- Bangkok, Kegagalan Thailand dalam melindungi pengungsi politik kembali menjadi perhatian dunia setelah peristiwa tragis pada 7 Januari 2025. Lim Kimya, seorang mantan anggota parlemen Kamboja, tewas ditembak di ibu kota Thailand. Dia baru tiba di Bangkok pada hari yang sama, setelah menempuh perjalanan dengan bus dari Kamboja.
Selain kasus pembunuhan tersebut, pemerintah Thailand juga dilaporkan tengah bersiap untuk mendeportasi 48 warga etnis Uighur ke China. Mereka adalah bagian dari kelompok yang telah ditahan di Bangkok selama lebih dari satu dekade.
Advertisement
Baca Juga
"Pembunuhan Lim Kimya dan situasi terkait etnis Uighur saat ini menunjukkan bahwa Thailand bukanlah tempat yang aman bagi para pengungsi," kata Patrick Phongsathorn, spesialis advokasi senior di Fortify Rights, seperti dikutip laman DW Indonesia, Rabu (22/1/2025).Â
Advertisement
Kasus pembunuhan Lim Kimya dan ancaman deportasi warga Uighur hanyalah bagian dari rangkaian panjang insiden kekerasan terhadap pengungsi politik di Thailand.
Pada November 2024, otoritas Thailand secara paksa memulangkan enam aktivis oposisi Kamboja, meskipun mereka memiliki status pengungsi yang diakui oleh PBB. Mereka kini menghadapi tuduhan pengkhianatan di negara asalnya.
Di pertengahan tahun yang sama, Bangkok menangkap Y Quynh Bdap, seorang aktivis hak-hak etnis minoritas asal Vietnam, setelah pemerintah Hanoi mengajukan permintaan ekstradisi.
Kasus serupa terjadi pada 2023, ketika Bounsuan Kitiyano, seorang aktivis politik asal Laos yang berstatus pengungsi PBB, tewas dibunuh di Ubon Ratchathani, wilayah timur laut Thailand.
Lebih jauh ke belakang, pada 2015, Thailand memulangkan 109 tahanan Uighur ke Cina, yang menuai kecaman luas dari komunitas internasional. Saat ini, 48 warga Uighur lainnya masih berada di penjara Thailand dan menghadapi ancaman deportasi yang serupa.
Pelanggaran Hukum dan HAM
Menurut Phongsathorn, deportasi warga Uighur ke Cina adalah tindakan ilegal. Kelompok etnis Uighur, yang mayoritas beragama Islam, kerap menjadi sasaran persekusi oleh pemerintah Beijing di provinsi Xinjiang, Cina bagian barat laut.
"Pemerintah Thailand tidak hanya melanggar hukum internasional, tetapi juga undang-undang anti-penyiksaannya sendiri, yang melarang deportasi individu ke negara-negara di mana mereka menghadapi penyiksaan atau penganiayaan," tegas Phongsathorn.
Rangkaian insiden ini mencerminkan krisis perlindungan bagi pengungsi politik di Thailand. Meskipun negara ini sering menjadi tujuan utama bagi mereka yang melarikan diri dari persekusi di negara asalnya, lemahnya perlindungan hukum dan kebijakan sering kali justru membahayakan keselamatan mereka.
Advertisement