan sulit untuk mengendalikan atau bernegosiasi dengan mereka."
Pada Rabu malam, Moqtada al-Sadr, seorang pemimpin Syiah yang berkuasa yang telah memimpin demonstrasi sebelumnya, menyerukan "protes damai dan pemogokan umum" setelah menyerukan penyelidikan atas kekerasan.
Yusuf Alabarda, seorang analis yang berbasis di Ankara Turki, menyebut situasi di Irak "sangat rapuh".
"Ini adalah negara yang dilanda perang, sangat dekat dengan negara yang gagal. Dan menjadi objek persaingan penanaman pengaruh antara Amerika Serikat, Iran dan Turki. Dan untuk alasan ini, situasi di Irak sangat rapuh," katanya kepada Al Jazeera.
Namun, "dalam jangka pendek, pemerintah ini tidak akan dapat mengubah situasi ekonomi," katanya. "Tetapi mengubah pemerintah tidak akan membantu memerangi masalah ekonomi, korupsi, terorisme atau ancaman keamanan."
PBB menyatakan keprihatinannya atas kekerasan dan mendesak agar tenang. Sementara perwakilan khusus sekretaris jenderal PBB untuk Irak, Jeanine Hennis-Plasschaert, menegaskan kembali dalam sebuah pernyataan bahwa publik memiliki hak untuk berdemonstrasi.