Liputan6.com, Jakarta Untuk menentukan apakah anak dengan penyakit jantung bawaan (PJB) harus lahir sesar atau tidak, menurut kardiologis dr. Oktavia Lilyasari, Sp.JP(K), harus dilihat dulu siapa yang menderita PJB.
"Tergantung. Apakah ibunya yang PJB atau anak dalam perutnya yang PJB," ujar Oktavia di 27th Annual Scientific Meeting of Indonesia Heart Association atau ASMIHA, di kawasan Kuningan, Jakarta, Jumat (20/4/2018).
Baca Juga
"Apabila anaknya juga harus kita lihat seberapa kompleks penyakit jantung bawaannya. Itu yang menentukan apakah dia boleh lahir secara normal atau dipercepat. Dipercepat juga tidak harus sesar," ungkap dokter yang berpraktek di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta tersebut.
Advertisement
Sementara apabila ibunya yang memiliki PJB, dia juga harus melakukan konsultasi ke dokter spesialis kardiovaskular untuk mengetahui apakah dia bisa melahirkan normal.
"Dia akan nanya, ini boleh tidak sih lahirnya normal, boleh enggak saya tunggu sampai matang 36 minggu. Atau apakah saya harus lahirkan cepat atau bagaimana. Itu biasa mereka akan rujuk ke kita," ungkap Oktavia.
Setelah itu, dokter spesialis akan melihat PJB apa yang diderita sang ibu, untuk menentukan proses kelahiran.
Simak juga video menarik berikut ini:
Â
Intervensi Fetal
Saat ini, PJB sesungguhnya sudah bisa ditangani dengan intervensi janin atau fetal. Walaupun begitu, cara ini belum ada di Indonesia.
"Jadi apa yang biasanya dikerjakan saat anak itu sudah di luar, itu dikerjakan ketika berada dalam perut ibunya. Tapi di Indonesia belum kita kerjakan," tambah Oktavia.
Beberapa negara di Eropa dan Jepang yang dianggap sudah maju, telah melakukan intervensi semacam ini.
Di Indonesia sendiri, ibu atau bayi yang menderita PJB saat ini hanya bisa melakukan kontrol rutin.
"Mungkin kita akan minta untuk beberapa minggu sekali melakukan USG, atau kita akan pantau, atau kita akan bilang, bu tidak bisa ibu harus dirawat sekarang harus terminasi sekarang."
"Kita akan lihat anak ini umurnya sudah berapa minggu, kira- kira kalau dikeluarkan sekarang mampu hidup atau tidak, itu pertimbangannya banyak," ujar Oktavia.
Advertisement