Punya Twitter dan Menggunakan WhatsApp, Profesor di Arab Saudi Dituntut Hukuman Mati

Awad Al-Qarni dituntut hukuman mati atas sejumlah tuduhan kejahatan, termasuk memiliki akun Twitter dan menggunakan WhatsApp untuk berbagi berita yang dianggap "memusuhi" Kerajaan Arab Saudi.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 16 Jan 2023, 12:08 WIB
Diterbitkan 16 Jan 2023, 12:08 WIB
Ilustrasi media sosial
Ilustrasi media sosial. (Photo by Adem AY on Unsplash)

Liputan6.com, London - Profesor hukum pro-reformasi Arab Saudi, Awad Al-Qarni (65), dituntut hukuman mati atas sejumlah tuduhan kejahatan, termasuk memiliki akun Twitter dan menggunakan WhatsApp untuk berbagi berita yang dianggap "memusuhi" kerajaan.

Penangkapan Al-Qarni pada September 2017 merupakan awal dari tindakan keras terhadap perbedaan pendapat oleh Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS).

Rincian dakwaan yang diajukan terhadap Al-Qarni dibagikan kepada The Guardian oleh putranya Nasser, yang tahun lalu melarikan diri dari Arab Saudi dan tinggal di Inggris. Dia mengatakan sedang mencari perlindungan suaka.

Dalam rincian dakwaan itu, jaksa penuntut umum menyerukan hukuman mati, namun pengadilan belum membuat keputusan resmi. Demikian dikutip dari The Guardian, Senin (16/1/2023).

Arab Saudi menggambarkan Al-Qarni sebagai pengkhotbah yang berbahaya, tetapi sebagian besar justru menilai bahwa Al-Qarni adalah seorang intelektual yang penting dan dihormati dengan pengikut media sosial yang kuat, yakni sekitar dua juta pengikut Twitter.

Pembela hak asasi manusia dan pembangkang yang tinggal di pengasingan telah memperingatkan bahwa otoritas berwenang Arab Saudi terlibat dalam tindakan keras terhadap para pengkritik pemerintah.

Tahun lalu, Salma al-Shehab, seorang mahasiswa PhD Leeds dan ibu dua anak, menerima hukuman 34 tahun karena memiliki akun Twitter dan mengikuti serta me-retweet para pembangkang dan aktivis. Wanita lain, Noura al-Qahtani, dijatuhi hukuman 45 tahun penjara karena menggunakan Twitter.

Dokumen penuntutan yang dibagikan oleh Nasser Al-Qarni menunjukkan bahwa penggunaan media sosial dan komunikasi lainnya telah dikriminalisasi di Kerajaan Arab Saudi sejak awal pemerintahan MBS.

Arab Saudi Mencengkeram Platform Media Sosial

Ilustrasi berkomentar di media sosial. (Sumber: freepik)
Ilustrasi berkomentar di media sosial. (Sumber: freepik)

Pemerintah Arab Saudi dan investor yang dikendalikannya belum lama ini dikabarkan meningkatkan kepemilikan saham mereka di sejumlah platform media sosial, termasuk Twitter dan Facebook, serta perusahaan hiburan seperti Disney.

Pangeran Alwaleed bin Talal sendiri tercatat merupakan investor kedua terbesar di Twitter setelah Elon Musk. Alwaleed sempat ditahan selama 83 hari selama era yang disebut pemerintah Arab Saudi "pembersihan antikorupsi" tahun 2017.

Alwaleed kemudian mengakui bahwa dia dibebaskan setelah mencapai kesepakatan rahasia dengan Kerajaan Arab Saudi.

Sementara itu, secara terpisah, Dana Investasi Publik Arab Saudi juga meningkatkan kepemilikan sahamnya di Facebook dan Meta.

Kebebasan Berpendapat Dibungkam

Ilustrasi bendera Arab Saudi (AFP Photo)
Ilustrasi bendera Arab Saudi (AFP Photo)

Jeed Basyouni, kepala advokasi Timur Tengah dan Afrika Utara di Reprieve mengatakan bahwa kasus Al-Qarni cocok dengan tren yang diamati oleh kelompok HAM tersebut terhadap para cendekiawan dan akademisi, yang menghadapi hukuman mati karena mentwit dan mengekspresikan pandangan mereka.

Ditanya tentang investasi Arab Saudi di Facebook dan Twitter, Basyouni mengatakan, "Itu konsisten dengan bagaimana mereka beroperasi di bawah putra mahkota (MBS) ini."

Menurut Basyouni, Kerajaan Arab Saudi berusaha membangun citra internasional dengan berinvestasi dalam bidang teknologi, infrastruktur modern, olahraga, dan hiburan.

"Tetapi pada saat yang sama, itu sepenuhnya tidak dapat didamaikan dengan semua kasus yang kami lihat, di mana kami berbicara tentang jaksa penuntut umum – di bawah bimbingan Mohammed bin Salman – menyerukan agar orang dibunuh karena pendapat mereka. Padahal mereka tidak berbahaya, mereka tidak menyerukan penggulingan rezim," katanya.

Profesor Divonis Mati, Buronan Dibiarkan

Ilustrasi bendera Arab Saudi (AFP Photo)
Ilustrasi bendera Arab Saudi (AFP Photo)

Di Amerika Serikat, perusahaan-perusahaan yang memiliki investasi Arab Saudi belum menjawab pertanyaan publik tentang perlakuan Riyadh terhadap perbedaan pendapat atau pemenjaraan penggunanya. Arab Saudi juga tidak tunduk pada seruan dari pemerintahan Joe Biden untuk memperbaiki catatan hak asasi manusianya.

"Sangat mengerikan bahwa seorang profesor hukum terkemuka menghadapi hukuman mati karena menggunakan Twitter sementara seorang buronan FBI, yang dicari karena menyusup ke markas Twitter, menerima undangan VIP yang disponsori Netflix untuk menghadiri acara pemerintah Arab Saudi," kata Khalid Aljabri, yang tinggal di pengasingan, sementara ayahnya beserta saudara laki-laki dan perempuannya ditahan di Arab Saudi.

Yang dimaksud buronan oleh Aljabri adalah Ahmed Almutairi, seorang warga Arab Saudi yang menyusup ke Twitter atas nama pemerintah Arab Saudi dan mencuri data rahasia pengguna.

Infografis Perempuan Arab Saudi Bebas dari Belenggu
Infografis Perempuan Arab Saudi Bebas dari Belenggu (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya