Liputan6.com, Jakarta Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan beberapa pusat kedokteran tropis di Eropa, Asia, dan Afrika mengembangkan metode dan teknologi diagnosis penyakit infeksi tropis.
Peneliti Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran (FK) UGM Ida Safitri Laksanawati di Yogyakarta, Rabu, mengatakan pengembangan metode serta teknologi itu dilakukan seiring belum adanya alat diagnosis yang efektif khusus penyakit tropis seperti tuberkulosis dan malaria.
Baca Juga
"Banyak penyakit infeksi tropis lainnya yang belum mendapatkan dukungan dan perhatian yang memadai dari berbagai stakeholder kesehatan," kata dia seperti dikutip dari Antara, Selasa (29/3/2016).
Advertisement
Baca Juga
Ia mengatakan pengembangan metode dan teknologi diagnosis yang dilakukan sejak 2011 dan berakhir pada 2016 tersebut dilakukan melalui pendekatan sindromatik, yaitu sindrom demam persisten, sindrom gangguan saraf, dan sindrom gangguan pencernaan.
"Di Indonesia permasalahan yang utama adalah rendahnya temuan kasus penyakit infeksi tropis karena gejala klinis yang tidak khas dan tidak disertai gejala," kata dia.
Ida mengatakan Badan Kesehatan Dunia (WHO) bahkan telah mengategorikan banyak penyakit infeksi tropis sebagai penyakit infeksi yang terabaikan (Neglected Tropical Diseases) karena belum mendapatkan perhatian khusus dari para pemangku kepentingan kesehatan di berbagai negara.
Penyakit infeksi tropis tersebut antara lain demam berdarah dengue (DBD), chikungunya, rabies, lepra, ulkus buruculi, dracunculiasis, penyakit chagas, trachoma, cysticercosis.
"Diperkirakan lebih dari seperenam penduduk dunia menderita satu atau lebih penyakit infeksi tropis terabaikan tersebut," kata dia.
Meski tidak semua penyakit infeksi tersebut ditemukan di Indonesia, namun menurut Ida, dengan mobilitas manusia yang cukup tinggi ditambah dengan perubahan iklim memiliki kemungkinan seluruh jenis penyakit infeksi tropis dapat masuk ke Indonesia.
"Masyarakat miskin dan mereka yang tinggal di daerah terpencil di daerah konflik atau bencana atau di wilayah kumuh terancam memiliki risiko yang lebih tinggi menderita penyakit tersebut," kata dia.