Liputan6.com, Kyiv - Presiden Volodymyr Zelensky mengatakan, Rusia telah meluncurkan lebih dari 30 serangan drone ke Ukraina dalam dua hari.
Dia menambahkan bahwa secara total, Moskow juga telah melakukan sekitar 4.500 serangan rudal dan lebih dari 8.000 serangan udara.
Baca Juga
Berbicara dari Kyiv dan berdiri di samping benda yang tampak seperti drone Shahed Iran, Zelensky berjanji untuk membatasi kekuatan udara Moskow.
Advertisement
Para pejabat dari negara Barat percaya bahwa Iran telah memasok sejumlah besar drone ke Rusia, tetapi Moskow dan Teheran menyangkalnya.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menyebut penggunaan drone Rusia yang agresif "mengerikan", dikutip dari BBC, Jumat (28/10/2022).
Diplomat top AS itu menuduh komandan Rusia menggunakan perangkat untuk "membunuh warga sipil Ukraina dan menghancurkan infrastruktur seperti listrik, air dan lainnya," selama kunjungannya ke ibu kota Kanada, Ottawa.
"Kanada dan Amerika Serikat akan terus bekerja dengan sekutu dan mitra kami untuk mengekspos, menghalangi, dan melawan penyediaan senjata oleh Iran," kata Blinken.
Dalam beberapa pekan terakhir, serangan Rusia menargetkan infrastruktur sipil Ukraina, merusak pasokan listrik dan air negara itu saat suhu mulai turun.
Negara-negara Barat mengatakan, Iran memasok drone yang dikembangkan di dalam negeri ke Moskow dan bahwa para ahli militer Iran berada di Krimea yang diduduki Rusia untuk memberikan dukungan teknis kepada pilot.
Drone Untuk Serang Infrastruktur
Kyiv telah mengidentifikasi drone yang digunakan dalam beberapa serangan terhadap infrastrukturnya sebagai drone Iran Shahed-136.
Mereka dikenal sebagai pesawat tak berawak "kamikaze" -- pesawat tempur Jepang yang menerbangkan misi bunuh diri dalam Perang Dunia II.
Ukraina mengatakan, sekitar 400 drone telah digunakan oleh Rusia, dari total pesanan sekitar 2.000 senjata.
Tetapi Teheran telah berulang kali membantah bahwa mereka telah mencapai kesepakatan senjata dengan Kremlin, dan Moskow juga menyangkal menggunakan pesawat tak berawak Iran.
Pada Rabu, Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian menyebut tuduhan itu "tidak berdasar" dan mendesak Ukraina untuk "memberikan bukti yang mendukung tuduhan".
Advertisement
Vladimir Putin Bantah Pakai Senjata Nuklir di Ukraina
Presiden Rusia Vladimir Putin membantah ada niat untuk menggunakan senjata nuklir di Ukraina. Ia berkata hal itu tidak perlu.
"Kami tidak melihat keperluan untuk melakukan hal tersebut," ujar Putin seperti dilansir AP News, Jumat (28/10/2022).
"Tidak ada tujuan untuk hal itu, baik secara politik maupun militer," ucapnya.
Hal itu diungkap Presiden Vladimir Putin pada acara konferensi pakar luar negeri, Kamis (27/10). Ucapan Putin itu berbeda dari beberapa waktu lalu ketika ia mengaku siap menggunakan segala cara yang tersedia untuk melindungi Rusia.
Presiden AS Joe Biden mengecam ucapan tersebut karena "segala cara" dituding turut melibatkan senjata nuklir.
Kini, Presiden Putin berkata hal itu tidak dimaksudkan memakai nuklir, tetapi hanya merespons ucapan Barat terkait nuklir. Ia menyorot mantan Perdana Menteri Inggris Liz Truss yang mengaku siap menggunakan nuklir, sehingga pemerintah Rusia resah.
Vladimir Putin yang melancarkan invasi ke Ukraina pada 24 Februari menyebut Barat menggunakan metode "berbahaya, berdarah, dan kotor" untuk mendominasi.
Prajurit Wamil Rusia Mengeluh Kurang Peralatan dan Makanan
Sebelumnya dilaporkan, wajib militer (wamil) Rusia yang terburu-buru membuat prajurit kesulitan mendapatkan kebutuhan di lapangan. Video-video prajurit wamil beredar di media sosial yang mengeluhkan kurangnya peralatan dan kualitas hidup yang buruk.
Para prajurit yang direkrut pada mobilisasi parsial itu juga tak mendapatkan pelatihan mumpuni. Akibatnya, mereka dimajukan ke garis depan meski belum ada kesiapan.
Berdasarkan laporan AP News, Rabu (26/10), beredar video-video di media sosial Rusia yang menampilkan prajurit mengeluhkan akomodasi yang sempit dan kotor. Toilet dipenuhi sampah. Makanan dan obat juga kurang. Beberapa prajurit menunjukkan senjata-senjata yang usang.
"Kami tidak mencari-cari kalian. Kalian yang mencari-cari kami. Sekarang lihat ini. Berapa lama ini akan berlanjut?" ujar seorang prajurit yang marah pada sebuah video.
Presiden Rusia Vladimir Putin menerapkan mobilisasi tersebut untuk mencari 300 ribu pasukan cadangan. Yang dicari sebenarnya adalah yang punya pengalaman tempur.
Namun, aktivis dan kelompok HAM menyebut orang-orang yang tak punya pengalaman militer juga direkrut. Polisi juga dilaporkan mencari-cari calon prajurit di jalanan maupun hotel. Pengecekan kesehatan seringkali terlewatkan.
Aktivis juga berkata etnis minoritas banyak direkrut. Sebelumnya, ada video komunitas Muslim di Dagestan yang unjuk rasa menolak wamil.
Protes pun mencuat di berbagai daerah. Berpuluh-puluh ribu laki-laki Rusia memilih kabur ke negara tetangga untuk menghindari disuruh masuk militer untuk kemudian menyerang Ukraina.
Analis militer Pavel Luzin di Tufts University berkata kebijakan Presiden Putin ini tidak akan efisien serta hanya bisa memperlambat gerakan maju prajurit Ukraina.
Luzin berkata pemerintah Rusia hanya "memperlambat penderitaan."
"Tentaranya tidak siap untuk mobilisasi. Mereka tak pernah disiapkan untuk itu," ujarnya.
Hingga menjelang akhir Oktober 2022, Rusia telah merekrut 220 ribu orang.
Advertisement