PM Benjamin Netanyahu Tak Mau Bayar Pembebasan Sandera Israel yang Ditawan Hamas, Berapa pun Harganya

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich mengatakan pada hari Selasa 20 Februari 2024 bahwa Israel tidak akan membayar harga berapa pun untuk kembalinya sandera yang masih ditahan di Gaza.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 21 Feb 2024, 13:03 WIB
Diterbitkan 21 Feb 2024, 13:03 WIB
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. (Dok. AFP)

Liputan6.com, Tel Aviv - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich mengatakan pada hari Selasa 20 Februari 2024 bahwa Israel tidak akan membayar harga berapa pun untuk kembalinya sandera yang masih ditahan di Gaza, di tengah negosiasi yang sedang berlangsung untuk menjamin pembebasan mereka.

Ketika ditanya tentang 134 sandera yang masih berada di Gaza, Smotrich mengatakan kepada Kan Radio bahwa kepulangan mereka "sangat penting" namun mereka tidak dapat dibebaskan "dengan cara apa pun."

Smotrich menuturkan cara untuk membebaskan mereka adalah dengan meningkatkan tekanan militer terhadap Gaza dan mengalahkan Hamas, kelompok bersenjata yang menguasai jalur yang diblokade tersebut.

Pernyataan Smotrich mendapat kecaman dari pemimpin oposisi Yair Lapid dan menteri Benny Gantz, serta membuat marah beberapa keluarga sandera yang berusaha meningkatkan tekanan pada pemerintah untuk mencapai kesepakatan. Namun tak lama setelah wawancara radio, kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menerbitkan pernyataan yang menggemakan posisi Smotrich.

"Ada banyak tekanan terhadap Israel dari dalam dan luar negeri untuk menghentikan perang sebelum kita mencapai semua tujuan kita, termasuk kesepakatan untuk membebaskan sandera dengan cara apa pun," kata PM Benjamin Netanyahu seperti dikutip dari Al Arabiya, Rabu (21/2/2024).

"Kami tidak bersedia membayar harga apa pun, tentu saja bukan biaya khayalan yang diminta Hamas dari kami, yang berarti kekalahan bagi negara Israel."

Pernyataan itu muncul ketika Amerika berencana mengirim utusannya untuk Timur Tengah ke wilayah tersebut untuk melanjutkan pembicaraan antara Amerika, Mesir, Israel dan Qatar yang berupaya menjadi perantara gencatan senjata dan pembebasan sandera.

253 Orang Diculik Hamas pada 7 Oktober 2023

Benjamin Netanyahu
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. (Dok. AFP)

Israel mengatakan 1.200 orang tewas dan 253 lainnya diculik di Gaza selama serangan yang dipimpin Hamas pada 7 Oktober di kota-kota tersebut. Sejak itu, serangan udara, darat dan laut Israel telah menewaskan hampir 29.000 warga Palestina dan ribuan lainnya terjebak di bawah reruntuhan, menurut pihak berwenang Palestina, dan menjadikan sebagian besar wilayah kantong yang diblokade itu menjadi terlantar.

Pembebasan sandera yang paling signifikan sejauh ini terjadi pada satu-satunya jeda negosiasi perang selama seminggu pada November 2023, ketika Hamas membebaskan 110 warga Israel dan orang asing yang mereka tangkap.​

Israel Klaim Tangkap Ratusan Anggota Hamas di Rumah Sakit Nasser

Potret Kehidupan Pengungsi Palestina
Kondisi serba kekurangan dialami oleh para pengungsi di sekitar Rumah Sakit Nasser, di Khan Yunis, Jalur Gaza selatan pada 14 November 2023. (Mahmud HAMS/AFP)

Sementara itu, sebelumnya Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengaku pada Senin (19/2/2024), mereka menangkap ratusan anggota Hamas yang bersembunyi di Rumah Sakit Nasser, termasuk beberapa di antaranya yang mereka sebut menyamar sebagai staf medis.

"Sebagai bagian dari aktivitas IDF di rumah sakit, kotak-kotak obat ditemukan dengan nama sandera Israel di dalamnya. Paket obat-obatan yang ditemukan masih disegel dan belum diserahkan kepada para sandera," ujar IDF, seperti dilansir CNN, Selasa (20/2).

IDF mengklaim bahwa beberapa orang yang mereka tangkap berpartisipasi dalam serangan 7 Oktober 2023 terhadap Israel. Militer Israel tidak mengatakan ke mana para tersangka dipindahkan, melainkan hanya mengonfirmasi bahwa mereka telah dipindahkan untuk menjalani penyelidikan lebih lanjut.

Otoritas kesehatan Jalur Gaza membantah klaim IDF, menyebutnya tidak benar. Mereka menegaskan, "Rumah sakit menyediakan layanan kepada warga sipil di Jalur Gaza."

Sementara itu, saksi mata juga menuturkan kepada CNN, pasukan Israel memaksa para dokter dan staf medis lainnya keluar Rumah Sakit Nasser membuka pakaian mereka dan membiarkan mereka menunggu berjam-jam dalam cuaca dingin sebelum lima dokter diizinkan kembali ke gedung untuk merawat pasien.

Saksi mata berbicara kepada CNN melalui telepon. Sumber tersebut mengatakan ketika IDF mengambil alih Rumah Sakit Nasser pekan lalu, mereka menyiarkan pesan yang berbunyi, "Dokter, keluarlah."

Saat petugas medis keluar dan disuruh melepas pakaian, mereka protes karena kondisi yang sangat dingin.

"Buka pakaian Anda," sebut saksi mengutip perintah tentara Israel seperti dilansir CNN, Selasa (20/2).

Para dokter kemudian menanggalkan pakaian mereka dalam cuaca dingin dan dibiarkan di luar selama beberapa jam sebelum pasukan Israel memilih lima dokter untuk kembali merawat pasien. Saksi mata tidak mengetahui apa yang terjadi pada dokter lainnya.

Tinggal lima dokter yang merawat puluhan pasien di gedung tua kompleks tersebut, kata seorang saksi mata, yang berada di dalam rumah sakit dan meminta untuk tidak disebutkan namanya.

Israel Akan Batasi Akses Masuk Warga Palestina ke Masjid Al Aqsa Selama Bulan Ramadan

Masjid Al-Aqsa
Seorang tentara Israel berjaga di sepanjang jalan Ras al-Amud di Yerusalem timur pada 26 Januari 2024, karena pembatasan usia diberlakukan untuk mengakses kompleks Masjid Al-Aqsa, di tengah pertempuran yang sedang berlangsung antara Israel dan Hamas. (MARCO LONGARI/AFP)

Selain itu, sebelulumnya Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu akan memberlakukan pembatasan akses ke Masjid Al Aqsa di Yerusalem Timur selama bulan suci Ramadan.

PM Netanyahu menyebut alasan utama pemberlakukan aturan tersebut lantaran masalah keamanan, dikutip dari laman Al Jazeera, Selasa (20/2/2024).

Pembatasan akses ke Al Aqsa telah lama menimbulkan gesekan, terutama menjelang hari raya keagamaan seperti Ramadan yang akan dimulai sekitar tanggal 10 Maret tahun ini.

Ketika ditanya tentang kemungkinan pemblokiran akses bagi beberapa jamaah selama bulan suci Ramadan, kantor Netanyahu mengatakan: “Perdana menteri membuat keputusan itu demi alasan keamanan, yang juga dibuat berdasarkan pertimbangan para profesional.”

Selanjutnya, kantor PM Israel tidak memberikan rincian lebih lanjut.

Hamas, kelompok Palestina yang menguasai Jalur Gaza, mengecam rencana pembatasan tersebut dan mendesak warga Palestina untuk melakukan perlawanan terkait aturan pembatasan tersebut.

Hamas meminta warga Palestina di Yerusalem dan Tepi Barat untuk menolak keputusan tersebut dan melawan arogansi serta masalah pendudukan Israel.

Israel kerap menetapkan aturan untuk membatasi jumlah jamaah di situs tersebut, dengan alasan alasan keamanan.

Pasukan Israel sebelumnya juga melakukan serangan dan kekerasan di lokasi tersebut selama bulan Ramadan.

Pengumuman ini muncul ketika Israel memperingatkan bahwa mereka akan melanjutkan serangannya ke Gaza selama Ramadan, termasuk di daerah Rafah.

“Dunia harus tahu dan para pemimpin Hamas harus tahu: Jika pada bulan Ramadan para sandera tidak ada di rumah, pertempuran akan berlanjut di mana-mana termasuk wilayah Rafah,” kata anggota kabinet perang Benny Gantz.

“Kami akan melakukannya secara terkoordinasi, memfasilitasi evakuasi warga sipil melalui dialog dengan Amerika Serikat dan Mesir serta meminimalkan korban sipil sebanyak mungkin.”

“Hamas punya pilihan. Mereka bisa menyerah, melepaskan sandera dan warga sipil Gaza agar bisa merayakan Ramadan,” ujarnya.

Infografis Keprihatinan Serangan Militer Israel di Gaza Selatan
Infografis Keprihatinan Serangan Militer Israel di Gaza Selatan (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya