Liputan6.com, Vatikan - Paus Fransiskus mengaku khawatir tentang perang nuklir karena semakin parahnya perang Rusia-Ukraina. Pontifex berkata situasi di Ukraina memicu kekhawatiran besar.
Perang di Ukraina dipicu Rusia yang melancarkan invasi pada Februari 2022. Baru-baru ini, Presiden Rusia Vladimir Putin juga resmi melakukan aneksasi kepada empat wilayah Ukraina pada 30 September 2022. Aneksasi itu mendapat kecaman luas dari dunia internasional, termasuk kritikan dari Indonesia.
Advertisement
Baca Juga
Pada ceramahnya di St. Peter's Square, Minggu (2/10), Paus Fransiskus mengecam buruknya situasi yang terjadi, meski ia tidak secara eksplisit menyebut Rusia.
"Saya sangat mengecam situasi buruk yang dibuat dalam beberapa hari terakhir dengan adanya aksi-aksi yang berlawanan dengan prinsip-prinsip hukum internasional," ujar Paus Fransiskus, dikutip AP News, Senin (3/10/2022).
Paus Fransiskus berkata eskalasi nuklir kembali meningkat, dan dikhawatirkan dampaknya akan mencapai level global.
"Apa yang harus dikatakan terhadap fakta bahwa umat manusia kembali dihadapkan dengan ancaman atom? Ini absurd," ujar Paus Fransiskus.
Lebih lanjut, Paus Fransiskus menyorot adanya "sungai dan air mata darah yang ditumpahkan" dalam beberapa bulan terakhir.
"Saya merasa sakit atas ribuan korban, terutama di antara anak-anak, dan banyaknya kehancuran yang membuat banyak orang dan keluarga kehilangan rumah dan mengancam luasnya wilayah-wilayah yang kedinginan dan kelaparan," lanjut Pontifex.
Pemimpin umat Katolik itu lantas meminta Presiden Rusia Vladimir Putin untuk menyetop kekerasan dan kematian yang terjadi. Ia pun meminta Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky untuk membuka pintu gencatan senjata.
Paus Fransiskus meminta syarat-syarat perdamaian terkait nyawa manusia, serta integritas wilayah, dan kedaulatan setiap negara.
"Semoga gencatan senjata dan syarat-syaratnya bisa dicari untuk memulai negosiasi yang bisa membawa ke solusi-solusi yang tidak dipaksa, tetapi disepakati," ujar Paus Fransiskus.
Kemlu RI Angkat Suara Soal Aneksasi Rusia di Ukraina
Kementerian Luar Negeri RI angkat bicara terkait aneksasi Rusia di wilayah Ukraina. Tindakan Rusia dianggap mempersulit proses perdamaian.
Rusia memang telah resmi mencaplok empat wilayah Ukraina, termasuk Luhansk (Lugansk). Presiden Vladimir Putin mengklaim rakyat yang memilih bergabung dengan Rusia.
"Di Republik Rakyat Donetsk, Republik Rakyat Lugansk, Wilayah Zaporozhye dan Wilayah Kherson telah diadakan referendum. Sudah dapat ditarik kesimpulan dan hasilnya telah diketahui. Orang-orang telah menentukan pilihan mereka, pilihan yang jelas," ujar Presiden Vladimir Putin dalam pidatonya, dikutip Senin (3/10).
Presiden Putin berkata daerah-daerah yang ia aneksasi akan menjadi warganya selamanya.
"Saya ingin otoritas Kiev dan majikan mereka yang sesungguhnya di Barat untuk mendengar saya, sehingga semua orang dapat mengingat apa yang saya akan sampaikan: para warga Lugansk dan Donetsk, Kherson dan Zaporozhye menjadi warga negara kita untuk selamanya," kata Presiden Putin.
Narasi dari Presiden Putin adalah referendum tersebut sesuai Piagam PBB, namun Kemlu RI berkata referendum Rusia telah melanggar Piagam PBB.
"Setiap negara harus menghormati kedaulatan dan integritas wilayah negara lain. Prinsip ini secara jelas tertera dan merupakan salah satu prinsip utama Piagam PBB. Indonesia secara konsisten menjunjung tinggi dan menghormati prinsip tersebut," ujar pihak Kemlu RI via Twitter.
"Prinsip ini juga berlaku terhadap referendum 4 wilayah Ukraina. Referendum tersebut melanggar prinsip piagam PBB dan hukum internasional. Referendum itu akan semakin menyulitkan penyelesaian konflik melalui perundingan dan akibatkan perang semakin berkepanjangan, yang akan merugikan semua pihak," jelas pihak Kemlu RI.
Advertisement
Rusia Dituduh Batasi Media dalam Memberitakan Perang di Ukraina
Sebelumnya dilaporkan, Kremlin “mengekang” media di dalam Rusia dalam meliput perang di Ukraina, kata analis media.
Moskow mengeluarkan arahan baru kepada media pada akhir September, menyusul pengumuman Rusia tentang mobilisasi militer parsial untuk mencoba meningkatkan pasukannya.
Berdasar peraturan baru, organisasi media hanya boleh menggunakan data dan informasi dari badan eksekutif federal dan regional kalau melaporkan upaya mobilisasi, demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia, Minggu (1/10).
Media yang melanggar akan diblokir atau didenda hingga $82.000, menurut regulator media Rusia, Roskomnadzor.
Sejak menginvasi Ukraina pada Februari, Rusia telah menerapkan rangkaian peraturan pada media, termasuk arahan untuk menyebut perang sebagai “operasi khusus.”
Dan ada undang-undang baru yang mengganjar penyebaran “berita bohong” tentang militer dengan hukuman penjara 15 tahun.
Sebagian organisasi berita berhenti beroperasi. Sebagian lain telah dicabut lisensinya, termasuk Novaya Gazeta, yang editornya, Dmitry Muratov, adalah peraih Nobel Perdamaian 2021.
Pihak berwenang pada 5 September mencabut izin terbit media berita independen Muratov.
Media lain, termasuk VOA dan BBC, mendapati akses ke konten mereka yang berbahasa Rusia diblokir.
Bank Dunia Beri Ukraina 530 Juta Dolar AS
Pada kabar lain, Bank Dunia telah mengatakan akan memberikan tambahan $ 530 juta dalam dukungan kepada Ukraina, sehingga total bantuan oleh bank menjadi $ 13 miliar, ketika invasi Rusia ke negara itu terus berlanjut.
Bantuan itu didukung oleh Inggris ($ 500 juta) dan Kerajaan Denmark ($ 30 juta), kata Bank Dunia dalam sebuah pernyataan, dikutip dari MSN News, Sabtu (1/10/2022).
Dari total bantuan $ 13 miliar ke Ukraina hingga saat ini, $ 11 miliar telah sepenuhnya dicairkan, tambah bank itu.
Analisis terbaru Bank Dunia menempatkan total biaya jangka panjang rekonstruksi dan pemulihan di Ukraina selama tiga tahun ke depan lebih dari $ 100 miliar, kata Arup Banerji, Direktur Negara Regional Bank Dunia untuk Eropa Timur.
Advertisement