Facebook Hapus Akun Terkait Militer, PM Thailand Perintahkan Penyelidikan

PM Prayuth Chan-ocha menugaskan militer Thailand menyelidiki permasalahan ini.

oleh Liputan6.com diperbarui 05 Mar 2021, 09:03 WIB
Diterbitkan 05 Mar 2021, 09:03 WIB
PM Thailand Prayuth Chan-ocha
PM Thailand Prayuth Chan-ocha (AP)

Liputan6.com, Bangkok - Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha pada Kamis (4/3) mengatakan, ia telah menugaskan Angkatan Bersenjata Thailand untuk menyelidiki keputusan Facebook.

Dikutip dari laman VOA Indonesia, Jumat (5/3/2021) perusahaan milik Mark Zuckerberg tersebut telah menghapus 185 akun dan grup yang diduga terlibat dalam operasi mempengaruhi informasi di Thailand yang dijalankan oleh militer.

Keputusan itu diambil menyusul pengumuman Facebook sehari sebelumnya bahwa mereka telah menghapus 77 akun, 72 laman, 18 grup, dan 18 akun Instagram karena melanggar kebijakan yang menentang campur tangan pemerintah, yang didefinisikan sebagai perilaku tidak otentik dan terkoordinasi atas nama entitas pemerintah.

"Facebook mengambil tindakan seperti ini. Itu menimbulkan banyak penafsiran. Kita harus menemukan penjelasannya," kata Prayuth.

Sekitar 703.000 akun mengikuti satu atau lebih laman-laman tersebut, sekitar 100 ribu akun bergabung dengan setidaknya satu dari grup tersebut dan sekitar 2.500 orang mengikuti satu atau lebih akun Instagram tersebut, kata Facebook.

Facebook mengatakan jaringan akun tersebut berasal dari Thailand dan menarget khalayak domestik di provinsi-provinsi selatan negara itu, di mana militer menghadapi gerakan pemberontakan yang sudah berlangsung lama. Orang-orang di belakang jaringan itu menggunakan akun-akun asli dan palsu, mengunggah konten-konten mereka di beberapa laman agar terlihat lebih populer daripada yang sesungguhnya.

Mayoritas pengunggahan laman-laman itu tampaknya terjadi pada tahun 2020.

Laporan Facebook mengatakan jaringan tersebut mengunggah informasi -- terutama dalam bahasa Thailand -- tentang berita dan kejadian terkini, termasuk konten-konten yang mendukung militer Thailand dan kerajaan.

Informasi itu termasuk tuduhan-tuduhan kekerasan yang dilakukan kelompok-kelompok pemberontak di Thailand Selatan dan kritik-kritik terhadap gerakan separatis dan prokemerdekaan.

"Meskipun orang-orang di belakangnya berusaha menyembunyikan identitas dan koordinasi mereka, penyelidikan kami menemukan adanya keterkaitan dengan Komando Operasi Keamanan Internal militer Thailand,'' kata Facebook.

 

**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.

Saksikan Video Berikut Ini:

Kebebasan Berpendapat di Thailand

Ilustrasi bendera Thailand (AP/Sakchai Lalit)
Ilustrasi bendera Thailand (AP/Sakchai Lalit)

Pada hari Kamis (4/3), tiga aktivis termasuk Yingcheep Atchanont, Sarinee Achavanuntakul dan Winyu John Wongsurawat, mengajukan gugatan ke Pengadilan Administratif di Bangkok agar mengeluarkan perintah untuk menghentikan operasi informasi Angkatan Bersenjata Kerajaan Thailand.

Ketiganya mengatakan mereka menjadi sasaran dalam operasi-operasi semacam itu.

Mereka mengatakan mereka juga berencana untuk menghubungi Facebook dan Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berpendapat agar mereka menyelidiki operasi informasi militer terhadap warga sipil Thailand.

'Militer tidak memiliki wewenang untuk melakukan operasi informasi seperti itu," kata Yingcheep kepada wartawan. “Pemerintah harus melindungi orang-orang yang ingin mengutarakan pendapatnya, bukan membuat propaganda dan menyerang mereka yang berbeda pandangan."

Pada Oktober 2020, Twitter mengungkapkan telah menemukan jaringan 926 akun yang diduga terlibat dalam operasi informasi yang terkait dengan militer.

Twitter mengatakan bahwa akun-akun tersebut terlibat dalam usaha menyebarkan konten-konten yang mendukung militer Thailand yang prokerajaan dan propemerintah, dan juga menarget tokoh-tokoh oposisi politik terkemuka.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya