Liputan6.com, Blantyre - Malawi dilaporkan tengah berjuang menghadapi wabah kudis. Terjadi peningkatan kasus penyakit kulit menular itu, yang oleh para ahli disebabkan oleh wabah terkait dengan krisis iklim di Malawi.
Peningkatan kasus kudis ini terjadi beberapa bulan setelah wabah kolera menewaskan lebih dari 1.800 orang dan berdampak hampir 59.000 orang pada bulan Agustus.
Melansir dari The Guardian, Minggu (5/11/2023), kudis dilaporkan kembali muncul di Kota Mzuzu di bagian utara dan Distrik Nsanje di bagian selatan. Dalam seminggu terakhir, terdapat 4.152 kasus yang tercatat.
Advertisement
Kudis adalah penyakit mudah menular yang disebabkan oleh tungau kecil yang masuk ke dalam kulit, menyebabkan iritasi dan ketidaknyamanan yang parah. Penyakit ini dapat menyebar melalui kontak langsung antar-kulit.
George Mbotwa, juru bicara rumah sakit di Distrik Nsanje, menyampaikan bahwa rumah sakit sedang menghadapi kesulitan dalam menangani lonjakan kasus kudis, "Kami mencatat 4.000 kasus di seluruh Distrik Nsanje dan masih terus melakukan skrining. Tantangannya adalah ketersediaan obat yang terbatas untuk mengobati penyakit ini. Kami berharap pada kerja sama dengan organisasi lain untuk membantu kami memberikan perawatan kepada pasien."
"Kami melakukan upaya besar untuk meningkatkan kesadaran masyarakat karena penyakit ini terkait dengan kebersihan, dan masalah kebersihan juga dapat menyebabkan kolera," ucapnya.
"Kami mengajak organisasi dan mitra lain untuk bergabung membantu kami."
Mbotwa menyebutkan bahwa dari 1.600 dari 4.000 kasus adalah anak usia sekolah.
Upaya Mencegah Penyebaran Kudis di Mzuzu
Di Mzuzu, Lovemore Kawayi selaku juru bicara Kantor Kesehatan Distrik Mzimba Utara, mengungkapkan bahwa mereka telah mencatat sekitar 152 kasus, dan upaya untuk meningkatkan kesadaran telah dilaksanakan untuk mengendalikan penyebaran penyakit ini.
Para ahli kesehatan berpendapat bahwa wabah ini bisa terkait dengan krisis iklim karena kondisi saat ini di Malawi, seperti gelombang panas, tingkat kelembapan yang tinggi, dan kekurangan air, membuat masyarakat lebih rentan terhadap penyebaran penyakit.
Maziko Matemba, seorang ahli kesehatan masyarakat, menyatakan bahwa Malawi perlu mengambil tindakan lebih lanjut untuk mengatasi dampak krisis iklim pada kesehatan.
"Melihat kasus penyakit kudis di Kota Mzuzu dan Distrik Nsanje, saya percaya hal itu mungkin terkait dengan perubahan iklim."
"Perubahan iklim dan kesehatan sangat penting bagi Malawi dan kita perlu berbuat lebih banyak dalam negosiasi perubahan iklim. Kita perlu melihat dampaknya terhadap kesehatan masyarakat untuk memastikan kita berusaha sebaik mungkin untuk menghindari kondisi ini," ujar Matemba.
Advertisement
Penderitaan Negara Berkembang dan Kepulauan Kecil dalam Menghadapi Krisis Iklim
WaterAid Malawi mengungkapkan bahwa satu dari tiga orang di Malawi, sekitar 5,6 juta orang, tidak memiliki akses ke sumber air bersih. Mereka juga menyebutkan bahwa sekitar 3.100 anak balita meninggal setiap tahun akibat diare yang disebabkan oleh sanitasi yang kurang memadai.
Berdasarkan laporan keenam dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), risiko perubahan iklim muncul lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya, dan sekitar 3,6 miliar orang tinggal di wilayah yang sudah sangat terpengaruh oleh dampak dari perubahan iklim.
Meskipun berkontribusi emisi gas rumah kaca yang sedikit dalam skala global, negara-negara dengan pendapatan rendah dan kepulauan kecil yang sedang berkembang mengalami dampak kesehatan yang paling serius.
Di wilayah-wilayah yang rentan, tingkat kematian akibat peristiwa cuaca ekstrem dalam satu dekade terakhir mencapai 15 kali lebih tinggi dibanding wilayah yang kurang rentan.
Perubahan Iklim Ancam Kehidupan Penderita Albinisme di Malawi, Tingkatkan Risiko Terkena Kanker Kulit
Sebelumnya, kanker kulit membunuh banyak penderita albinisme di Malawi. Ilmuwan iklim menilai perubahan iklim memainkan peran yang semakin besar dalam fenomena tersebut.
Statistik resmi mencatat bahwa 50 orang meninggal akibat kanker kulit sejak tahun 2020. Namun, Presiden Asosiasi Orang Albinisme di Malawi (Apam) Young Muhamba meyakini bahwa angka kematian jauh lebih tinggi dibanding yang dilaporkan karena sebagian besar kematian terkait kanker tidak dicatat oleh pemerintah.
Sensus tahun 2018 menemukan lebih dari 134 ribu dari 20 juta penduduk Malawi menderita albinisme atau jumlahnya kira-kira satu dari setiap 150 orang. Albinisme adalah kelainan bawaan lahir yang menyebabkan kurangnya atau bahkan tidak adanya pigmen, sehingga warna kulit, rambut, dan mata pucat serta berbeda dibandingkan ras asalnya.
Kurangnya akses ke tabir surya, skrining, dan pengobatan, menurut Muhamba, telah menciptakan tragedi yang sebenarnya dapat dicegah.
"Kenyataannya adalah anggota kami banyak yang meninggal di rumah akibat kanker karena mereka tidak punya akses pengobatan. Tidak ada rumah sakit kanker di Malawi," ujar Muhamba seperti dilansir The National.
"Korban tidak memiliki akses layanan pemeriksaan dini kanker dan biasanya mereka pergi ke rumah sakit ketika kondisinya sudah mencapai stadium lanjut dan hanya disuruh menunggu ajalnya di rumah."
Penelitian Apam mendapati bahwa hampir 70 persen penderita albinisme di Malawi tidak akan hidup lebih dari 30 tahun karena kanker. Adapun data Bank Dunia menyebutkan bahwa harapan hidup rata-rata di Malawi adalah 65 tahun.
Delapan puluh lima persen penderita albinisme yang tinggal di daerah pedesaan di Malawi disebut lebih berisiko terkena kanker kulit karena terpapar panas ekstrem dan sinar Matahari langsung akibat penggundulan hutan besar-besaran.
"Sebagian besar anggota kami di daerah pedesaan tidak memiliki akses ke tabir surya untuk melindungi mereka dari paparan sinar Matahari langsung yang terkait dengan perubahan iklim," ungkap Muhamba.
Selain itu, kerentanan ekonomi memaksa mereka melakukan pekerjaan di bawah sinar Matahari, meningkatkan risiko terkena kanker.
Stanzio Joseph, seorang pasien kanker usia 24 tahun dari daerah terpencil di Distrik Ntcheu menuturkan bahwa dia baru saja dipulangkan karena pihak rumah sakit umum tidak dapat menangani kasusnya.
"Saya tinggal menunggu waktu," ujarnya. "Dokter bilang bahwa tidak ada perawatan lain yang dapat dilakukan di Malawi kecuali saya pergi ke India, di mana itu tidak mungkin dilakukan orang miskin seperti saya."
Advertisement