Liputan6.com, Beijing - Presiden Xi Jinping (70) dan Presiden Vladimir Putin (71) menjanjikan kemitraan era baru China dan Rusia, dua rival terkuat Amerika Serikat (AS), negara yang mereka anggap sebagai hegemon agresif Perang Dingin yang menaburkan kekacauan di seluruh dunia.
Xi Jinping menyambut Putin di karpet merah di luar Aula Besar Rakyat di Beijing pada Kamis (16/5/2024), di mana 21 tembakan penghormatan dilakukan dan anak-anak berbaris mengibarkan bendera China dan Rusia.
Baca Juga
Dalam tatap muka kemarin, mereka menandatangani pernyataan bersama tentang era baru, yang menyatakan penentangan terhadap AS dalam sejumlah isu keamanan dan pandangan bersama terkait beberapa hal mulai dari Taiwan, Ukraina, hingga Korea Utara dan kerja sama dalam teknologi nuklir baru yang damai serta keuangan.
Advertisement
"Hubungan China-Rusia saat ini diperoleh dengan susah payah dan kedua belah pihak perlu menghargai dan memeliharanya," ujar Xi Jinping kepada Putin, seperti dilansir CNA, Jumat (17/5).
"China bersedia ... bersama mencapai pembangunan dan peremajaan negara kita masing-masing, serta bekerja sama untuk menegakkan keadilan dan kelayakan di dunia."
Rusia yang melancarkan perang melawan Ukraina yang disuplai NATO dan China yang berada di bawah tekanan dari upaya bersama AS untuk melawan kekuatan militer dan ekonominya yang pesat, semakin menemukan tujuan geopolitik yang sama.
Xi Jinping dilaporkan mengatakan kepada Putin bahwa kedua negara memiliki peluang untuk mendorong perubahan yang belum pernah terjadi di dunia selama satu abad terakhir, yang oleh banyak analis dilihat sebagai upaya untuk menantang tatanan global yang dipimpin AS.
Bagaimanapun, China dan Rusia menghadapi tantangannya masing-masing, termasuk melambatnya perekonomian China serta semakin berani dan berkembangnya NATO setelah invasi Rusia ke Ukraina.
AS menganggap China sebagai pesaing terbesarnya dan Rusia sebagai ancaman negara terbesarnya dan pada saat bersamaan memandang Xi Jinping dan Putin sebagai penguasa otoriter yang telah meniadakan kebebasan berpendapat dan menerapkan kontrol ketat di dalam negeri terhadap media dan pengadilan.
Presiden AS Joe Biden menyebut Xi Jinping sebagai "diktator" dan melabeli Putin sebagai "pembunuh" dan bahkan "bajingan gila".
China dan Rusia sebelumnya telah mendeklarasikan kemitraan tanpa batas pada Februari 2022 ketika Putin mengunjungi Beijing hanya beberapa hari sebelum dia mengirim puluhan ribu pasukan ke Ukraina, memicu perang darat paling mematikan di Eropa sejak Perang Dunia II.
China dan Rusia: AS Harus Berubah
Kunjungan Putin terjadi beberapa pekan setelah lawatan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken ke Beijing untuk menyampaikan kekhawatiran tentang dukungan China terhadap militer Rusia.
Lawatan Blinken dinilai tidak banyak memengaruhi hubungan mendalam antara Xi dan Putin.
Dengan memilih China sebagai tujuan perjalanan luar negeri pertamanya sejak dilantik bulan ini untuk masa jabatan kelimanya, Putin disebut mengirimkan pesan kepada dunia tentang prioritasnya dan kekuatan hubungan pribadinya dengan Xi Jinping.
Pernyataan bersama Putin dan Xi Jinping digambarkan sebagai upaya memperdalam hubungan strategis dan menyinggung rencana meningkatkan hubungan militer dan bagaimana kerja sama sektor pertahanan antara kedua negara meningkatkan keamanan regional dan global. Mereka menjadikan AS sebagai sasaran kritik.
"AS masih berpikir dalam konteks Perang Dingin dan berpedoman pada logika konfrontasi blok, menempatkan keamanan 'kelompok kecil' di atas keamanan dan stabilitas regional, yang menciptakan ancaman keamanan bagi semua negara di kawasan," sebut pernyataan bersama Putin dan Xi Jinping. "AS harus meninggalkan perilaku ini."
Mereka juga mengecam inisiatif penyitaan aset dan properti negara-negara asing, sebuah rujukan yang jelas pada langkah-langkah Barat yang mengalihkan keuntungan dari aset-aset Rusia yang dibekukan atau aset-aset itu sendiri, untuk membantu Ukraina.
Merespons pernyataan Bersama Putin dan Xi Jinping, wakil juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Vedant Patel menegaskan kepada China, "Anda tidak bisa ingin memiliki hubungan yang baik, lebih jauh, lebih kuat, dan lebih mendalam dengan Eropa dan negara-negara lain sambil terus menambah ancaman terbesar terhadap keamanan Eropa dalam jangka waktu yang lama."
Dia menyebut bantuan China dalam membangun kembali basis industri pertahanan Rusia sangat problematik.
Advertisement
Soal Ukraina
Terkait Ukraina, Xi Jinping mengatakan kedua belah pihak sepakat bahwa penyelesaian politik terhadap perang Ukraina adalah arah yang benar. Pernyataan bersamanya dengan Putin menegaskan kedua negara menentang konflik yang berkepanjangan.
Sementara itu, Putin yang tiba pada hari Kamis untuk kunjungan dua hari, menuturkan dia berterima kasih kepada China karena telah mencoba menyelesaikan krisis Ukraina. Putin menambahkan bahwa dia akan memberi penerangan ringkas kepada Xi Jinping tentang situasi di medan perang, di mana pasukan Rusia mengalami kemajuan di beberapa front.
Menggambarkan pembicaraan awalnya dengan Xi Jinping sebagai sesuatu yang hangat dan bersahabat, Putin menguraikan sektor-sektor di mana kedua negara memperkuat hubungan, mulai dari kerja sama nuklir dan energi hingga pasokan makanan dan manufaktur mobil China di Rusia.
Dalam lawatannya ke Beijing, agenda Putin termasuk menghadiri perayaan 75 tahun pengakuan Uni Soviet terhadap Republik Rakyat China, yang dideklarasikan Mao Zedong pada tahun 1949.
Setelah Barat menjatuhkan sanksi paling berat dalam sejarah modern terhadap Rusia akibat perang Ukraina, Putin mempererat relasi dengan China.
China sejauh ini masih menjadi teman paling kuat bagi Rusia dan pembeli minyak mentah terbesarnya. Kedekatan tersebut telah memicu kekhawatiran sebagian elite Rusia bahwa negara itu kini terlalu bergantung pada China.