Liputan6.com, Tokyo - Lima orang dilaporkan meninggal dunia dalam periode sepekan sejak serangkaian produk suplemen kesehatan Jepang mulai ditarik kembali akibat efek negatif usai konsumsi. Sementara lebih dari 100 orang terdata dirawat di rumah sakit per Jumat (29/3/2024).
Laporan VOA Indonesia yang dikutip Sabtu (30/3/2024) menyebut bahwa Kobayashi Pharmaceutical Co. yang berbasis di Osaka mendapat kecaman karena tidak segera mengumumkan masalah yang diketahui secara internal pada awal Januari. Pengumuman publik pertama justru baru dilakukan pada 22 Maret.
Baca Juga
Pejabat perusahaan itu mengatakan 114 orang dirawat di rumah sakit setelah mengonsumsi produk, termasuk Benikoji Choleste Help yang dimaksudkan untuk menurunkan kolesterol, yang mengandung bahan yang disebut benikoji, sejenis jamur berwarna merah. Awal pekan ini, jumlah kematian dilaporkan bertambah dua orang.
Advertisement
Beberapa orang mengalami masalah ginjal setelah mengonsumsi suplemen itu, namun penyebab pastinya masih diselidiki, menurut produsennya, dengan melibatkan kerjasama laboratorium pemerintah.
"Kami meminta maaf sedalam-dalamnya," kata Akihiro Kobayashi, presiden Kobayashi Pharmaceutical Co. kepada wartawan pada hari Jumat (29/3) sambil membungkuk lama untuk menekankan permintaan maaf tersebut bersama tiga pejabat tinggi perusahaan lainnya.
Akihiro Kobayashi menyatakan penyesalannya kepada mereka yang meninggal dan sakit, serta kepada keluarga mereka. Ia juga meminta maaf atas masalah yang ditimbulkan pada seluruh industri makanan kesehatan dan profesi medis, seraya menambahkan bahwa perusahaannya berupaya segera mengatasi masalah ini.
Penarikan Ragam Produk Berbahan Benikoji
Adapun produk-produk perusahaan tersebut telah ditarik kembali, begitu pula puluhan produk lain yang mengandung benikoji, termasuk pasta miso, biskuit, dan saus cuka.
Kementerian Kesehatan Jepang kemudian memasang daftar di situs resminya berisi semua produk yang ditarik kembali, termasuk beberapa produk yang menggunakan benikoji untuk pewarna makanan.
Kementerian itu memperingatkan jumlah kematian bisa terus bertambah. Suplemen tersebut dapat dibeli di toko obat tanpa resep dokter, dan beberapa mungkin telah dibeli atau diekspor sebelum penarikan, termasuk oleh wisatawan yang mungkin tidak menyadari risiko kesehatannya.
Kobayashi Pharmaceutical telah menjual produk benikoji selama bertahun-tahun, dengan satu juta paket terjual selama tiga tahun fiskal terakhir, tetapi masalah muncul pada suplemen yang diproduksi pada tahun 2023.
Kobayashi Pharmaceutical mengatakan pihaknya memproduksi 18,5 ton benikoji tahun lalu.
Beberapa analis menyalahkan inisiatif deregulasi baru-baru ini, yang menyederhanakan dan mempercepat persetujuan produk kesehatan untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
Advertisement
WHO: 2 Obat Batuk Sirup Anak Buatan India Tidak Aman, Picu Cedera Serius hingga Kematian
Sebelumnya, kasus mengenai obat pernah terjadi di India. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan peringatan terhadap penggunaan dua obat batuk sirup anak buatan India, yakni Ambronol dan Dok-1 Max. Langkah ini diambil terkait sejumlah kematian yang terjadi di Uzbekistan.
Dilansir BBC, Kamis (12/1/2023), WHO mengatakan bahwa dua obat batuk sirup pabrikan Marion Biotech itu "di bawah standar" dan perusahaan gagal memberikan jaminan tentang keamanannya.
Peringatan WHO ini muncul beberapa pekan setelah Uzbekistan menuduh bahwa 18 anak meninggal pasca mengonsumsi obat batuk sirup buatan perusahaan tersebut.
Marion Biotech dan otoritas India belum berkomentar terkait isu ini.
Setelah kematian dilaporkan di Uzbekistan, Kementerian Kesehatan India menangguhkan produksi perusahaan tersebut.
Minggu ini, departemen keamanan pangan di negara bagian utara Uttar Pradesh - tempat Marion Biotech berkantor - juga menangguhkan izin produksi perusahaan.
Dalam peringatan yang dikeluarkan pada hari Kamis, WHO mengatakan bahwa analisis terhadap obat batuk sirup anak Ambronol dan Dok-1 Max oleh laboratorium kontrol kualitas Kementerian Kesehatan Uzbekistan menemukan jumlah dua kontaminan yang tidak dapat diterima, yakni diethylene glycol dan/atau ethylene glycol. Keduanya bisa berakibat fatal jika dikonsumsi.
"Kedua produk ini mungkin memiliki izin edar di negara lain di kawasan ini. Dan keduanya juga mungkin telah didistribusikan, melalui pasar informal, ke negara atau kawasan lain," kata WHO.
WHO menambahkan bahwa dua produk tersebut di bawah standar "tidak aman dan penggunaannya, terutama pada anak-anak, dapat mengakibatkan cedera serius atau kematian".