Liputan6.com, Jakarta Satu lagi, virus yang menghantui warga dunia sejak Juli lalu hingga kini, virus Ebola. Virus yang mengancam daratan Afrika Barat dan diduga berasal dari kelelawar buah dan pertama kali dideteksi pada 1976 dekat Sungai Ebola yang berada di negara Kongo. Hingga kini, virus ini telah meluas hingga AS.
Masalahnya, BBC mencatat, gejala ebola sangat umum dan cenderung sulit dikenali seperti demam mendadak, nyeri otot, kelelahan, sakit kepala, dan sakit tenggorokan. Dan diikuti dengan muntah, diare, ruam dan perdarahan - baik internal maupun eksternal - yang dapat dilihat pada gusi, mata, hidung dan di tinja kemudian menurunnya fungsi liver dan ginjal dan mulai pendarahan.
Kepala Balitbangkes, Prof. Tjandra Yoga Aditama mengatakan, wabah ebola menjadi perhatian dunia kesehatan, karena jumlah kasus sampai 8 Agustus 2014 sudah lebih dari 1700 orang, dan kematian lebih dari 960 orang, dengan episentrum wabah penyakit di negara Sierra Leonne, Gueniea dan Liberia, yang kemudian mulai ditemukan kasus pula di Nigeria.
Pimpinan dunia dan organisasi kesehatan internasional ikut turun tangan membantu penanggulangan ebola, tetapi masalah penyakit terus berkembang luas. Puncaknya, pada 8 Agustus 2014, WHO menyatakan bahwa Ebola adalah penyakit yang tergolong dalam kedaruratan kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian dunia, atau Public Health Emergency of International Concern (PHEIC).
Istilah PHEIC tercantum dalam International Health Regulation (IHR) (2005) merupakan penyempurnaan IHR tahun 1960an. International Health Regulation (IHR) 1960an berisikan daftar beberapa penyakit yang dapat menular antarnegara (Internasional). Pada IHR 2005 daftar penyakit2 itu akan ditambah, termasuk yang belum ada dan mungkin akan ada di masa datang.
Karena daftar penyakit/ masalah kesehatan menjadi amat banyak maka secara umum dikelompokkan dalam Public Health Emergency of International Concern (PHEIC). Yang pernah dinyatakan sebagai PHEIC adalah H1N1 pandemi (sekarang sudah teratasi, tidak berstatus PHEIC lagi) dan Wild Polio Virus (sekarang masih berstatus PHEIC), sementara yang belum berstatus PHEIC adalah MERS CoV.
Yang menganalisa terjadi tidaknya PHEIC di dunia adalah Emergency Committe WHO yg terdiri dari 15 pakar dunia, dimana saya adalah salah satu di antara 15 anggota Emergency Commtte khusus untuk MERS CoV.
Telan korban tewas hingga jutaan jiwa
Keseriusan Pemerintah Afrika Barat terhadap virus mematikan, Ebola sepertinya masih diragukan. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) bahkan memprediksi, antara 550.000 sampai 1,4 juta orang di Afrika Barat bakal terjangkit Ebola hingga 20 Januari 2015.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga memperingatkan bahwa korban ebola bisa mencapai 20.000 jiwa pada awal November, dengan 5.740 penderita di Guinea, 9890 di Liberia, dan 5.000 di Sierra Leone. Jumlah ini setara dengan ribuan kasus dan kematian yang terjadi setiap minggu.
Tim respon ebola dari WHO melalui artikel yang diterbitkan dalam New England Journal of Medicine menuliskan, setidaknya kita harus menghadapi kemungkinan bahwa virus Ebola akan menjadi endemik di Afrika Barat yang tidak pernah diprediksi sebelumnya.
Butuh Miliaran Dolar untuk atasi Ebola
WHO membutuhkan kucuran dana paling tidak satu milyar dollar Amerika untuk mengatasi kasus virus Ebola di Afrika Barat seperti yang diungkapkan pejabat PBB dalam konfrensi pers di Jenewa.
Wabah terburuk virus mematikan Ebola hingga kini memang masih menyebar luas di Afrika Barat. Hingga kini kasus Ebola telah terjadi di Sierra Leone, Liberia, Guinea, Nigeria, Senegal dan Republik Demokratik Kongo. Sekitar 4.985 kasus orang terinfeksi dengan yang meningggal 2.461 kasus.
"Jumlah kasus akant terus meningkat, sehingga kita harus bergerak cepat mengatasi dibandingkan pergerakan wabah virus itu sendiri " terang Asisten Direktur WHO Bruce Aylward seperti dilansir Time.
"Bulan lalu kami membutuhkan 100 juta dollar Amerika, namun kini berubah menjadi satu milyar dollar Amerika meningkat 10 kali lipat karena wabah ini melonjak sangat cepat. Jauh dibandingkan sebelumnya," terang dokter David Nabaro, koordinator senior PBB untuk kasus Ebola.
Menurut data Financial Tracking Service, hingga Rabu lalu dana sebesar 155 juta dollar Amerika telah didapatkan. Berasal dari bantuan negara lain, lembaga global, perushaan swasta, dan badan lainnya.
Advertisement
Banyak Dokter dan perawat jadi korban
Lebih separuh korban ebola menyerang paramedis yang bertugas di negara terkena dampak. Laporan dari Balitbangkes Kementerian Kesehatan menyebutkan, dari 523 orang petugas kesehatan yang tertular Ebola, 269 di antaranya meninggal dunia.
Kepala Balitbangkes Kementerian Kesehatan, Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan, Sekertaris Jenderal PBB sejak Sidang Umum PBB membentuk tim khusus bernama "United Nation Mission for Ebola Emergency Response - UNMEER". Target kerja team UNMEER ini disebut sebagai "70 70 60", artinya di negara-negara episenter Ebola setidaknya 70 persen pasien harus mendapat perawatan yang baik.
"Setidaknya 70 persen jenazah dilakukan proses pemakaman dengan baik, dan ke dua hal ini harus dicapai dalam 60 hari sesudah team terbentuk, artinya pada November ini," katanya.
Meski pengamat menilai bahwa target ini belum akan tercapai, tapi angka-angka 70 persen itu diharapkan semua menjadi 100 persen pada 31 Januari 2015.
Perkembangan kasus Ebola terbaru meningkat 22 persen pada minggu yg lalu. Indikator Nigeria dan Senegal dinyatakan bebas Ebola adalah sesudah 42 hari (dua kali masa inkubasi) tidak ada kasus Ebola baru. Sedangkan calon vaksin berasal dari :
1. Chimpanse adenovirus
2. Vesical Stomatitis Virus
Untuk saat ini, obat yang ada termasuk:
1. Monoklonal antibody
2. Antivirus
3. Serum konvalesens (bila tidak tertangani dengan baik maka 2015 bisa menjadi "the year of Ebola")
Dan terakhir, Tjandra menyampaikan ada 5 kegiatan yang diperlukan untuk menekan kasus Ebola baru, yaitu:
1. Komando tingkat Nasional
2. Tim Gerak Cepat
3. ‎Penguatan sistem kesehatan (klinik, RS, surveilans dll)
4. ‎Program penanggulangan penyakit menular yang berkelanjutan
5. Pentingnya pemahaman masyarakat
Anak-anak mendadak kehilangan keluarga
Tingginya angka kematian akibat virus mematikan ebola di Afrika Barat terus menggugah perasan setiap orang. Kali ini Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis bahwa jumlah anak yatim piatu meningkat seiring tingginya jumlah kematian akibat ebola yang hampir mencapai 5.000 jiwa. Sebuah panti asuhan di Liberia bahkan mengaku tidak bisa menampung korban ebola saking banyaknya. Mereka mengatakan, sejak ebola berkembang, diperkirakan ada 2.000 anak yatim piatu di Liberia saja.
Di sisi lain, organisasi PBB yang melindungi hak-hak anak dan kaum muda (UNICEF) mencatat ada 4.000 anak di Liberia, Guinea dan Sierra Leone yang kehilangan salah satu atau kedua orang tua karena Ebola.
"Kita perlu mencari rumah untuk anak-anak setidaknya untuk enam bulan sampai satu tahun agar tidak menimbulkan ancaman bagi orang lain. Tapi masalahnya, ada stigmatisasi besar dalam budaya ini. Dan saat ini kami sedang mencari dana untuk membangun rumah termasuk membayar pengasuh," kata Knapp.
Sebagai sebuah organisasi nirlaba yang bertujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak-anak, Save the Children juga telah mendirikan pusat perawatan sementara untuk memantau anak-anak yatim piatu yang orangtuanya meninggal akibat ebola. "Mereka akan dipantau selama 21 hari-sesuai masa inkubasi. Setelah itu mereka bisa aman. Yang menyedihkan, ada banyak orang yang tidak mau mengadopsi mereka dengan alasan rasa takut dan stigma karena Ebola."
"Masyarakat itu takut. Kami sering lihat, mereka yang selamat dijauhi oleh masyarakat. Padahal kami berupaya keras untuk membiarkan orang tahu bahwa mereka benar-benar aman. Tapi ya itu, ini adalah perjuangan yang panjang dan sulit di tengah-tengah krisis ebola," kata Direktur Save the Children di Liberia, Greg Ramm.
Akhir September, Save the Children telah selesai membangun 70 tempat tidur untuk perawatan ebola di Bong county, Liberia, area pedesaan yang letaknya 100 mil di luar ibukota negara. Bong adalah salah satu dari lima kabupaten di Liberia yang paling parah terkena dampak ebola.
Advertisement
Belum ada kasus Ebola di Indonesia
Belum ada kasus Ebola di Indonesia
Virus Ebola menggemparkan masyarakat Indonesia, karena diduga menular pada pasien asal Kediri dan Madiun yang baru saja pulang dari Liberia. Meski Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Tjandra Yoga Aditama mengatakan bahwa hasil dari kedua orang itu adalah negatif, tetap saja ada rasa was-was yang dialami masing-masing individu.
"Kita tidak dapat melarang penyakit itu untuk muncul di Indonesia, mungkin ingin jalan-jalan juga. Maka itu, kita juga harus memerhatikan beberapa hal," kata Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Nila F Moeloek.
Sebenarnya, Kemenkes sendiri telah memasang alat deteksi bernama Thermal Screening yang diletakkan di 13 bandara Internasional dan sejumlah pelabuhan di Indonesia. "Alat itu untuk mendeteksi panas tubuh bagi seluruh warga yang baru tiba ke Indonesia," kata Nila menerangkan.
Semua pengunjunga yang baru tiba dari luar negeri, memang terlebih dahulu lolos dari uji tes thermal screening. Bila ditemukan ada pasien yang dicurigai tertular virus Ebola, maka harus dikarantina untuk beberapa waktu.
Menkes mengimbau, agar setiba di bandara, kita membaca banner yang telah dipasang di sana, sebagai peringatan mengenai ebola ini.