Liputan6.com, Jakarta Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dr. HM. Asrorun Ni’am Sholeh, MA, mengatakan sebelum adanya Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), Indonesia telah lebih dulu memiliki UU RI Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
"Tapi, kedua Undang-undang ini memiliki perbedaan yang mencolok. Terlebih terkait dengan paradigma dan dasar hukumnya," kata Asrorun saat dihubungi Health Liputan6.com pada Selasa (8/7/2014)
Soal paradigma pada UU tentang SPPA, seorang anak yang melakukan pelanggaran hukum akan mendapatkan pendekatan pemulihan, bukan penghukuman. Pemulihan yang dimaksud adalah memberlakukan seorang anak sebagai korban dari kondisi yang menimpa dirinya. Di mana sejatinya, seorang anak yang lahir dan besar di muka bumi ini adalah anak yang baik.
"Sehingga, anak yang memiliki masa depan ini akan dipulihkan ke kondisi semula. Karena memang, anak-anak ini pada dasarnya baik. Ketika ia melanggar hukum, ada faktor lain yang memengaruhinya. Dan pemulihan anak ke posisi semula disebut dengan upaya restoratif," kata Asruron.
Selain adanya pemulihan dan mengembalikan anak ke posisi semula, lanjut Asruron, ketika seorang anak berhadapan dengan hukum tidak langsung diadili dan dijebloskan ke penjara. Melainkan diselesaikan dengan cara mediasi atau disebut dengan diversi.
"Diversi ini adalah pengalihan penyelesaian hukum dari peradilan formal ke luar peradilan formal. Yaitu musyawarah yang melibatkan tokoh masyarakat," kata Asruron.
Bila proses penghukuman seorang anak yang terlibat masalah hukum sampai ke jalur hukum formal, tidak lagi dijebloskan ke dalam tahanan. "Dipisahkan dari orangtua, dan dimasukkan ke dalam lembaga penanganan sementara anak. Lembaga yang menaungi ada di Kementerian Sosial (Kemensos)," kata Asruron menerangkan.
Intinya, pada saat seorang anak menjalani proses peradilan, akan ditempatkan di lembaga khusus anak. Dan tidak ada lagi yang namanya penjara.
Sistem Peradilan Pidana Anak Tak Kenal Istilah Penjara
Soal paradigma pada UU tentang SPPA, seorang anak yang melakukan pelanggaran hukum akan mendapatkan pendekatan pemulihan, bukan hukuman
Diperbarui 08 Jul 2014, 14:00 WIBDiterbitkan 08 Jul 2014, 14:00 WIB
Ruang belajar yang penuh dengan Puzzle dan aneka buku ini diduga menjadi tempat guru Neil Bantlemen melakukan kejahatan seksual terhadap anak didiknya, Jakarta, Jumat (13/6/2014) (Liputan6.com/Faizal Fanani)... Selengkapnya
Advertisement
Live Streaming
Powered by
Video Pilihan Hari Ini
EnamPlus
powered by
POPULER
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Berita Terbaru
Talkshow Tata Hati, Bunda Arsaningsih Hadirkan Harapan Baru Lewat Metode SOUL
Waspada Potensi Longsor dan Banjir Bandang di Kawasan Gunung Manglayang hingga Tahura Bandung
Cara Menurunkan Kolestrol dan Gula Darah Hanya dengan Mudah Berbekal Biji Alpukat
Profil Faizal Hussein Pemeran Walid dalam Drama Bidaah: Karier, Penghargaan, dan Kehidupan Pribadi
Cara Bikin NPWP Pribadi, Ketahui Syarat dan Prosesnya
Prabowo Heran Ada Sebutan Indonesia Gelap: Saya Bangun Pagi Cerah
Saksikan FTV Kisah Nyata Spesial Rahasia Liontin Pemecah Rumah Tanggaku di Indosiar, Selasa 8 April Via Live Streaming Pukul 15.00 WIB
Deretan Barang Termahal yang Pernah Dibeli Cristiano Ronaldo, Ada Jet Pribadi Seharga Lebih dari Rp1 Triliun
Janji Prabowo: Tak Bakal Jual Lahan ke Investor Asing
Cara Bikin Stiker WhatsApp untuk Pemula, Keren dan Unik
Telkom Hadirkan Pelatihan untuk Kelompok Istri Nelayan di Pandeglang, Olah Aneka Hasil Tangkapan Laut
5 Slogan Kocak Warga AS Saat Demo Trump dan Elon Musk