Liputan6.com, Jakarta- Presiden Amerika Serikat Joe Biden telah menghentikan serangan pesawat tak berawak atau drone di luar zona perang tempat pasukan AS beroperasi.
Dilansir AFP, Selasa (9/3/2021) juru bicara Pentagon John Kirby mengatakan bahwa setiap serangan pesawat tak berawak yang direncanakan terhadap kelompok-kelompok jihadis di luar Afghanistan, Suriah atau Irak harus dengan persetujuan Gedung Putih.
Kirby menggambarkan tindakan tersebut sebagai "pedoman sementara" yang dikeluarkan "untuk memastikan bahwa presiden memiliki visibilitas penuh atas tindakan signifikan yang diusulkan".
Advertisement
"Itu tidak dimaksudkan untuk menjadi permanen dan itu tidak berarti penghentian," katanya dalam konferensi pers.
"Kami jelas fokus pada ancaman terus-menerus dari organisasi ekstremis brutal. Dan kami jelas masih akan berkomitmen untuk bekerja dengan mitra internasional melawan ancaman tersebut," jelasnya.
The New York Times menyebut pedoman baru itu secara diam-diam diteruskan kepada komandan militer setelah Biden menjabat pada 20 Januari lalu, tetapi baru terungkap dalam beberapa hari terakhir.
**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.
Saksikan Video Berikut Ini:
Langkah yang Berbeda dari Pemerintahan Donald Trump
Diketahui bahwa kebijakan yang diambil Biden berbeda dengan pendahulunya Donald Trump, yang memberi kendali bebas kepada militer di negara-negara seperti Somalia.
Trump, sejak hari-hari pertamanya di Gedung Putih pada tahun 2016, telah mengembalikan kendali yang diberlakukan oleh pendahulunya Barack Obama pada operasi bersenjata melawan kelompok ekstremis jihadis, dengan mengatakan bahwa dia mempercayai para komandan di lapangan.
Serangan drone dengan cepat berlipat ganda setelah itu, menjadi satu-satunya bentuk operasi di beberapa negara di mana hanya segelintir pasukan khusus AS yang dikerahkan untuk mendukung pemerintah lokal.
Misalnya, seperti di Somalia, di mana AS telah memerangi kelompok Islam al-Shebab, atau di Libya, di mana mereka menargetkan Islamic State (IS).
Meskipun militer mengatakan serangannya sebagai "operasi bedah", LSM mengatakan serangan itu sering menyebabkan korban sipil, merusak keefektifan dalam memerangi ekstremisme.
Dalam laporan publik pertama tentang operasi militer AS di Somalia yang diterbitkan pada Februari 2021, penjabat inspektur jenderal Pentagon, Glenn Fine, menyampaikan bagian dari misi yang dinyatakan Africom adalah untuk memastikan bahwa pada tahun 2021, Shebab, Negara Islam di Somalia dan kelompok teroris lainnya cukup "terdegradasi sehingga tidak dapat menyebabkan kerugian yang signifikan bagi kepentingan AS".
Tetapi, Fine menulis, "meskipun serangan udara AS terus berlanjut di Somalia dan bantuan AS kepada pasukan mitra Afrika, Al-Shebab tampaknya menjadi ancaman yang berkembang yang bercita-cita untuk menyerang tanah air AS".
Sedikitnya 10 orang tewas pada 5 Maret ketika sebuah bom mobil meledak di luar sebuah restoran populer di Ibu Kota Somalia Mogadishu.
Serangan tersebut diklaim oleh Shebab.
Advertisement