Presiden Myanmar Myint Swe Cuti Sakit, Pemimpin Junta Militer Ambil Alih Kekuasaan

Myanmar hingga saat ini masih dilanda kekacauan, di mana banyak rakyatnya membutuhkan bantuan kemanusiaan mendesak.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 23 Jul 2024, 09:01 WIB
Diterbitkan 23 Jul 2024, 09:01 WIB
Jenderal Min Aung Hlaing
Panglima Tertinggi Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing memimpin parade tentara pada Hari Angkatan Bersenjata di Naypyitaw, Myanmar, Sabtu (27/3/2021). Myanmar saat ini sedang dalam kekacauan sejak para jenderal militer menggulingkan dan menahan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi pada Februari. (AP Photo)

Liputan6.com, Naypyidaw - Pemimpin junta militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing (68) menjadi presiden sementara negara itu pada hari Senin (22/7/2024), setelah Myint Swe (73) mendapat cuti sakit. Demikian media pemerintah melaporkan.

"Kantor Presiden Sementara telah mengirimkan surat ke Kantor Dewan Administrasi Negara yang memberitahukan mereka untuk mendelegasikan tanggung jawab," kata stasiun penyiaran pemerintah MRTV pada hari Senin seperti dikutip dari CNN, Selasa (23/7), merujuk pada dewan junta yang memerintah Myanmar.

Pada hari Jumat (19/7), Global New Light of Myanmar milik negara melaporkan bahwa Myint Swe menderita keterbelakangan psikomotor dan malnutrisi sejak awal tahun 2023.

"Karena dia tidak dapat melakukan aktivitas normal sehari-hari termasuk makan, perawatan medis terbatas diberikan kepada presiden pro tem (sementara) di bawah pengaturan Dewan Administrasi Negara," sebut surat kabar itu.

Junta militer menunjuk Myint Swe untuk menjabat sebagai penjabat presiden Myanmar setelah kudeta militer pada Februari 2021 yang menyebabkan para pemimpin sipil dipenjara – termasuk Aung San Suu Kyi – dan loyalis militer diangkat untuk menggantikan mereka.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Krisis Kemanusiaan Myanmar

Ilustrasi bendera Myanmar.
Ilustrasi bendera Myanmar (AFP Photo)

Junta militer pertama kali berjanji untuk menyelenggarakan pemilu dalam waktu dua tahun setelah merebut kekuasaan – sebuah tenggat waktu yang telah berulang kali diperpanjang. Keadaan darurat dan pemerintahan militer saat ini akan berakhir bulan ini.

Sejak kudeta, junta militer telah berjuang melawan gabungan milisi lokal dan kelompok pro-demokrasi dalam perang saudara yang menghancurkan, yang menyebabkan hilangnya banyak wilayah dan pasukan yang dikuasai junta.

Pelapor Khusus PBB untuk Situasi Hak Asasi Manusia di Myanmar Tom Andrews mengatakan kepada CNN pada bulan Juni bahwa junta militer telah meningkatkan serangan udara mematikan terhadap sasaran sipil sebanyak lima kali lipat dalam enam bulan terakhir, memicu krisis kemanusiaan atas upaya menakut-nakuti warga sipil untuk menghentikan perlawanan terhadap militer.

Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB menyebutkan setidaknya 18,6 juta orang di Myanmar saat ini membutuhkan bantuan kemanusiaan yang mendesak.

"Meningkatnya konflik di Myanmar mendorong meningkatnya kebutuhan kemanusiaan, melonjaknya pengungsian, memburuknya kerawanan pangan, pelanggaran hak asasi manusia yang berat," kata Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB dalam rencana respons Myanmar tahun 2024, memperingatkan bahwa upaya kemanusiaan di negara tersebut sangat kekurangan dana.

"Tanpa suntikan dana yang mendesak, lembaga-lembaga bantuan akan segera terpaksa membuat pilihan yang mustahil mengenai pengurangan bantuan yang direncanakan yang akan membahayakan nyawa jutaan orang yang sangat membutuhkan."

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya