Liputan6.com, Bogota - Badan hak asasi manusia (HAM) PBB melaporkan jumlah aktivis hak asasi manusia dan tokoh masyarakat di Kolombia yang dibunuh berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Pihak PBB pun mendesak pemerintah "melakukan upaya keras" dalam mencegah serangan terhadap mereka yang membela hak-hak dasar manusia.Â
"Kami sangat terganggu dengan banyaknya pembela hak asasi manusia yang terbunuh di Kolombia selama 2019," kata juru bicara agensi Maria Hurtado, Selasa 14 Januari.
Advertisement
Baca Juga
Ada 107 aktivis yang terbunuh di Kolombia pada 2019, katanya, dengan 13 kasus lain yang sedang diselidiki sehingga totalnya menjadi 120.
Dilansir dari CNN, Rabu (15/1/2020), pada tahun sebelumnya, Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk hak asasi manusia mengkonfirmasi 115 pembunuhan aktivis HAM.
"Tren yang mengerikan ini tidak menunjukkan adanya penghentian pada tahun 2020, dengan setidaknya 10 pembela hak asasi manusia telah dilaporkan tewas selama 13 hari pertama bulan Januari," kata Hurtado pada konferensi di Jenewa, Swiss.
"Siklus setan dan endemis kekerasan serta impunitas harus dihentikan," katanya. "Para korban dan keluarga mereka memiliki hak atas keadilan, kebenaran."
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Gembong Narkoba
Satu-satunya kelompok yang paling ditargetkan, kata Hurtado, adalah pembela hak asasi manusia yang mengadvokasi atas nama kelompok berbasis masyarakat dan etnis, seperti masyarakat adat dan Afro-Kolombia.
Jumlah pembela HAM perempuan yang terbunuh meningkat "hampir 50 persen pada 2019 dibandingkan 2018," katanya.
Lebih dari separuh pembunuhan tercatat di empat provinsi - Antioquia, Arauca, Cauca dan Caquetá - tetapi pembunuhan terjadi di 25 dari 32 provinsi Kolombia, kata Hurtado.
"Mayoritas pembunuhan terjadi di daerah pedesaan yang secara resmi diduduki oleh Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (FARC), tempat kartel narkoba, gerombolan penjahat dan kelompok bersenjata yang baru dibentuk beroperasi," ungkap Hurtado.
Badan PBB meminta pihak berwenang untuk menyelidiki setiap kasus kekerasan dan menuntut mereka yang bertanggung jawab, "termasuk mereka yang membantu dan bersekongkol dengan serangan mematikan."Jawaban pemerintah harus multidimensi," tambah Hurtado.
Advertisement
Respons Pemerintah Kolombia
Pemerintah Kolombia di bawah pimpinan mantan Presiden Juan Manuel Santos menandatangani perjanjian damai yang didukung PBB dengan FARC pada 2016 setelah bertahun-tahun negosiasi dan setengah abad konflik.
Pemerintah Presiden Ivan Duque mendapat kecaman keras karena tidak berbuat cukup untuk mengatasi kekerasan dan mendukung pelaksanaan rencana perdamaian, seperti memastikan keamanan yang memadai di daerah pedesaan, rehabilitasi dan integrasi mantan anggota FARC yang tepat, menangani kemiskinan kronis dan menyediakan layanan dasar bagi penduduk.
Walaupun telah ada beberapa kemajuan, Hurtado mengatakan jumlah kematian menunjukkan bahwa masih banyak yang harus dilakukan.
"Kami menyerukan pihak berwenang untuk menggandakan upaya mereka untuk memastikan lingkungan yang bebas dan aman untuk keterlibatan sipil dan untuk meningkatkan kehadiran otoritas negara sipil di daerah pedesaan untuk menyediakan layanan dasar, seperti kesehatan dan pendidikan," katanya.