Liputan6.com, Gaza - Nisreen, seorang ibu Palestina dengan enam anak, harus meninggalkan rumahnya di Khan Younis, Jalur Gaza Selatan, pada 13 Desember 2023, ketika invasi darat Israel ke kota tersebut semakin intensif.
Sejak saat itu, dia mencari perlindungan di sekolah PBB terdekat dan kemudian ke tenda darurat, yang tidak memiliki akses terhadap air minum atau air bersih.
Baca Juga
"Saya harus mencukur rambut saya karena tidak ada air untuk mencucinya," kata perempuan usia 49 tahun itu kepada Middle East Eye dari tendanya di daerah al-Mawasi, seperti dilansir Rabu (7/2/2024).
Advertisement
"Saya juga melakukan hal yang sama kepada putri saya yang berusia 16 tahun dan putra saya yang berusia 12 tahun untuk melindungi mereka dari penyakit kulit kepala karena teman mereka kena kurap kulit kepala."
Dia menambahkan, "Mencukur rambut adalah keputusan yang menyakitkan bagi wanita mana pun, tapi kami terpaksa melakukannya."
Pengeboman membabi buta Israel di Jalur Gaza, yang kini memasuki bulan kelima, telah menewaskan sedikitnya 27.500 orang dan membuat lebih dari 1,9 juta warga Palestina mengungsi. Kondisi tersebut sontak menjadikan mereka secara kolektif tidak memiliki akses terhadap air bersih dan fasilitas kebersihan penting lainnya.
Bahkan sebelum perang terbaru Hamas Vs Israel pecah pada 7 Oktober, lebih dari 96 persen pasokan air di Jalur Gaza dianggap tidak layak dikonsumsi manusia akibat blokade Israel terhadap wilayah kantong itu sejak tahun 2007.
Situasinya diperparah setelah keputusan pemerintah Israel memutus pasokan air ke Jalur Gaza atas perintah Menteri Energi Israel Katz pada 9 Oktober. Citra satelit dari Planet Labs PBC menunjukkan militer Israel menyita sebagian besar pabrik desalinasi air di Gaza Utara pada 30 Oktober dan di bagian selatan Kota Gaza pada 1 November.
"Kami tidak memiliki air mengalir yang penting untuk membersihkan, mandi, dan mencuci pakaian," tutur Nisreen.
"Saya biasanya menghabiskan tiga atau empat jam dalam antrean, menunggu untuk mengisi satu galon air dari sumur di rumah tetangga kami untuk berbagai keperluan," ujarnya, menggambarkan kehidupannya sebelum perang Hamas Vs Israel.
Di sekolah PBB Syekh Jaber, tempat dia berlindung sebelum pindah ke tendanya saat ini, situasinya sangat memprihatinkan.
"Kami mengantre berjam-jam untuk menggunakan toilet," ungkap Nisreen. "Namun, kami tidak mempunyai cukup air untuk mandi dan tidak ada sampo."
Nisreen terpaksa meninggalkan sekolah itu setelah tank Israel mendekat dan menjatuhkan selebaran, menyuruh para pengungsi untuk segera pergi.
Sekarang, ketika dia mendapatkan air, Nisreen mengatakan dia menggunakannya untuk memasak atau minum.
"Minum dan bertahan hidup tentu saja merupakan prioritas yang lebih tinggi dibandingkan cuci rambut," ujarnya.
"Sedangkan air yang tersedia untuk mencuci dan mandi hanya air laut."
Kekurangan Obat-obatan Memperburuk Situasi
Zainab al-Shawwaf, seorang dokter umum yang tinggal di Rafah, mengklarifikasi kurangnya perawatan dan cuci rambut dapat menimbulkan kondisi seperti alopecia, kurap kulit kepala, dan infeksi bakteri, yang pada akhirnya menyebabkan perkembangan abses di kulit kepala.
"Penyakit-penyakit ini berasal dari praktik kebersihan dan perawatan rambut yang tidak memadai, kekurangan nutrisi penting seperti asam folat dan kortison, serta penurunan kesehatan psikologis dan mental orang-orang yang terkena dampaknya," terang Zainab. "Penyakit-penyakit ini menyebabkan gatal-gatal, limfopati, dan menciptakan lingkungan lembab yang kondusif bagi pertumbuhan bakteri, sehingga menimbulkan nanah di kulit kepala dan kerontokan rambut lebih lanjut."
Zainab menyoroti pula persoalan krusial lainnya di Jalur Gaza, yaitu kekurangan obat-obatan.
"Kami hanya memiliki obat antibakteri spektrum luas yang tersedia untuk berbagai penyakit. Misalnya, kami tidak memiliki obat untuk mengobati kutu yang menyebar pada anak-anak," jelasnya.
Advertisement
Air Sebagai Senjata Perang
Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memperingatkan risiko penyebaran penyakit menular di Jalur Gaza akibat konsumsi air yang terkontaminasi, kepadatan yang berlebihan di tempat penampungan pengungsi, dan runtuhnya sistem kesehatan secara keseluruhan.
"Keputusan Israel menghentikan pasokan bahan bakar ke Jalur Gaza menyebabkan ditutupnya pabrik desalinasi serta mengganggu semua pengumpulan limbah padat, menciptakan lingkungan yang subur bagi serangga dan hewan pengerat yang dapat menularkan penyakit," kata WHO.
Juru bicara Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) Juliette Touma memperingatkan bahwa air telah digunakan sebagai senjata perang.
"Banyak orang beralih ke sumber air yang tidak aman ... Air bersih di Gaza tidak tersedia atau tersedia dalam jumlah yang sangat, sangat sedikit."