Salju di Puncak Jaya Papua yang Tak Lagi Abadi

Salju yang disebut sebagai es abadi di Puncak Jaya Papua kini menyusut dan akan menghilang dalam satu dekade.

diperbarui 17 Des 2019, 20:10 WIB
Diterbitkan 17 Des 2019, 20:10 WIB
Puncak Carstensz
Puncak Carstensz atau Puncak Jaya, di gunung Jayawijaya, Papua merupakan puncak tertinggi di Indonesia. (dok.Instagram @carstenszpyramid/https://www.instagram.com/p/BsTB9qRAqUF/Henry

Jakarta - Indonesia memiliki gletser atau bongkahan es dari endapan salju di Puncak Jaya, Papua. Namun, salju yang disebut sebagai es abadi itu kini menyusut dalam tempo cepat dan akan menghilang dalam satu dekade.

Hal itu terungkap dalam studi yang dipublikasikan di jurnal milik National Academy of Science, Amerika Serikat, pekan lalu.

"Karena lokasi gletser di Papua yang relatif rendah, ia akan menjadi yang pertama yang menghilang," kata Lonnie Thompson, Professor di School of Earth Science di Ohio State University yang juga salah seorang penulis studi. "Nasib gletser-gletser ini adalah indikator," bagi kondisi iklim di Bumi, imbuhnya.

Berikut ini perbandingan kondisi gletser di Puncak Jaya Papua antara 1988:

Gletser di Puncak Jaya Papua pada 1988 sesuai citra satelit yang dibuat NASA. (NASA)

 Dan di bawah ini kondisi gletser Puncak Jaya Papua pada 2017:

Gletser di Puncak Jaya Papua pada 2017 sesuai citra satelit yang dibuat NASA. (NASA)

Pertengahan 2019, Islandia mencatat kepunahan gletser pertama ketika Okjökull menghilang di musim panas. Peristiwa itu dinilai sebagai peringatan bagi 400 gletser lain di kepulauan subartik tersebut.

Sementara di jantung Eropa, ilmuwan Swiss melaporkan laju kenaikan emisi CO2 akan memusnahkan 90% gletser di pegunungan Alpina di penghujung abad.

Gletser memiliki mikro ekosistem yang rumit dan sensitif. Sekali mencair, laju penyusutan akan sulit dihentikan.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Ancaman Gletser Lain

Pemakaman Gletser di Islandia
Penampakan gletser Okjökull, sebelum dan sesudah pencairan. (NASA/EPA)

Hal serupa mengancam antara lain gletser Carstenz yang terhampar seluas 68,6 hektar di ketinggian 4.600 meter di atas permukaan laut. Menurut hasil studi lapangan pada 2010, gletser ini memiliki ketebalan 32 meter dan menyusut sebanyak tujuh meter per tahun.

"Gletser tropis kebanyakan lebih kecil dan reaksi mereka terhadap variasi perubahan iklim jauh lebih cepat ketimbang pada gletser yang lebih besar," kata Glasiologis Indonesia, Donaldi Permana, anggota tim ilmuwan.

Sebelumnya ilmuwan memperkirakan gletser-gletser di Papua telah kehilangan sebanyak 85% luasnya sejak beberapa dekade terakhir. Adapun studi teranyar oleh National Academy of Science mencatat luas gletser yang dulu terhampar seluas 2.000 hektar menyusut menjadi kurang dari 100 hektar.

Para peneliti juga mencatat laju penurunan es yang meningkat menjadi lima kali lipat lebih cepat hanya dalam beberapa tahun terakhir.

"Situasinya sudah mencapai level yang mengkhawatirkan, karena pembentukan es tidak lagi terjadi, hanya penurunan gletser," kata Permana. "Gletser-gletser ini terancam punah dalam satu dekade atau bahkan lebih cepat," imbuhnya.

 

Hilangya Kepala Dewa

Puncak Jaya di Taman Nasional Lorentz
Puncak Jaya di Taman Nasional Lorentz. (Creative Commons)

Fenomena penyusutan gletser di Papua dipercepat oleh fenomena cuaca El Nino, yang membawa udara hangat dan memangkas curah hujan. "Mengurangi emisi gas rumah kaca dan menanam lebih banyak pohon mungkin bisa memperlambat laju penyusutan es di Papua," kata Permana.

"Tapi kami yakin akan sangat sulit untuk menyelamatkannya," dari kepunahan.

Selain dampak lingkungan, kepunahan gletser juga diratapi sejumlah suku Papua yang meyakini bentangan es tersebut sebagai lokasi sakral. "Pegunungan dan lembah-lembah adalah kaki dan tangan dewa mereka dan gletser adalah kepalanya," kata Lonnie Thompson. "Jadi kepala dewa mereka akan segera menghilang."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya