Capres Tunisia Kembali Ditangkap Tak Lama Setelah Dibebaskan

Peristiwa ini terjadi jelang Pilpres Tunisia pada 6 Oktober 2024.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 07 Sep 2024, 07:17 WIB
Diterbitkan 07 Sep 2024, 07:17 WIB
Kais Saied
Presiden Tunisia Kais Saied. (Dok. (AP Photo/Hassene Dridi)

Liputan6.com, Tunis - Tunisia pada hari Jumat (6/9/2024) kembali menangkap calon presiden Ayachi Zammel (43) beberapa jam setelah dia dibebaskan dari penahanan praperadilan.

Zammel adalah satu dari dua kandidat yang disetujui oleh Otoritas Tinggi Independen untuk Pemilu (Isie) menantang Presiden Kais Saied dalam pilpres mendatang. Dia pertama kali ditangkap pada hari Senin (2/9) sebelum pengadilan memerintahkan pembebasan sementaranya pada Kamis (5/9) malam. Namun, tak lama kemudian, mantan anggota parlemen itu ditahan lagi atas tuduhan yang sama, yakni memalsukan tanda tangan yang diperlukan untuk pencalonannya. Demikian seperti dilansir Middle East Eye, Sabtu (7/9).

Pada bulan Agustus, Zammel mengundurkan diri sebagai ketua partai liberal kecil, Azimoun, untuk mencalonkan diri sebagai kandidat independen.

Penahanannya terjadi di tengah tuduhan bahwa otoritas Tunisia menggunakan penahanan sewenang-wenang dan rintangan administratif untuk memastikan terpilihnya kembali Saied, yang telah berkuasa sejak 2019.

Human Rights Watch (HRW) melaporkan bahwa sedikitnya delapan calon calon telah dituntut, dihukum, atau dipenjara menjelang Pilpres Tunisia.

Sejak menjabat, Saied telah memperkuat cengkeramannya di negara itu dengan membubarkan parlemen pada tahun 2021, mengambil alih kekuasaan yang luas, dan memerintah melalui dekrit.

Tunisia Darurat Demokrasi?

Ilustrasi Tunisia.
Ilustrasi Tunisia. (Dok. AFP PHOTO)

Hanya beberapa jam setelah penangkapan pertama Zammel, Isie merilis daftar akhir kandidat presiden, yang mencakup Zammel, Saied, dan Zouhair Maghzaoui, mantan anggota parlemen yang mendukung perebutan kekuasaan Saied.

Daftar tersebut mengecualikan tiga pesaing lainnya, mengabaikan putusan pengadilan tinggi Tunisia yang telah mengabulkan banding mereka terhadap diskualifikasi awal oleh Isie.

Kandidat yang didiskualifikasi - yang oleh para ahli dianggap sebagai pesaing serius Saied - adalah Imed Daimi, penasihat mantan Presiden Moncef Marzouki, Mondher Zenaidi, seorang menteri di bawah mantan otokrat Zine el Abidine Ben Ali, dan pemimpin oposisi terkemuka Abdellatif Mekki, mantan pemimpin partai Ennahda.

Kepala Isie Farouk Bouasker mengatakan,"Pengadilan administrasi belum secara resmi mengomunikasikan keputusannya (kepada badan pemilihan) dalam jangka waktu 48 jam sebagaimana diwajibkan oleh hukum."

Keputusan Isie memicu kemarahan karena para ahli hukum baru-baru ini berpendapat bahwa putusan pengadilan administrasi bersifat final dan tidak dapat dibatalkan. Kontroversi ini juga telah memicu kembali kritik terhadap Isie, yang dituduh dipengaruhi oleh pemerintah saat ini.

Sejak kudeta Saied pada bulan Agustus 2021, para anggota otoritas pemilu telah ditunjuk secara langsung atau tidak langsung oleh presiden.

Uni Eropa menggarisbawahi bahwa penangkapan Zammel dan pengecualian ketiga calon menunjukkan keterbatasan berkelanjutan terhadap ruang demokrasi di Tunisia.

"Aturan hukum dan penghormatan terhadap pemisahan kekuasaan merupakan inti dari nilai-nilai demokrasi, seperti halnya hak pilih dan hak atas pengadilan yang adil," kata Uni Eropa.

HRW mengungkapkan pada hari Rabu bahwa Isie telah campur tangan untuk mendistorsi hasil pemilu demi Saied.

"Menyelenggarakan pemilu di tengah penindasan seperti itu merupakan olok-olok terhadap hak warga Tunisia untuk berpartisipasi dalam pemilu yang bebas dan adil," imbuh HRW.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya