Liputan6.com, Jakarta Perjalanan singkat seorang wanita ke pedalaman Baduy pada 2007, menjadi awal mula kisah perjuangan dirinya membantu anak-anak Suku Baduy melawan buta aksara. Kala itu, dirinya yang berprofesi sebagai jurnalis tergerak untuk memperkenalkan literasi kepada mereka.
Dialah Nury Sybli, wanita kelahiran Banten yang menemukan banyak sekali cerita di pedalaman Baduy. Dia mengatakan bahwa kala itu, anak-anak Suku Baduy belum mengenal huruf. Bahkan, kebanyakan dari mereka sulit berkomunikasi dengan orang di luar suku mereka.
Baca Juga
"Jadi pada 2007 itu aku melakukan perjalanan ke suku pedalaman Baduy. Nah di sana banyak sekali anak-anak yang susah berkomunikasi. Jadi kalau diajak main itu masih takut, takut salah dan sebagainya," kata Nury saat ditemui di kawasan Senayan City pada Kamis (23/11/2017).
Advertisement
Menurut Nury, seringkali anak-anak suku Baduy hanya menjadi objek wisatawan karena mereka tidak mampu berkomunikasi. Hal ini bukan tanpa sebab. Nury mengatakan bahwa adat Suku Baduy tidak menginzinkan anggota suku mereka untuk bersekolah.
"Nah, di Baduy itu kan tidak ada sekolah, memang tidak boleh sekolah. Oleh adat anak-anak dilarang untuk pergi ke sekolah. Jadi puluhan tahun silam orang-orang Baduy buta huruf. Banyak dari mereka yang tidak mengerti baca tulis," kata wanita kelahiran 39 tahun silam ini mengenai pengalamannya berinteraksi dengan Suku Baduy.
Â
Sementara mereka dihadapkan dengan orang-orang luar yang terus berdatangan, Nury mengenalkan huruf pada generasi muda agar mereka mengerti menjadi masyarakat adat sesungguhnya, bisa menjelaskan tentang tatanan kehidupan adat pada orang luar, agar tidak mudah terpengaruh. "Yg paling penting lagi, bisa menjaga tradisi yg ada. Jika pun bisa mengembangkan perekonomian di Baduy itu bonus. "
Â
Saksikan video menarik berikut :
Â
Tekad mengajar
Di mata Nury, kondisi itu merupakan sebuah ironi. Hal inilah yang membuat dirinya tergerak untuk mengajarkan baca tulis. Berawal dari mengajari anak dari salah satu anggota Suku Baduy yang memberikan Nury tumpangan, lambat laun semakin banyak anak yang ikut belajar dengan Nury.
"Pelan-pelan satu dua anak dari rumah-rumah yang saya singgahi dan saya diami itu mau belajar. Saya ajarkan untuk mengenal huruf, intinya mengenal aksara. Dari semula satu atau dua anak, bertambah jadi sepuluh hingga lima belas anak," kata Nury.
Bagi Nury, bukan perkara mudah mengajarkan baca tulis kepada anak-anak tersebut. Banyak tantangan yang dia temui. Meski begitu, dia bertekad keras untuk mengajarkan literasi pada anak-anak Suku Baduy. "Mereka itu kan berbahasa Sunda, jadi saat diubah ke bahasa Indonesia, `be` itu menjadi `eb`. Itulah salah satu yang saya ajarkan pada mereka," lanjut dia.
Selain itu, tantangan lainnya yang juga dihadapi oleh Nury adalah saat hendak mengajarkan menulis, anak-anak tersebut kesulitan untuk dapat menggunakan pena.
"Jangankan berharap mereka bisa menulis, memegang pena aja mereka enggak tahu caranya. Jadi mereka megangnya begini (digenggam), itu aja udah gemetar. Karena kan anak perempuan di sana biasanya menenun, mereka enggak belajar," kata Nury.
Advertisement
Kelas baca Baduy
Seiring berjalannya waktu, kerja keras Nury mulai membuahkan hasil. Anak-anak didiknya mulai mengerti baca dan tulis. Saat itu, kegiatan yang dijalaninya bersama anak-anak tersebut dia namai Kelas Baca Baduy.
Namun, akibat kesibukan Nury sebagai seorang jurnalis, dirinya tidak mungkin selalu berada di sana. Hal ini membuatnya berinisiatif untuk memberikan pekerjaan rumah (PR) kepada anak-anak tersebut.
"Setelah bisa menulis, saya ajarkan mereka tentang lingkungan, adat istiadat mereka sendiri dan banyak hal lainnya. Hal ini terus bertahan, tapi sayangnya saya enggak mungkin selalu ada di sana. Saya berpikir kalau mereka harus menunggu saya kembali dalam waktu yang lama itu enggak fair. Akhirnya saya kasih mereka PR," kata wanita yang kini berprofesi sebagai Konsultan Public Relation (PR).
Nury mengatakan, dirinya selalu memeriksa tugas yang diberikan serta menguji kemampuan anak-anak didiknya tersebut. Selain memberikan PR, Nury juga selalu meninggalkan buku tulis untuk mereka belajar. Pernah suatu hari, Nury mengaku pernah lupa membawa stok buku tulis untuk dibagikan.
"Jadi saya kasih buku, (lalu) saya tinggalkan. Saya tes kalau saat saya kembali ke sana. Jadi buku tulis Alhamdulillah selalu ada. Tapi pernah stok bukunya habis, saya lupa ngecek. Jadi saya harus keluar lagi dengan perjalanan selama 30 menit hanya untuk mengambil buku. Saat itu harus naik turun bukit," lanjut dia.
Sempat terhenti
Setelah berjalan selama lima tahun, aktivitas Kelas Baca Baduy sempat terhenti. Nury tidak bisa melanjutkan kelas bacanya selama dua tahun. Hal itu terjadi akibat adanya salah paham dengan warga Desa Balingbing. Mereka menganggap aktivitas yang dilakukan Nury adalah mengadakan sekolah bagi anak Baduy.
Salah seorang temannya bernama Kang Sarpin, akhirnya membantu meluruskan apa sebenarnya aktivitas Nury. Dia menjelaskan bahwa Nury hanya memberi pelajaran, bukan sekolah formal yang sedianya dilarang aturan adat. Pada 2014, Kelas Baca Baduy pun kembali dilanjutkan. Saat itu jumlah murid kelas baca semakin bertambah banyak.
Nury berharap, dengan adanya anak-anak Baduy yang mengerti baca tulis ini, mereka bisa lebih menjaga kearifan lokal, menjaga tradisi yang ada di sana serta bisa menjelaskan sejarah tentang Baduy itu sendiri.
Rumah baca Akar
Belakangan ini, banyak teman Nury yang ikut tergerak untuk melakukan apa yang Nury lakukan. Tak hanya di Baduy, kini dia juga mendirikan tempat membaca di beberapa wilayah di Indonesia, seperti di Belitung, Sulawesi Selatan, Sumbawa, dan banyak tempat lainnya. Nury menamainya dengan Rumah Baca Akar.
"Jadi filosofi akar itu merupakan akar dari sebuah kehidupan, silsilah bagaimana mereka tumbuh. Sampai kemudian mereka siap mengangkat kembali diri mereka dan bisa mengabdi pada lingkungannya," kata Nury.
Nury mengaku, dalam menjalankan aksinya, dia sangat terbantu dengan para donatur yang mau menyumbangkan buku bagi anak-anak didiknya. Menurut Nury, mendekatkan buku untuk anak-anak itu jauh lebih efektif ketimbang memberikan bantuan lainnya.
Nury mengatakan, rumah baca akar yang digagasnya menerima sumbangan berupa buku dan alat sekolah lainnya ke alamat Black-house Library yang beralamat di Perumahan Nuansa Asri Blok E No 10 Jl. Pendidikan Cinangka Sawangan, Depok 16516. Selain itu, bisa juga menghubungi email ke rumahbacaakar@gmail.com.
Â
BiodataÂ
Nama: Nury Sybli
Tempat/ tanggal lahir:Â Serang, 22 September 1978
Status: Menikah
Riwayat PekerjaanÂ
- Wartawan 2001-2009
- Freelance 2010-2011
- Konsultan Public Relation (PR) 2011-sekarang.
Â
Advertisement