Liputan6.com, Jakarta Apa topik pembicaraan Anda dengan anak sehari-hari? Para orangtua yang saya temui di ruang terapi, memberi jawaban nyaris seragam. Meskipun beda agama, suku, status sosial ekonomi, asal kota, profesi bahkan latar belakang pendidikan sekalipun. Mereka fokus pada PR (pekerjaan rumah), les, dan larangan bermain (termasuk main HP dan nonton TV).
Baca Juga
Tujuannya agar anak sukses di sekolah. Seolah urusan nilai bagus di sekolah adalah perkara hidup-matinya seorang anak. Bila perlu orangtua ikut belajar, agar bisa bantu bikin PR anak saat guru les absen.
Advertisement
Orangtua zaman sekarang lebih banyak menghabiskan energi untuk mengurus sekolah, tapi cenderung abai pada perkembangan kepribadian dan karakter anak. Banyak yang tak ambil pusing bila konsep diri anak negatif, tidak tahu tatakrama, pembohong sekalipun. Yang penting sekolahnya beres.
Gejala Fisik dan Perilaku
Apa akibat dari pola komunikasi monoton itu terhadap anak? Biasanya anak merasa tertekan dan menganggap orangtua hanya mementingkan sekolah. Anak merasa tidak disayang dan tidak dianggap penting.
Salah satu contoh adalah Dea, sebutlah begitu namanya. Anak tunggal berusia 14 tahun ini dibuatkan jadwal super padat setiap harinya. Berangkat sekolah sebelum jam 6 pagi. Pulang sekolah langsung ke tempat les. Petang sampai di rumah langsung mandi, makan malam, lalu mengerjakan PR.
Setiap kali kedapatan pegang HP di luar waktu yang diijinkan, ibunya marah dan memberi ceramah panjang lebar. Ketika bertemu saya, HP Dea sudah 2 bulan disita ibunya sebagai hukuman, gara-gara saat bikin PR kedapatan sambil nonton YouTube.
Kelelahan Mental
Dea dinilai pelupa, tidak punya inisiatif, dan mengidap alergi. Sebenarnya Dea kelelahan secara mental sekaligus kesepian. Di rumah besarnya tak ada siapa-siapa. HP baginya adalah alat komunikasi dengan teman dan mendapatkan hiburan. Dea kehilangan inisiatif karena semua gerak geriknya diatur dan dikontrol ketat ibunya. Alergi merupakan reaksi fisik terkait emosinya. “Aku benci Mami,” ungkapnya.
Reaksi alergi menahun juga dialami John, bukan nama sebenarnya. Kulit pemuda berusia 20 tahun itu penuh bercak kemerahan. Beragam obat dari rumahsakit di Singapura bertahun-tahun tak mampu mengatasinya.
Ketika dilakukan hipnoterapi diketahui alergi berkaitan dengan kemarahan dan kebencian terhadap sang ibu. “Mami nggak sayang aku. Dia sayang dirinya sendiri,” ungkap John dalam kondisi hipnosis. Baginya kontrol dan kendali super ketat itu bukan untuk kebaikannya, melainkan demi kenyamanan dan prestise ibunya. “Dia bisa pamer anaknya ranking dan masuk sekolah bagus,” katanya.
Lain lagi dengan Indi, nama disamarkan, yang merasa tidak diperhatikan orangtuanya. “Mama Papa selalu tanya PR. Mereka nggak pernah tanya keadaan aku,” ungkap Indi, siswi kelas 1 SMP dalam terapi.
Remaja ini berontak, tidak mau lagi membuat PR. Akibatnya nilai jeblok, dia pun tidak peduli andai harus tinggal kelas. Orangtuanya puyeng dan meminta Indi dihipnoterapi. Remaja hobi baca ini bertanya dalam kondisi hipnosis, “Apa nggak ada yang lebih penting daripada PR?”
Advertisement
Catatan : Caranya Keliru
• Sudah pasti maksud orangtua sangat baik memperhatikan urusan sekolah anak. Bagi orangtua mengurus PR anak adalah bentuk perhatian. Anak bukannya tidak tahu pentingnya bertanggungjawab sebagai pelajar. Bukan pula tak paham maksud baik orangtua menyuruh belajar dan bikin PR. Namun anak tidak nyaman dengan caranya.
• Karena orangtua fokus pada rasa khawatir dan takut anak gagal, mereka lupa memperhatikan sisi emosional anak. Mereka gemar mengucapkan kata-kata negatif yang mencerminkan tidak adanya kepercayaan dan penghargaan terhadap anak. Antara lain: “PR sudah dibikin BELUM?” “Cepat dikerjakan, nanti KAMU LUPA”. “Kok sudah selesai? KAMU PASTI NGGAK TELITI”.
• Perasaan anak akan berbeda bila pulang sekolah orangtua berkata, “Istirahat dulu, santai dulu, PR-nya nanti dikerjakan kalau sudah nggak capek.” Fokus orangtua pada anak, bukan PR. Anak akan merasa diperhatikan dan disayang kalau orangtua berkata, “Kamu belajar apa hari ini? Apa yang menarik buat kamu?” Bukan PR yang ditanyakan, melainkan perasaan dan kondisi anak.
• Bila anak merasa diperhatikan dan dipercaya, rasa tanggungjawab muncul. Tanpa disuruh belajar pun mereka akan melakukannya. Maka, ganti ketakutan atau kekhawatiran Anda dengan memusatkan perhatian pada hasil. Ucapkan apa yang Anda inginkan, bukan yang Anda khawatirkan atau takutkan. @