Turki Tunda Operasi Militer di Suriah Usai Negosiasi dengan AS

Turki telah menyetujui gencatan senjata di Suriah bagian utara untuk membiarkan pasukan pimpinan Kurdi yang menguasai wilayah itu menarik diri.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 18 Okt 2019, 10:30 WIB
Diterbitkan 18 Okt 2019, 10:30 WIB
Turki Mulai Operasi Militer Sasar Kurdi di Suriah
Asap mengepul setelah Turki mengebom perbatasan Suriah terlihat dari Akcakale di Provinsi Sanliurfa, Turki, Rabu (9/10/2019). Milisi Kurdi melaporkan adanya bombardir intens jet tempur Ankara di desa sipil dan pos militer Ras al-Ain, Tal Abyad, Qamishli, dan Ain Issa. (AP Photo/Lefteris Pitarakis)

Liputan6.com, Ankara - Turki telah menyetujui gencatan senjata di Suriah bagian utara untuk memberikan kesempatan bagi pasukan pimpinan Kurdi yang menguasai wilayah itu menarik diri.

Kesepakatan itu terjadi setelah Wakil Presiden AS Mike Pence dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bertemu untuk mengadakan pembicaraan di Ankara pada Kamis 17 Oktober 2019.

Semua pertempuran akan dihentikan selama lima hari, dan AS akan membantu memfasilitasi penarikan pasukan pimpinan Kurdi dari apa yang oleh Turki disebut "zona aman" di perbatasan, kata Pence, seperti dikutip dari BBC, Jumat (18/10/2019).

Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan kepada wartawan bahwa serangan hanya akan dihentikan secara permanen ketika Pasukan Demokratik Suriah (SDF) pimpinan Kurdi telah meninggalkan zona perbatasan.

"Kami menangguhkan operasi, bukan menghentikannya," katanya. "Kami akan menghentikan operasi hanya setelah (pasukan Kurdi) sepenuhnya mundur dari wilayah."

Cavusoglu mengatakan Turki juga telah mengamankan tujuannya untuk melepaskan senjata berat dari para pejuang yang dipimpin Kurdi, dan posisi mereka dihancurkan.

Berbalas Pencabutan Sanksi AS kepada Turki

Pence mengatakan, AS akan mencabut sanksi ekonomi --yang beberapa hari sebelumnya dijatuhkan pada Turki-- ketika serangan militer berakhir, dan tidak akan memaksakan lebih banyak setelah itu.

Namun, belum jelas apakah Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG) yang turut berperang dengan Turki di Suriah utara akan sepenuhnya mematuhi kesepakatan itu.

Komandan YPG, Mazloum Kobani mengatakan pasukan pimpinan Kurdi akan mengamati kesepakatan di daerah antara kota perbatasan Suriah utara di Ras al-Ain dan Tal Abyad, tempat pertempuran sengit sejak Turki melancarkan ofensif pada Rabu 9 Oktober lalu.

"Kami belum membahas nasib daerah lain," katanya.

Politisi senior Kurdi, Aldar Xelil mengatakan bahwa dia menyambut baik untuk mengakhiri pertempuran, tetapi SDF akan mempertahankan diri jika kekerasan terus berlanjut.

Organisasi pemantau yang berbasis di Inggris, Observatory Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR) mengatakan bentrokan terus terjadi di Ras al-Ain meskipun ada pengumuman gencatan senjata.

Dikatakan 72 warga sipil telah tewas di dalam wilayah Suriah dan lebih dari 300.000 orang terlantar selama delapan hari terakhir.

Simak video pilihan berikut:

Sekilas Perang Turki - Kurdi di Suriah Utara

Turki Mulai Operasi Militer Sasar Kurdi di Suriah
Kendaraan militer Turki melaju menuju perbatasan Suriah dekat Akcakale di Provinsi Sanliurfa, Turki, Rabu (9/10/2019). Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menamakan tindakan militer ini sebagai 'Operation Peace Spring'. (BULENT KILIC/AFP)

Turki melancarkan serangan lintas-perbatasan terhadap Kurdi Suriah pada Rabu 9 Oktober 2019, menyusul langkah AS yang menarik pasukannya dari wilayah itu.

Pasukan AS telah bersekutu dengan Pasukan Demokratik Suriah (SDF), sebuah milisi pimpinan mayoritas kelompok Kurdi; dan Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG); dalam upaya bersama untuk menumpas ISIS dari wilayah itu, sejak kelompok teroris tersebut merajalela pada 2013 silam hingga kekalahan teritorial mereka tahun ini.

Pada periode tersebut, SDF telah memperluas kontrolnya di Suriah utara dan timur laut, memicu semakin terbelahnya negara beribukota Damaskus akibat perang saudara yang turut melibatkan Tentara Nasional Suriah pimpinan Presiden Bashar al-Assad yang didukung Rusia dan Iran.

Keputusan Trump segera menuai kritik domestik dan internasional, menyebut langkah itu membahayakan stabilitas regional; meninggalkan sekutu AS, SDF, di tengah konflik terbuka dengan Turki (yang juga merupakan sekutu AS di NATO); dan mempertaruhkan kebangkitan ISIS.

Turki dan kelompok Kurdi telah lama berkonflik sejak 1978, dan mencapai episodik tensi terbaru pada 2015, yang dipicu oleh Perang Saudara Suriah; situasi konflik yang multidimensional (kehadiran ISIS, proksi, identitas, dll); hingga ekses dari kegagalan negosiasi damai antara kedua belah pihak sejak pada 2012.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya