Liputan6.com, Jakarta - Melindungi ekosistem di Laut China Selatan dinilai sama pentingnya dengan melindungi hak asasi manusia. Demikian seperti diungkapkan oleh Senior Advisor on Maritime Security dari Non-Profit Organization Indonesia Ocean Justice Initiative, Andreas Aditya Salim.
"Melindungi ekosistem dan iklim laut menurut saya sama pentingnya dengan melindungi hak asasi manusia. Jika dunia saat ini memperjuangkan isu di Gaza Palestina, isu di Ukraina, maka perjuangan untuk isu lingkungan juga sama pentingnya," kata Andreas dalam diskusi "Deep Blue Scars Environmental Threats to the South China Sea" di Jakarta, Jumat (15/3/2024).
Baca Juga
Hal tersebut diungkapkannya setelah sebuah penelitian dengan judul yang sama, mengungkapkan bahwa ulah tak bertanggung jawab oleh sejumlah negara di sekitar Laut China Selatan, terutama China dan Vietnam, mengakibatkan ekosistem di perairan tersebut semakin rusak.
Advertisement
Harrison Pretat, salah satu penulis dalam studi tersebut, mengungkapkan bahwa ada tiga tindakan yang menyebabkan kerusakan masif di perairan Laut China Selatan.
Pertama adalah pengerukan atau dredging, di mana China dilaporkan melakukannya sejak tahun 2013 hingga 2017.
"Mereka menggunakan metode yang disebut pengerukan hisap pemotong. Hal ini melibatkan bentangan yang mengiris dan memotong terumbu karang, dan kemudian menggunakan sedimen yang ditemukan setelah menggunakan pipa terapung untuk dipindahkan ke pasir dan sedimen yang diekstraksi ke bagian lain dari terumbu untuk membangun pulau-pulau mereka," ujar Pretat, wakil direktur dan rekan Inisiatif Transparansi Maritim Asia di Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS).
Upaya tersebut, kata Pretat, tidak sekadar merusak terumbu karang namun juga menyebabkan awan putih sedimen abrasif mengalir ke bagian lain dari lautan.
Tindakan lain yang juga mengakibatkan kerusakan ekosistem di perairan tersebut adalah giant clam harvesting atau mengumpulkan kerang untuk dijual.
Pemanenan kerang ini menjadi semakin populer di kalangan pelaut China sejak tahun 2012, padahal populasinya kini sudah semakin langka. Hasilnya kemudian dimanfaatkan untuk diolah menjadi hiasan, patung maupun perhiasan yang dijual di pasar gelap.
"Selain populasinya yang semakin langka, cara para nelayan mengambil kerang ini menyebabkan kerusakan dan munculnya jaringan parut. Padahal, diperlukan waktu berpuluh-puluh tahun untuk memulihkan diri dari kerusakan semacam ini," tambah Monica Sato, penulis studi lainnya.
Selain dari China, nelayan Filipina dan Vietnam juga memanen jenis kerang raksasa itu.
Terakhir, pemancingan dengan metode yang mengakibatkan kerusakan.
Jumlah nelayan China terpantau semakin meningkat sejak tahun 1980-an, ketika pemerintahnya mulai memberikan subsidi sebagai bagian dari dukungan dan klaim atas wilayah tersebut.
Adapun seluruh tindakan pengerusakan tersebut secara garis besar telah menyebabkan jumlah ikan di perairan Laut China Selatan menurun drastis.
Tak Ada Kerangka Aturan yang Kuat
Dengan sederet masalah kerusakan lingkungan di perairan Laut China Selatan, Andreas menyebut tidak ada kerangka aturan kuat yang menjadi payung hukum.
Beberapa di antaranya seperti ASEAN Code of Conduct (CoC), Regional Fisheries Management Organisations (RFMO) hingga Asean Centre for Biodiversity, hampir semuanya tidak bisa memberikan pelindungan hukum yang kuat bagi masalah tersebut.
"Setidaknya ada tiga organisasi pengelolaan perikanan regional. Satu RFMO, yang mempunyai kewenangan pengelolaan, namun dua hanya berperan sebagai penasehat dan pemberi saran," kata dia.
Advertisement
Tanggung Jawab Siapa?
Lebih lanjut, Andreas menyebut bahwa pada akhirnya, penyelesaian masalah ini harus menjadi tanggung jawab bersama yang membutuhkan upaya kolektif.
"Jika semuanya merujuk pada China, tentu ada peran ASEAN yang diperlukan. Namun ini harus dilakukan secara bersama-sama karena tidak mungkin misal Indonesia mau melakukannya sendiri," jelas dia.
Elemen Penting di Laut China Selatan
Dikutip dari laman resmi CSIS, berikut adalah sejumlah ekosistem yang penting di Laut China Selatan:
- Terumbu Karang
Terumbu karang, ekosistem penting di Laut China Selatan, mendukung 25 persen kehidupan laut global dan menyediakan makanan serta tempat berlindung bagi ribuan spesies. Namun, mereka juga salah satu yang paling terancam di kawasan ini karena penurunan tutupan karang sebesar 16 persen per-dekade.
- Ikan
Sekitar 22 persen spesies ikan dunia ditemukan di Laut China Selatan, dengan terumbu karang yang menampung total 3.790 spesies ikan. Ikan pelagis seperti tuna, juga melintasi kawasan tersebut. Keanekaragaman ikan yang luar biasa di Laut China Selatan menjadikannya pusat penangkapan ikan komersial di kawasan Indo-Pasifik yang lebih luas. Wilayah ini termasuk salah satu dari lima wilayah penangkapan ikan terbesar di dunia.
- Bivalvia
Laut China Selatan adalah rumah bagi delapan dari sepuluh spesies kerang raksasa global, termasuk Tridacna gigas, yang penting bagi kesehatan ekosistem terumbu karang. Mereka menyediakan makanan, tempat tinggal, dan bertindak sebagai pembangun dan pembentuk, melawan eutrofikasi melalui penyaringan air.
- Hiu dan Mamalia
Laut China Selatan memiliki beragam spesies besar seperti hiu, pari, dan mamalia laut seperti lumba-lumba dan paus.
- Spesies Lain
Ini juga merupakan rumah bagi banyak sekali organisme lain yang hidup di air dan sepanjang dasar laut. Bahkan, spesies yang tidak memiliki nilai komersial pun memainkan peran ekologis yang penting dalam menjaga habitat laut yang memungkinkan semua spesies untuk berkembang.
- Manusia
Laut China Selatan merupakan sumber pangan dan mata pencaharian penting bagi negara-negara di sekitarnya, yang merupakan rumah bagi sekitar 1,87 miliar orang.
Advertisement